Menu

Mode Gelap
NU Peduli Bersama Kemenag Jepara Salurkan Bantuan Bagi Warga Dorang Belajar Dari Geomorfologi “Banjir” Eks Selat Muria, Mau Diapakan? Mbah Dimyathi: Jadi Wali Itu Mudah, Ngaji Lebih Sulit!! Ngaji Burdah syarah Mbah Sholeh Darat  ( 2 ) Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat ( 2 )

Opini · 1 Apr 2022 08:35 WIB ·

Belajar Natas-Nitis-Netes dari Puasa


 Belajar Natas-Nitis-Netes dari Puasa Perbesar

Oleh : Ahmad Rouf

“Apakah arti puasa? Puasa menahan lapar. Puasa menahan haus. Sejak subuh, sampai magrib.”

Di atas merupakan kutipan lagu anak-anak yang dipopulerkan oleh Tasya Kamila yang masih sering diperdengarkan hingga saat ini. Sebuah lagu sederhana yang mengajarkan makna puasa kendati tanpa memasukkan frasa “menahan nafsu” yang menjadi ihwal penting dari puasa. Meski demikian dapat diambil kata kuncinya, yakni menahan atau mengendalikan. 
Menahan lapar dan haus dari subuh sampai maghrib adalah aktivitas kasat mata yang bisa dijadikan salah satu ukuran batal tidaknya puasa. Akan tetapi memandang puasa seperti ini, rentan dianggap mempersempit makna niat. Tidak apa-apa. Soal makna yang lebih mendalam pastilah banyak, misal, ada yang memaknai puasa dari akar kata, puasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Upawasa yang bermakna ritual untuk mendekatkan diri, agar sampai pada perjumpaan agung dengan Sang Maha Agung. Sedang Shaum atau Shiyam dalam bahasa arab Sho-wa-ma berarti menahan, berhenti, tidak bergerak. Menahan dari melampiaskan kebiasaan keinginan. 
Mengendalikan diri tidak makan dan minum sampai maghrib adalah capaian yang bisa diukur dari menahan diri. Karena, rentang waktu dari shubuh sampai maghrib, tentu kita tahu, ada banyak godaan, keinginan yang harus dikendalikan, komitmen yang harus dijaga, keteguhan yang harus diperkokoh, dan keseriusan yang harus diuji, itu semua dalam rangka merawat niat dalam menuntaskan durasi waktu puasa. 
Seumpama puasa adalah organisasi, setidaknya ada 3 (tiga) fase yang perlu ditempuh, 1) Aktivitas sahur, 2) Aktivitas menahan lapar dan haus, dan 3) Berbuka. Sahur adalah aktivitas perencanaan, tentang merencanakan jam bangun, porsi makan dan minum, niat serta keputusan tidur kembali atau menunggu shubuh, lalu, menahan lapar dan haus adalah aktivitas pelaksanaan, tentang komitmen, keteguhan, pengendalian diri tidak makan dan minum, dan berbuka adalah aktivitas memetik hasil. Jika mengambil perumpamaan bertani, sahur adalah menanam, menahan lapar dan haus adalah masa merawat, dan berbuka adalah panen. Petani sekadar menanam, yakni menabur harapan – Petani sekadar merawat dengan sebaik-baiknya atas apa yang ditanam, yakni memperbesar keyakinan – lalu panen. Akan tetapi, fase panen kita (manusia) tidak punya otoritas memastikan akan hasil yang kita tanam dan rawat. Begitu pula dengan puasa, kita tahu urutannya: Niat-sahur, menahan lapar dan haus, dan berbuka. Soal diterima atau tidak menjadi otoritasNya. Kita sekadar berharap dan meyakini atas apa yang kita lakukan diterima olehNya.
Hidup laksana puasa. Ada permulaan-perjalanan-tujuan, yakni kita berasal dari Allah Swt, hidup di bumi milik Allah Swt, dan akan kembali kepada Allah Swt. Penciptaan manusia, perjalanan manusia di muka bumi, dan akan kembali yang serba membersamaiNya, pastilah ada tujuan dan mandat peran yang harus ditunaikan.
Memahami tujuan dan mandat peran atas diciptanya manusia, mula-mula kita harus memiliki kesadaran bahwa kita berasal dari Allah Swt. Adalah natas, perilaku menyadari asal muasal diri kita. Terkait asal muasal kita, jauh sebelum kita lahir di bumi, ada janji suci antara kita dengan Allah Swt, …(Allah berfirman),”Bukankah Aku ini Tuhanmu?”Mereka menjawab, “Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”(Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan),” (QS. Al-A’raf [7]:172). Soal proses penciptaan manusia, mulai dari sperma dan seterusnya juga bahan pembelajaran atas ke-Maha-an Allah Swt.
Janji suci itu menjadi pegangan bahwa manusia sudah semestinya nitis. Nitis merupakan perilaku hidup dengan lebur petunjukNya: Menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Allah Swt memberi bekal manusia akal (ilmu) dan ragam fasilitas sebagai bekal pengembaraan di muka bumi. DariNya kita dianugerahi lebih daripada makhluk lainnya. Selanjutnya bergantung kita, manusia. Apakah mengingkari anugerah yang telah diberikan atau memaksimalkan penuh sebagai sarana menjalankan mandat peran yang diberikan kepada kita, tentang komitmen hidup-motivasi hidup-orientasi hidup. Mengingkari atau mensyukuri anugerah yang telah diberikan Allah Swt, kita sendiri yang akan merasakan, ”Ngunduh wohing pakarti”. Para sepuh mengistilahkan dengan netes.
Netes adalah buah dari apa yang kita kerjakan di dunia, tentu takaran hasilnya otoritas Allah Swt. Yang bisa kita lakukan selama di dunia, yakni nitis dengan apa yang menjadi dawuh Allah Swt: Hidup dengan memandang seperti cara pandangan Allah Swt memandang, hidup dengan pikiran seperti cara Allah Swt berpikir, dan hidup dengan tindakan seperti cara Allah Swt bertindak. 
Puasa melatih diri tentang pengendalian. Baik mengendalikan yang kasat mata: Lapar dan haus juga mengendalikan nafsu selain makan dan minum yang bisa menggugurkan tata cara berpuasa. Puasa melatih diri kita menahan dan mengendalikan diri dari apa yang dilarang Allah Swt. Semoga kita semua dapat “Ngunduh wohing pakarti” sesuai tujuan dan mandat peran yang diberikan Allah Swt.

Artikel ini telah dibaca 214 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Akselerasi Khidmah NU dan Keberjamaahan

17 Februari 2023 - 05:47 WIB

Hari Santri Nasional Dan Pembangunan Peradaban

24 Oktober 2022 - 04:21 WIB

Shiddiqiyah : Thoriqoh Yang Mu’tabar (otoritatif) ataukah yang “nrecel” (Keluar Jalur) ?

15 Juli 2022 - 07:58 WIB

Jepara, Investasi Agrobisnis dan Jihad Pertanian NU

30 Mei 2022 - 02:50 WIB

Santri dan Filologi Islam Nusantara

25 April 2022 - 03:21 WIB

Mengurai Kontroversi Zakat Fitrah dengan Uang

25 April 2022 - 03:14 WIB

Trending di Hujjah Aswaja