Menu

Mode Gelap
NU Peduli Bersama Kemenag Jepara Salurkan Bantuan Bagi Warga Dorang Belajar Dari Geomorfologi “Banjir” Eks Selat Muria, Mau Diapakan? Mbah Dimyathi: Jadi Wali Itu Mudah, Ngaji Lebih Sulit!! Ngaji Burdah syarah Mbah Sholeh Darat  ( 2 ) Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat ( 2 )

Opini · 30 Jul 2020 00:50 WIB ·

Budaya Berislam dan Beragama


 Budaya Berislam dan Beragama Perbesar

Oleh: Miqdad Sya’roni, Alumnus Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi Unisnu Jepara

Orang Jawa lagi-lagi menjadi perbincangan hangat dalam akhir-akhir ini. Memang orang Jawa itu sangat seksi untuk diperbincangkan bahkan bisa menjadi penarik perhatian bagi siapa pun yang ada di luaran sana. Masyarakat Jawa dengan budayanya menjadikan peradaban lebih utama untuk menjadi mulia. Salah satu ulama’ Ahli hadist dari Makkah sampai menyampaikan maqolah

 اَهْلُ الْجَاوَاهْ اَهْلُ الأَدَابْ وَالْكَرَمِ

Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang berakhlak baik dan pemurah (Abuya Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al Maliki Al Hasni). Memiliki akhlak yang santun dan mulia adalah salah satu keteladanan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa Rasulullah SAW diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak serta menjadi suri tauladan bagi seluruh umat manusia.

Kita sebagai orang Jawa Indonesia yang beragama Islam tentunya beragama dengan meniru jejak langkah dari Nabi, sahabat, tabi’in sampai para ulama’. Terlebih kita sebagai bangsa Indonesia yang memiliki peletak dasar Islam yang berbudaya sejak era Walisongo, yang berhasil mengislamkan penduduk dan masyarakat Nusantara dalam kurun waktu 50 tahun atau setengah abad, padahal kita tahu bahwa bangsa Nusantara adalah pemeluk agama Hindu Budha yang sangat taat.

Masyarakat Jawa memiliki cara dan ciri yang khas Nusantara dalam beragama, karena mereka sebagai bangsa yang memiliki pola kehidupan di bumi ini, karena memiliki sejarah sejak era Kerajaan Singosari sampai Majapahit, Kesultanan Demak, Pajang, Mataram sampai Keraton Yogyakarta dan Surakarta yang menjadi ciri khas berbudaya Jawa namun tidak tertinggal dalam modernisasi di era globalisasi.

IsIam Nusantara dalam pengertian substansial adalah Islam ahlussunah waljamaah yang diamalkan, didakwahkan, dan dikembangkan sesuai karakteristik masyarakat dan budaya di Nusantara oleh para pendakwahnya dan Islam Nusantara merupakan perwujudan Islam melalui budaya lokal, yakni tradisi dan budaya yang berkembang di Indonesia.

Perwujudan ini juga dalam rangka mengoperasionalkan bahwa Islam adalah agama universal. Sehingga dengan konstruksi Islam Nusantara ini, Islam mampu mewujud pada apapun dan di mana pun ia akan disebarkan. Bukan semata-semata melokalisasi seperti yang telah disebutkan di atas, namun sebagai cara yang sangat operasional untuk mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin.

Moderasi beragama adalah cara beragama dengan lebih mengedepankan moderat, mengamalkan Islam dengan cara yang santun dengan cara yang ramah bukan marah-marah, atau radikalisme dan ekstremisme.

Budaya adalah hasil budi daya, budi pemikiran manusia atau sebuah karya dari manusia berdasarkan akal yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Budaya Jawa adalah apa yang melekat pada diri manusia yang hidup di Jawa maupun orang Jawa yang hidup di Nusantara.

Korelasi dari Islam Nusantara, Moderasi Beragama dan Budaya seperti contoh Ngaji Bandongan Sorogan di Pesantren, penyampaian maknani ala Jawa oleh para Kyai yang khas menggunakan istilah utawi iku mubtada’ khobar (م، خ، تم، ج) secara keilmuan sesuai dengan nahwu sorof dan i’lal, sesuai gramatikal Bahasa Arab namun tetap berbudaya alias penyampaiannya menggunakan logat Jawa.

Salah satu khas ciri daripada Islam Nusantara adalah sorogan dan bendongan di Pesantren, menjadi paham akan Islam tidak meninggalkan budaya serta tidak begitu condong ekstrim kanan maupun kiri. Sesuai dengan ciri utama ahlussunah wal jama’ah, tawasuth (tidak condong kanan maupun kiri), tawazun (seimbang) dan i’tidal (tegak lurus).

Bisa kita lihat bersama, bahwa para Ulama’, Habaib dan  Kiai di Nusantara dan di Indonesia memiliki cara yang santun dan berakhlak mulia untuk menyampaikan pesan agama Islam ditengah-tengah masyarakat. Lebih mengedepankan maslahat umat, gotong royong dan “ngajeni” menghormati budaya dan pola hidup masyarakat Nusantara.

Beberapa Ulama’, Habaib dan Kiai karismatik yang memiliki simpatik dan teladan di tengah-tengah masyarakat Nusantara. Habib Muhammad Luthfi bin Yahya Pekalongan, yang mempunyai pengikut baik di Indonesia maupun luar negeri, juga sangat bangga akan Budaya. Tetap mencintai tanah airnya serta terkadang tidak alergi terhadap khas Jawa, seperti memakai blangkon, sorjan (baju Jawa) dan sebagai.

Habib Syekh bin Abdul Qodir Assegaf yang mempunyai cara tersendiri untuk menyampaikan pesan Rasulullah SAW dengan bershalawat, yang tetap mengajak cinta tanah air dan bersyair ala Jawa, bahkan syair tinggalan Walisongo juga dilantunkan.

KH. Ahmad Muwaffiq Yogyakarta atau yang sering disebut Gus Muwaffiq, yang selalu khas dalam penyampaian sejarah ulama’ Nusantara serta kehebatan para wali-wali Nusantara yang bangga menjadi orang Jawa bangga menjadi Bangsa Nusantara dan tetap dengan gaya dan budaya Jawa.

KH. Baha’uddin Nur Salim atau lebih dikenal dengan Gus Baha’ yang memiliki muhibbin baik di Indonesia maupun luar negeri, menyampaikan keilmuan Islam yang sangat kompleks tapi mudah dipahami, yang bangga dengan gaya khas pesantrennya serta memiliki trah leluhurnya adalah pejuang serta ulama’ Nusantara. Dalam menyampaikan Islam yang santun, gampang, tidak ribet, mudah dipahami dan dimengerti. Islam yang ramah dan rahmah bagi pemeluknya dan bangga menjadi bagian dari Nusantara.

Ada beberapa tinggalan leluhur Hindu – Budha yang sejak era Walisongo tidak dihancurkan tetapi malah sampai sekarang di lestarikan, di antaranya ada tumpeng, bubur abang putih, kupat lepet, berkat. Merupakan hasil dari budaya Jawa yang lebih memperhatikan isi daripada bungkus. Sehingga dari zaman Walisongo diteruskan oleh para Ulama’ dengan adanya doa, sholawatan, manaqiban, Mujahadan dan dzikiran.

Menjadi bangsa Indonesia itu hidup berdampingan “Bhinneka Tunggal Ika” contoh dari keberagaman adalah 1 grup hadrah rebana, itu juga berlaku untuk grup musik yang lain seperti dangdut, pop, jazz dan campursari. Dalam hadrah yang terdiri dari terbang, bass, tam, calty, ketipung, icik2, tamborin, walau pun semuanya berbeda tapi kalau dipadukan akan menjadi sebuah harmoni musik yang indah didengar, sama halnya beragama Islam yang berbudaya adalah memadukan itu semua.

Tidak perlu marah jika ramah itu bisa, tak perlu ekstrem walaupun yang kalem kadang lebih menghanyutkan. Karena dalam budaya ada cara untuk lebih jelas dipahami serta menjadi manusia di era digital jangan sampai tertinggal, tidak hanya yang fenomenal tapi perlu optimal dalam beragama Islam di tengah derasnya arus global. (*)

Artikel ini telah dibaca 18 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Akselerasi Khidmah NU dan Keberjamaahan

17 Februari 2023 - 05:47 WIB

Hari Santri Nasional Dan Pembangunan Peradaban

24 Oktober 2022 - 04:21 WIB

Shiddiqiyah : Thoriqoh Yang Mu’tabar (otoritatif) ataukah yang “nrecel” (Keluar Jalur) ?

15 Juli 2022 - 07:58 WIB

Jepara, Investasi Agrobisnis dan Jihad Pertanian NU

30 Mei 2022 - 02:50 WIB

Santri dan Filologi Islam Nusantara

25 April 2022 - 03:21 WIB

Mengurai Kontroversi Zakat Fitrah dengan Uang

25 April 2022 - 03:14 WIB

Trending di Hujjah Aswaja