Oleh: Aji Setiawan*)
DALAM sejarahnya, Islam begitu mewarnai sendi-sendi kehidupan –budaya, adat, tradisi- masyarakat Nusantara. Pun sebaliknya. Terjadi dialektika di antara keduanya sehingga membentuk karakter Islam yang khas Nusantara. Aswaja sebagai basis pemahaman keagamaan telah mengakar dalam keberislaman sejak awal masuknya Islam di Nusantara.
Jalur Aswaja telah ditempuh para ulama dalam mendapatkan hukum yang tepat di Nusantara ini sekaligus starategi berdakwah dan berkomunikasi dengan masyarakat nusantara yang beraneka ragam. Selain itu, aswaja juga membangun sekaligus melestarikan tradisi-tradisi dalam ranah rasionalitas dan spiritualitas yang termanifestasi dalam suatu tradisi seni seperti di Aceh maupun direkam dalam kitab- kitab ulama nusantara.
Islam Nusantara atau model Islam Indonesia adalah suatu wujud empiris Islam yang dikembangkan di Nusantara setidaknya sejak abad ke-16, sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi, dan vernakularisasi terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal, yang sesuai dengan realitas sosio-kultural Indonesia.
Narasi Islam Nusantara sebenarnya sudah dimulai pada dekade tahun 1970 dan 1980-an saat gelombang kaum intelektual Indonesia mulai pulang dari pendidikan di luar negeri. Gelombang intelektual muslim Indonesia mulai dari Prof Nurkholis Madjid, Prof. Ayumardi Azra, KH Abdurahman Wakhid dll melalui tulisan mereka di berbagai media, jurnal, buku dll.
Puncaknya istilah ini secara perdana resmi diperkenalkan dan direduksi ulang serta digalakkan kembali oleh organisasi Islam Nahdlatul Ulama pada 2015, sebagai bentuk penafsiran alternatif masyarakat Islam global yang selama ini selalu didominasi perspektif Arab dan Timur Tengah — misalnya Wahabisme.
Islam Nusantara didefinisikan sebagai penafsiran Islam yang mempertimbangkan budaya dan adat istiadat lokal di Indonesia dalam merumuskan fikihnya. Pada Juni 2015, Presiden Joko Widodo telah secara terbuka memberikan dukungan kepada Islam Nusantara, yang merupakan bentuk Islam yang moderat dan dianggap cocok dengan nilai budaya Indonesia.
Penyebaran Islam di Indonesia adalah proses yang perlahan, bertahap, dan berlangsung secara damai. Satu teori menyebutkan bahwa Islam datang secara langsung dari jazirah Arab sebelum abad ke-9 M, sementara pihak lain menyebutkan peranan kaum pedagang dan ulama Sufi yang membawa Islam ke Nusantara pada kurun abad ke-12 atau ke-13, baik melalui Gujarat di India atau langsung dari Timur Tengah. Pada abad ke-16, Islam menggantikan agama Hindu dan Buddha sebagai agama mayoritas di Nusantara. Islam tradisional yang pertama kali berkembang di Indonesia adalah cabang dari Sunni Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang diajarkan oleh kaum ulama, para kiai di pesantren. Model penyebaran Islam seperti ini terutama ditemukan di Jawa. Beberapa aspek dari Islam tradisional telah memasukkan berbagai budaya dan adat istiadat setempat.
Praktik Islam awal di Nusantara sedikit banyak dipengaruhi oleh ajaran Sufisme dan aliran spiritual Jawa yang telah ada sebelumnya. Beberapa tradisi, seperti menghormati otoritas kyai, menghormati tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo, juga ikut ambil bagian dalam tradisi Islam seperti ziarah kubur, tahlilan, dan memperingati maulid nabi, termasuk perayaan sekaten, secara taat dijalankan oleh Muslim tradisional Indonesia.
Akan tetapi, setelah datangnya Islam aliran Salafi modernis yang disusul datangnya ajaran Wahhabi dari Arab, golongan Islam puritan skripturalis ini menolak semua bentuk tradisi itu dan mencelanya sebagai perbuatan syirik atau bidah, direndahkan sebagai bentuk sinkretisme yang merusak kesucian Islam. Kondisi ini telah menimbulkan ketegangan beragama, kebersamaan yang kurang mengenakkan, dan persaingan spiritual antara Nahdlatul Ulama yang tradisional dan Muhammadiyah yang modernis dan puritan.
Sementara warga Indonesia secara seksama memperhatikan kehancuran Timur Tengah yang tercabik-cabik konflik dan perang berkepanjangan. Patut disadari bahwa ada aspek keagamaan dalam konflik ini, yaitu munculnya masalah Islam radikal. Indonesia juga menderita akibat serangan teroris yang dilancarkan oleh kelompok jihadi seperti Jamaah Islamiyah yang menyerang Bali. Doktrin ultra konservatif Salafi dan Wahhabi yang disponsori pemerintah Arab Saudi selama ini telah mendominasi diskursus global mengenai Islam. Kekhawatiran semakin diperparah dengan munculnya ISIS pada 2013 yang melakukan tindakan kejahatan perang nan keji atas nama Islam.
Sekalipun kini dikepung dengan berbagai aliran, Islam Ahlus Sunnah Waljamaah yang ada di bumi Nusantara, kalangan NU tradisional tetap eksis melalui lembaga pesantren untuk menyemai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. (*)
*) Aji Setiawan lahir pada Hari Minggu Wage, 1 Oktober 1978. Dilahirkan tepatnya di Desa Cipawon, Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah. Menempuh pendidikan formal diawali dari sekolah di Madrasah Ibtidaiyah II Cipawon di desa Cipawon, kemudian dilanjutkan ke SMP I Bukateja. Pendidikannya berlanjut ke Kota Kripik tepatnya sejak 1993-1996 di SMA 3 Purwokerto. Tahun 1996 hijrah Yogyakarta dan mengambil pendidikan di Jurusan Teknik Manajemen Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta. Pengalaman Kerja : Reporter Jogja Pos tahun 1999, Redaksi Pelaksana Majalah alKisah, Staff ahli FPPP DPRD II Purbalingga dan menulis di berbagai media online.