Menu

Mode Gelap
NU Peduli Bersama Kemenag Jepara Salurkan Bantuan Bagi Warga Dorang Belajar Dari Geomorfologi “Banjir” Eks Selat Muria, Mau Diapakan? Mbah Dimyathi: Jadi Wali Itu Mudah, Ngaji Lebih Sulit!! Ngaji Burdah syarah Mbah Sholeh Darat  ( 2 ) Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat ( 2 )

Kabar · 6 Mei 2022 03:54 WIB ·

NU dan Penguatan Kampung Hukum


 Ilustrasi penegakan hukum yang tumpul ke atas tajam ke bawah (dok.rmol) Perbesar

Ilustrasi penegakan hukum yang tumpul ke atas tajam ke bawah (dok.rmol)

Oleh: Muh Khamdan

nujepara.or.id- Hubungan antara Nahdlatul Ulama (NU) dan penyadaran hukum masyarakat menyimpan teka-teki hubungan yang menarik. Secara struktural tampak bahwa hubungan tersebut belum memiliki formulasi yang baku. Sebaliknya secara kultural, NU telah memiliki kegiatan rutin penguatan hukum kendati baru terhenti pada orientasi hukum agama, bernama bahtsul masail. Oleh karenanya, NU harus dapat mengambil peran untuk menjadi nucleus pertumbuhan kesadaran hukum dan wawasan kebangsaan menuju kampung sadar hukum.

Bahtsul masail telah lama menjadi khasanah otentik bagi NU, sehingga mendapatkan perhatian besar dalam kajian akademik sebagian kalangan. Forum yang dikoordinatori lembaga legislasi NU (syuriyah) ini, bertugas mengambil keputusan tentang hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan masalah ibadah, keyakinan, etika, dan problem sosial kenegaraan. Kenyataan bahasan tersebut pada akhirnya menjadikan bahtsul masail NU sebagai forum yang sangat dinamis, demokratis, terbuka, dan berwawasan luas karena selalu memberikan berbagai alternatif jawaban yang tidak didasari dominansi kebenaran pihak tertentu.

Pembangunan kesadaran hukum beragama dan penguatan etika agama yang sudah diperankan melalui keberadaan lembaga Bahtsul Masa’il, belum diiringi fungsi penyadaran hukum formal dan kesadaran bernegara. Warga Nahdliyin masih banyak yang mengalami ketimpangan dalam memperoleh keadilan atas negara. Dalam varian lain, kaum Nahdliyin yang mayoritas berada di kampung, cenderung memahami hukum formal dari rumusan apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang harus dilakukan. Rumusan ini identik dengan falsafah “molimo” yang terdiri dari maling (mencuri), mateni (membunuh), mendem (mabuk minuman keras), madon (zina atau prostitusi), dan madat (memakai narkoba). Rupanya persoalan yang lebih dalam di sini adalah soal hak asasi warga negara dalam mendapatkan perlindungan dan pembelaan hukum yang belum menjadi bagian dari proses penyadaran itu sendiri.

Semangat memegang teguh pantangan atas “molimo” memang telah menggiring pada upaya penurunan kriminalitas. Namun, anatomi hukum sebagai perintah dan pemaksa justru sering menjerat masyarakat kampung yang tidak berdaya, yang celakanya harus dihadapi masyarakat miskin. Tragedi Desa Wadas di Purworejo misalnya, menjadi gambaran bahwa banyak warga NU perlu advokasi hukum dan kesadaran bernegara. Masyarakat mengalami bentrok dengan aparat karena pro dan kontra penambangan batu andesit, dengan dalih untuk mendukung pembangunan bendungan Bener. Bendungan yang direncanakan sebagai tertinggi di Asia Tenggara, menjadi sebab munculnya konflik sosial di tengah masyarakat Wadas.

Akses keadilan (access to justice) merupakan sesuatu yang penting. Terhambatnya hak-hak keadilan masyarakat lebih banyak disebabkan oleh karena ketiadaan akses keadilan yang berpihak pada masyarakat kampung dan miskin. Berdasarkan amandemen kedua UUD 1945 di dalam pasal 28 I ayat 4 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Oleh karenanya, NU perlu hadir memberikan investasi perjuangan dengan menekan pemerintah untuk menegaskannya.

Masyarakat mesti belajar memahami hukum nasionalnya sendiri, karena disadari atau tidak justru telah menciptakan ketakutan psikologis. Munculnya kasus-kasus masyarakat kelas bawah yang menurut pemahaman masyarakat kampung adalah kasus sepele, justru tetap diproses dalam ranah pengadilan. Tentu masih teringat kejadian hukum yang pernah menimpa Minah dengan dugaan mencuri 3 buah kakao. Nenek ini harus sabar menerima hukuman 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan. Basar dan Kolil yang hanya mengambil semangka seharga Rp. 5000 harus mendekam dalam LP Kediri. Begitu juga Manisih beserta tiga kerabatnya harus menjalani persidangan di PN Batang hanya adanya sangkaan pencurian 14 kilogram kapuk. Kejadian hukum bagi masyarakat kelas bawah ini terulang dengan menjatuhkan status tersangka pada orang yang membela diri dari aksi begal jalanan.

Dari kenyataan hukum di atas, fakta adanya praktik keadilan tajam sepihak terhadap masyarakat harus dijadikan introspeksi. Terlebih saat ini mulai terbongkar praktik-praktik negosiasi perkara hukum di atas peristiwa politik sehingga masyarakat awam mudah melihat barter antara kekuasaan politik dan kekuasaan hukum. Dalam kaitan itu, hukum harus relevan dan berpihak pada kepentingan rasa keadilan sosial masyarakat. Hukum harus menjadi pengayom sesama warga masyarakat tanpa membeda-bedakan dengan menegakkan keadilan untuk semua (equality before the law).

Penyediaan akses keadilan dan akses kepada peradilan yang adil mutlak dibutuhkan. Penyediaan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo pro bono) bagi masyarakat kelas bawah harus mendapatkan perhatian dari NU. Memang amat ironis, menyaksikan para tokoh NU yang diharapkan menjadi corong nurani keadilan hukum masyarakat dan front terdepan ide-ide praktis dan rasional, setidaknya masih terpolarisasi pada wacana-wacana keagamaan. Rasionalisasi dan argumentasi akademik harus dijalankan secara serius untuk mencerahkan masyarakat tentang hukum positif nasional.

Hukum tentu dapat berlaku efektif manakala terjadi sinergi antara aparat hukum dan masyarakat sipil. Kepolisian, kejaksaan, kehakiman, serta lembaga-lembaga masyarakat sipil lain terjalin pemahaman yang sama mengenai isi hukum dan mengapa hukum harus begini dan begitu. Ini pula yang mengharuskan adanya komunikasi hukum agar bahasa hukum lebih populer difahami masyarakat umum, bukan sekadar konsumsi mahasiswa hukum atau pelaku hukum. Cultural shock masyarakat kampung yang berhadapan dengan hukum modern justru mengakibatkan semacam hilangnya ritus perdamaian ketika terjadi persengketaan. Padahal, banyak kekuatan-kekuatan di luar hukum yang dapat menjadi solusi pemecahan konflik sesuai dengan tradisi dan nilai-nilai kolektif di tengah masyarakat.

Maka boleh dibilang, masih dalam semangat pasca-Muktamar dapat menjadi momentum untuk terwujudnya masyarakat hukum secara luas tanpa adanya sekat bahasa hukum yang rumit. Hukum untuk manusia harus dikembangkan untuk menjadi tolok ukur hakikat keadilan di negeri ini. Paling tidak, peta permasalahan hukum yang mencakup multi-aspek kehidupan dapat disampaikan dalam proses penyadaran hukum atas masyarakat kampung. Dalam hal ini, kesadaran akan identitas kemanusiaan mulai dipertajam untuk diintegrasikan dengan masalah hukum pidana, hukum perdata, hukum ketenagakerjaan, hukum perkawinan, hukum pertanahan, hukum lingkungan, dan hukum-hukum lainnya.

Masyarakat sadar hukum dalam kampung hukum harus dibangun kembali sebagai program yang berkesinambungan dengan koreksi moral terhadap penegakan keadilan. Warga nahdliyin yang besar dengan struktur jaringan yang luas, mestinya dapat memerankan langkah tersebut dengan kemitraan bersama pemerintah. Terlebih kekacauan hukum sekaligus “perselingkungan”politik di dalamnya harus dapat dikendalikan oleh gerakan civil society yang tentunya menanti peran dari NU itu sendiri.

 (Muh. Khamdan, Widyaiswara BPSDM Kemenkumham, Doktor Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Kader NU Nalumsari)

Artikel ini telah dibaca 1,198 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

NU Peduli Bersama Kemenag Jepara Salurkan Bantuan Bagi Warga Dorang

20 Maret 2024 - 19:56 WIB

Belajar Dari Geomorfologi “Banjir” Eks Selat Muria, Mau Diapakan?

19 Maret 2024 - 13:50 WIB

Kisah Raden Kusen, Senopati Terakhir Majapahit Saat Menghadapi Gempuran Demak (2)

18 Maret 2024 - 23:03 WIB

Mbah Dimyathi: Jadi Wali Itu Mudah, Ngaji Lebih Sulit!!

16 Maret 2024 - 23:52 WIB

Sedulur Papat Limo Pancer, Wejangan Ruhani Sunan Kalijaga

15 Maret 2024 - 00:06 WIB

Kisah Raden Kusen, Senopati Terakhir Majapahit Saat Menghadapi Gempuran Demak (1)

13 Maret 2024 - 17:35 WIB

Trending di Headline