Menu

Mode Gelap
NU Peduli Bersama Kemenag Jepara Salurkan Bantuan Bagi Warga Dorang Belajar Dari Geomorfologi “Banjir” Eks Selat Muria, Mau Diapakan? Mbah Dimyathi: Jadi Wali Itu Mudah, Ngaji Lebih Sulit!! Ngaji Burdah syarah Mbah Sholeh Darat  ( 2 ) Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat ( 2 )

Kabar · 31 Mar 2022 16:27 WIB ·

Nyadran, Merawat Kerinduan Jelang Bulan Ramadhan


 Tradisi nyadran lazim dilakukan oleh umat muslim di Indonesia pada bulan Sya'ban hingga sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Perbesar

Tradisi nyadran lazim dilakukan oleh umat muslim di Indonesia pada bulan Sya'ban hingga sebelum memasuki bulan suci Ramadhan.

nujepara.or.id – Ruwah merupakan bulan kerinduan, bulan yang dipilih oleh sebagian masyarakat untuk kembali mengenali jati diri sebagai manusia. Bukan hanya bagi manusia nusantara, menciptakan tradisi untuk menegaskan bahwa dirinya berbeda dengan makhluk lainnya.

Hal yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya adalah kemampuan berpikir dan melahirkan sejarah. Proses bersejarah inilah yang menghasilkan peradaban dan kebudayaan. Dengan sejarah inilah, manusia belajar dan mengembangkan kemampuan survival menghadapi tantangan alam secara berkesinambungan.

Sejarah bisa juga berarti pohon, proses memahami sejarah yang paling dasar adalah proses mengenali pohon kehidupannya sendiri. Mengenali leluhurnya sendiri, yang diyakini memiliki segudang cerita dari masa lampau.

Dengan mengenali leluhurnya, akan timbul spirit bahwa kehidupan kita bukanlah sebuah kehidupan yang benar-benar baru ada. Kita telah diperanakpinakkan orang tua dan para leluhur, bahwa kehidupan itu terus berkesinambungan sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu.

Inilah bulan kerinduan itu, saat kita mengalokasikan waktu secara khusus untuk berhenti sejenak menyadari bahwa jasad manusia ada usianya. Sedangkan kehidupan tak pernah terputus selamanya, inilah bulan yang diharapkan agar kita mampu mendengarkan lagi mimpi-mimpi leluhur tentang kehidupan dan membaca kembali daftar harapan-harapan mereka yang belum sampai serta layak diteruskan.

Itulah konsep nyadran, mengalokasikan waktu untuk kembali mengenali jalan sekaligus pohon kehidupannya. Yang nyadran di rumah maupun yang menyempatkan datang ke makam orang tua dan leluhur, sama-sama sedang menyegarkan kembali memori itu. Sering kita dianjurkan agar berdoa saja dari rumah, namun bagi warga Nahdliyyin belum afdhol tentunya jika tidak jumpa “face to face” di depan pusara makam.

Sama halnya dengan prinsip berziarah, yakni mendoakan arwah leluhur dan mengambil teladan kebaikan yang telah dilakukan para leluhur untuk diteruskan. Sebagian besar masyarakat nusantara masih memilih hadir di hadapan makam orang tua dan leluhur, untuk kembali luluh memberikan penghormatan.

“Ziarah kubur disunnahkan secara umum dengan tujuan untuk mengingat (kematian) dan mengambil pelajaran, dan menziarahi kuburan orang-orang shalih disunnahkan dengan tujuan untuk tabarruk (mendapatkan barakah) serta pelajaran,” (Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Dien, juz 4, hal. 521).

Bahkan legalitas melaksanakan ziarah kubur ini telah disepakati oleh seluruh mazhab umat islam. Hal ini seperti disampaikan dalam kitab Hujjah Ahlissunnah Wal Jama’ah :
“Ziarah kubur diperbolehkan oleh seluruh Mazhab umat islam,” (KH. Ali Maksum Krapyak, Hujjah Ahlissunnah Wal Jama’ah, hal. 53).

Dari berziarah inilah terlahir upaya melacak diri sebagai manusia bisa dimulai. Berharap akhirnya ziarah fisik itu akan menjadi ziarah metafisis tentang prinsip penciptaan manusia dan menghayati konsep sangkan-paran.

Monggo, selamat nyadran, selamat mengalokasikan waktu, perasaan dan kesadaran bahwa kita bukan mesin. Selamat menabur bunga, ketika Anda mengulurkan lengan menggenggam bunga lalu menaburkannya ke pusara leluhur, pada saat itulah kesadaran anda timbul untuk menyatakan bahwa dari jasad yang terkubur di dalamnyal-ah itulah Anda dihadirkan.

Ketika tangan Anda terbuka untuk menabur bunga, setelah itu genggamkanlah lagi tangan ketika Anda menariknya kembali. Sembari menarik tangan tergenggam itu, tangkap dan ambillah mimpi-mimpi dan cita-cita para leluhur untuk selanjutnya bisa wujudkan.

Di situ Anda telah mengambil tongkat estafetnya. Estafet sejarah, peradaban, kebudayaan, dan cita-cita untuk menjadi manusia seutuhnya, dalam perjuangan menuju harapan menjadi insan kamil.

Cakra Manggilingan atau perputaran dan siklus hidup bagi kehidupan itu kelak nantinya juga akan menempatkan kita pada posisi yang sama seperti leluhur kita saat ini. Pada saat itulah anak cucu kita yang akan mengambil estafet itu dari kita. Begitu seterusnya dan kita boleh berbangga karena sebagai manusia kita tidak kalah, tidak menjadi mangsa sang waktu –Sang Kala– karena mampu mengantisipasinya.

Maka dapat disimpulkan bahwa praktek Nyadran atau Ziarah kubur merupakan salah satu ajaran agama Islam yang secara tegas dianjurkan oleh syariat. Dan sebaiknya seseorang pada saat melaksanakan ziarah kubur agar senantiasa menjaga adab-adab dalam berziarah kubur, agar ziarah kubur yang dilakukannya mendapatkan pahala dan kemanfaatan serta dilakukan dengan cara yang benar. Wallahu a’lam… (Hnv)

Artikel ini telah dibaca 50 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

NU Peduli Bersama Kemenag Jepara Salurkan Bantuan Bagi Warga Dorang

20 Maret 2024 - 19:56 WIB

Belajar Dari Geomorfologi “Banjir” Eks Selat Muria, Mau Diapakan?

19 Maret 2024 - 13:50 WIB

Kisah Raden Kusen, Senopati Terakhir Majapahit Saat Menghadapi Gempuran Demak (2)

18 Maret 2024 - 23:03 WIB

Mbah Dimyathi: Jadi Wali Itu Mudah, Ngaji Lebih Sulit!!

16 Maret 2024 - 23:52 WIB

Sedulur Papat Limo Pancer, Wejangan Ruhani Sunan Kalijaga

15 Maret 2024 - 00:06 WIB

Kisah Raden Kusen, Senopati Terakhir Majapahit Saat Menghadapi Gempuran Demak (1)

13 Maret 2024 - 17:35 WIB

Trending di Headline