Menu

Mode Gelap
Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat (25) NU Peduli Bersama Kemenag Jepara Salurkan Bantuan Bagi Warga Dorang Belajar Dari Geomorfologi “Banjir” Eks Selat Muria, Mau Diapakan? Mbah Dimyathi: Jadi Wali Itu Mudah, Ngaji Lebih Sulit!! Ngaji Burdah syarah Mbah Sholeh Darat  ( 2 )

Opini · 24 Feb 2019 10:03 WIB ·

Kiai Abdul Manan, Keluarga, dan Nama Jalan


 Kiai Abdul Manan, Keluarga, dan Nama Jalan Perbesar



M. Dalhar (Warga Nahdliyin Banjaragung, pegiat sejarah lokal)

Belum lama ini, khaul K.H. Abdul Manan ke-95 digelar. Di Bagi masyarakat Dukuh Klumo, Banjaragung, nama Abdul Manan merupakan nama yang tidak asing lagi. Kiprahnya dalam bidang pendidikan agama kepada masyarakat setempat menjadikan namanya diabadikan sebagai nama salah satu jalan.

Menyusuri jalan dari pertigaan jalan raya Desa Wedelan, terlihat beberapa papan nama lembaga pendidikan. Di dalamnya tercantum nama Jalan K.H. Abdul Manan. Nama jalan itu membujur ke selatan sepanjang kurang lebih satu kilometer sampai di persimpangan jalan perbatasan dukuh: Dukuh Klumo dan Dukuh Sidomulyo.  

Tidak banyak sumber tertulis yang dapat menjelaskan siapa dan peranan apa yang dimainkan oleh Kiai Abdul Manan. Bukan berarti rekam jejaknya tidak dapat ditelusuri sama sekali. Melalui keturunannya yang sebagian besar berdomisili di Dukuh Klumo, kisah perjalanannya dapat diketahui meski sangat terbatas.

Secara garis keturunan, Kiai Abdul Manan merupakan salah seorang keturunan ulama besar Desa Banjaran, yaitu Haji Muhammad Arif Sendangsari. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Kiai Abdul Manan merupakan putra keempat dari lima saudara: Badjuri, Thohiroh, Umar, dan Husni.[1]

 Kiai Abdul Manan hidup di paruh akhir abad ke-19, pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Melihat konteks zaman saat itu, Jepara digambarkan oleh Kartini sebagai kawasan yang jauh dari “kemajuan”. Ikatan adat masih begitu kuat ditambah diskriminasi pendidikan begitu dirasakan masyarakat atau pribumi di awal abad ke-20. Terbatasnya jumlah lembaga pendidikan menjadikan setiap orang tidak dapat menempuh pendidikan di sekolah formal.

Di tengah kelangkaan dan diskriminasi pendidikan, pesantren sebagai lembaga tradisional maupun pendidikan di masjid telah hadir lebih dulu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.[2] Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial tumbuh diam-diam di pedesaan. Pesantren mempunyai akar sejarah yang panjang sekalipun sebagian besar keberadaannya hanya dapat dilacak asal-usulnya sampai pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.[3]

Peranan Kiai Abdul Manan sebagai ulama dapat dilacak dari kesaksian para keturunannya. Salah seorang putrinya, Masirah – ada yang menyebut Maslirah – banyak menceritakan seputar kehidupan Kiai Abdul Manan. Cerita itu disampaikan kepada putra-putrinya secara turun-temurun. Dari cerita tutur, meskipun tidak utuh, dapat menjadi sumber penting menjelaskan kehidupan dan kiprahnya.  

Dikisahkan, Kiai Abdul Manan mempunyai sebuah majelis ilmu di Dukuh Klumo. Ada banyak santri yang belajar kepadanya. Bangunan tempat belajarnya berupa rumah panggung (baca: angkruk) di kompleks rumahnya. Terdapat dua jenis santri yang belajar, yaitu “santri kalong” yang tidak bermukim dan santri mukim. Meskipun demikian, para santri mukim tidak menetap lama dikarenakan mereka harus membantu pekerjaan yang ada di rumah.

Tidak diketahui secara detail pelajaran apa yang diajarkan oleh Kiai Abdul Manan kepada para santrinya. Boleh jadi benar bahwa yang diajarkan adalah ilmu-ilmu agama dan al-Qur’an sesuai dengan bidang keahliannya. Kiai Abdul Manan dikenal sebagai ulama al-Qur’an. Sebuah sumber menyatakan bahwa ilmunya tersebut pernah diuji (tashih) kepada ulama di Makkah ketika menunaikan ibadah haji.[4]

Diketahui Kiai Abdul Manan memiliki hubungan yang baik dengan Kiai Subhi, Parakan Temanggung. Ia adalah seorang ulama yang memiliki otoritas di bidang ijazah bambu runcing. Hubungan baik itu masih berlanjut sampai generasi penerusnya, K.H. Muhaminan Parakan. Terdapat beberapa santri Parakan yang mengadakan kegiatan di makam Kiai Abdul Manan. Di samping kegiatan berziarah yang dilakukan oleh santri secara individu, ada juga kegiatan rutin 35 hari sekali (selapanan) di makam Kiai Abdul Manan.

Berdirinya Masjid Jami’ Syuhada al-Kautsar sekitar tahun 1919 – sedikit atau banyak – tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Kiai Abdul Manan. Masjid tersebut didirikan di atas tanah milik mbah Asto Urar yang diduga diambil dari bahasa Arab al-kautsar. Meskipun bukan pendiri, tapi sekurang-kurangnya Kiai Abdul Manan atau murid-muridnya pernah memakmurkan masjid tersebut. Beberapa tahun kemudian – tahun 1923 – Kiai Abdul Manan wafat dan dimakamkan di permakaman Dukuh Klumo.

Haul

Keluarga besar Kiai Abdul Manan setiap tahun memperingati hari kematiannya (baca: haul) dengan pembacaan al-Qur’an 30 juz dan tahlil di makamnya. Masyarakat secara umum dilibatkan dalam acara haulnya. Tradisi itu diselenggarakan sejak lama dari tahun ke tahun.

Sebuah ilustrasi, pada tahun 1971 diselenggarakan haul di makam Kiai Abdul Manan. Anak-anak sekolah dan masyarakat berjumlah ratusan dihadirkan untuk mengikuti tahlil bersama. Pada ulama yang hadir para waktu itu mempersilakan Kiai Afif Zubaidi muda untuk memimpin tahlil.[5]  

Kiai Afif Zubaidi sering berziarah ke makam Kiai Abdul Manan. Biasanya sebelum berangkat shalat Jumat, ia berziarah terlebih dahulu dan dianjutkan berdzikir di Musholla al-Manan, Klumo. Mushola itu bangun oleh keluarga mbah Masirah yang lokasinya tidak jauh dari makam.

Tradisi semacam itu masih terus berlanjut sampai sekarang. Setiap haulnya digelar – setiap hari Jumat pertengahan Jumadil Akhir – para siswa yang ada di lingkungan makam dan masyarakat dihadirkan untuk mengikuti tahlil di makamnya. Beberapa tahun belakangan, digelar juga pengajian umum dengan menghadirkan pembicara mengisi ceramah dalam puncak acara haulnya.[6]

Pada saat seperti itulah keluarga besar Kiai Abdul Manan yang tersebar di beberapa kawasan di Kabupaten Jepara – meliputi: Batealit, Tengguli, Banjaran, Kedungleper, dan Klumo – berkumpul bersama.[7] Perjuangan dakwahnya di tengah kawasan yang “gersang” dari nilai-nilai agama perlu diteladani oleh generasi hari ini. Nilai-nilai kebaikan semacam itu yang perlu terus digali dan diwariskan kepada generasi penerus.

Perjuangan dakwah Kiai Abdul Manan tidak banyak diajarkan atau disampaikan kepada masyarakat karena minimnya sumber yang menjelaskan. Generasi hari ini – mengutip pendapat Habib Luthfi bin Yahya – sudah kepaten obor (kehilangan jejak penerangan) berupa sejarah ulama terdahulu. Meskipun hanya sedikit yang terungkap, namun fakta perjuangan Kiai Abdul Manan di Dukuh Klumo tidak dapat dihapuskan begitu saja.  

Tidak berlebihan jika menyebut Kiai Abdul Manan adalah ulama generasi pertama yang berdakwah mengajarkan Islam di Dukuh Klumo pada khususnya dan Desa Banjaran Utara (baca: Banjaragung) pada umumnya.[8] Boleh jadi benar bahwa nama Dukuh Klumo yang berarti “kumpulane ulomo” tidak dapat dipisahkan dari nama Kiai Abdul Manan. Kita pun kemudian memahami mengapa nama jalan utama di Dukuh Klumo adalah Jalan K.H. Abdul Manan.[9]

—————————————————————————————————————



[1]Silsilahnya K.H. Abdul Manan bin Harun bin Qosim bin Muhammad Arif. Ibunya, Maryamah tidak diketahui silsilahnya. Lihat: Khasan Abdun Nasir bin Muh Masdur, “Silsilah Keturunan Mbah Muhammad Arif al-Adani”, tanpa tahun, sumber tidak diterbitkan dan Ubaidurrohman, “Silsilah Mbah Arif dari Bani Umar”, tanpa tahun, sumber tidak diterbitkan.

[2]Tercatat sejak tahun 1831 di Jepara terdapat 90 lembaga pendidikan Islam tradisional dengan jumlah 3.476 murid. Van der Chys, “Bijdragen tot de Geschiedenis van het Inlandsch Onerwijs in Nederlandsch-Indie”,dalam Zamakhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 35.

[3]Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 246.

[4]Pencatuman gelar haji dapat diketahui dari pajak tanah (baca: tupi) ahli waris, terutama mbah Hasanah yang tertulis binti H. Abdul Manan. Padahal tiga putra yang pertama tidak tercantum gelar haji. Informasi dari Drs. Ali Murtadlo, keluarga besar K.H. Abdul Manan. Wawancara pada 3 Februari 2019.

[5]Keterangan dari Drs. Syaiful Hadi yang saat masih bersekolah di MI Matholiul Ulum dan turut berziarah. Wawancara pada 3 Februari 2019.

[6]Tidak hanya itu, setiap menjelang ulang tahun (baca: sedekah bumi) Desa Banjaragung seluruh masyarakat diajak berziarah ke makam yang Kiai Abdul Manan yang diyakini sebagai sesepuh dan ulama desa di samping berziarah ke tempat yang lain.

[7]Beberapa putra-putri Kiai  Abdul Manan antara lain: Siti, Roikanah, Hisyam, Mastur, Mu’ah, Masirah (Maslirah), dan Hasanah.

[8]Sampai tahun 1950-an, Dukuh Klumo masih merupakan kawasan yang jarang penduduknya. Salah satu argumennya adalah luas lahan yang ada dengan jumlah penduduk tidak seimbang. Misalnya mbah Besur yang diperkirakan hidup satu zaman dengan Kiai Abdul Manan memiliki lahan hampir sepertiga dari Dukuh Klumo. Hal yang sama juga pada Kiai Abdul Manan dan Kiai Yusuf yang memiliki lahan yang tidak kalah luasnya. Lahan yang ada kemudian dibagikan kepada ahli warisnya. Itulah yang menjadikan sebagian warga Dukuh Klumo memiliki ikatan persaudaraan berupa kesamaan garis keturunan.

[9]Tidak diketahui sejak kapan nama K.H. Abdul Manan dipakai sebagai nama jalan. Barangkali benar bahwa yang memberikan nama adalah K.H. Afif Zubaidi, salah seorang tokoh Dukuh Klumo. Perbincangan seputar nama jalan sempat dibahas kembali ketika proses peresmian Desa Banjaragung pada Septermber 2002.

Artikel ini telah dibaca 607 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Akselerasi Khidmah NU dan Keberjamaahan

17 Februari 2023 - 05:47 WIB

Hari Santri Nasional Dan Pembangunan Peradaban

24 Oktober 2022 - 04:21 WIB

Shiddiqiyah : Thoriqoh Yang Mu’tabar (otoritatif) ataukah yang “nrecel” (Keluar Jalur) ?

15 Juli 2022 - 07:58 WIB

Jepara, Investasi Agrobisnis dan Jihad Pertanian NU

30 Mei 2022 - 02:50 WIB

Santri dan Filologi Islam Nusantara

25 April 2022 - 03:21 WIB

Mengurai Kontroversi Zakat Fitrah dengan Uang

25 April 2022 - 03:14 WIB

Trending di Hujjah Aswaja