Oleh Dr. Muh. Khamdan*
nujepara.or.id – Satu hal menarik dari munculnya banyak tokoh partai politik yang berurusan dengan hukum adalah perlunya memperhatikan konteks kader dan kaderisasi. Anggota DPR dalam setiap jenjang dan periode, setidaknya mencatatkan potensi tersandung kasus korupsi. Jerat hukum itu tak terkecuali juga menimpa sejumlah kader muda NU.
Sangat tepat jika PC GP Ansor Jepara mengantisipasi realitas politik nasional sekaligus politik lokal dengan memulai tradisi sekolah demokrasi. Kegiatan tersebut telah dilakukan untuk pertamanya pada Sabtu, 30 Juli 2022.
Demokrasi yang sedang berjalan, kini mengalami ancaman yang serius dalam proses proseduralnya. Kenyataan itu akan mendapatkan pembenaran jika memperhatikan banyaknya politisi yang berhadapan dengan hukum karena tersangkut pengumpulan pundi-pundi keuangan untuk diri sendiri maupun untuk golongan dari jalan yang ilegal.
Perjalanan demokrasi demikian tentu semakin membuat apatis masyarakat terhadap semua proses politik karena tidak lagi percaya terhadap integritas kenegaraan oleh para politisi. Mulai berkembang di tengah sebagian masyarakat adanya kerinduan terhadap Orde Baru. Jika perbandingannya adalah korupsi, pemerintahan pasca-Orde Baru dianggap telah memperparah tingkat korupsi di semua jenjang sampai ke kampung-kampung.
Pemerintahan saat ini misalnya, dianggap lebih parah dalam mengendalikan harga kebutuhan pokok masyarakat. Lonjakan harga minyak goreng, harga BBM, harga listrik, dan kebijakan tentang proteksi pada petani dan pekerja buruh sangat buruk daripada era Presiden Soeharto. Tidak adanya konsistensi dalam menetapkan kebijakan membentuk perspesi bagi sebagian kalangan telah terjadi pembohongan publik dan cenderung mendahulukan kepentingan golongan atau dilabeli dengan oligarki.
Tak heran jika demokrasi di Indonesia berjalan semakin mahal. Hal demikian karena sangat erat terkait dengan proses pemolesan citra para calon kandidat pemimpin daerah. Melalui berbagai kendala dan kekurangan program dalam sistem kaderisasi, maka muncullah persepsi bahwa koalisi partai adalah suatu keharusan dalam melahirkan kepemimpinan daerah. Jelas semuanya kembali berkaitan dengan besarnya beban modal politik yang dibutuhkan dalam proses berdemokrasi.
Ironisnya, kader muda NU merupakan kalangan masyarakat kecil menengah sehingga belum secara berdikari dan secara signifikan mampu memenangkan kontestasi politik nasional. Kader-kader terbaik NU pada akhirnya menyingkir dari gelanggang politik karena beratnya beban modal politik yang dibutuhkan sehingga rentan melahirkan penyimpangan kekuasaan.
Dengan demikian, prasyarat terlembaganya politik representasi dan partisipasi publik melalui pemilu dan pilkada mesti dilanjutkan dengan memberikan prioritas lebih terhadap institusionalisasi kebebasan informasi publik. Lembaga politik sesungguhnya hanyalah “pintu masuk” demokrasi. Masyarakat yang telah menjelma budayanya dengan parameter uang harus diberikan pendidikan demokrasi yang baik melalui pembacaan objektif kandidat yang harus diawali adanya akses informasi yang luas pada kandidat.
Warga NU dengan jumlah yang sangat besar, tentu menjadi pangsa pasar politik yang potensial untuk memenangkan percaturan politik nasional. Sayangnya, potensi tersebut seolah menguatkan kondisi banyak jumlah tetapi hanya sekadar buih lautan.
Atas dasar itulah, kalangan nahdliyin sebagai komponen utama demokrasi harus diberikan ruang partisipasi untuk mengetahui, mengoreksi, dan memperbaiki proses demokrasi itu sendiri. Warga NU bukan hanya sebagai pendorong mobil mogok sebagaimana sering disampaikan para tokoh-tokoh elit NU, tetapi harus mewarnai dan mengawal perumusan, pelaksanaan, evaluasi, dan tindak lanjut atas kebijakan-kebijakan pemerintah. Pengembangan segmentasi kader NU tidak lagi berkutat hanya pada aspek pengajian, tetapi harus menjangkau semua sektor kehidupan untuk mengawal dan menyelamatkan eksistensi profesi yang ada.
Penghargaan atas proses kaderisasi yang selama ini berjalan terkesan ditiadakan. Hal demikian terlihat dari susunan kepengurusan yang setidaknya sengaja mengesampingkan barisan muda NU atau melalui mekanisme perekrutan yang berjenjang. Konflik-konflik yang selama ini terselubung antara barisan muda dengan idealita politik murni dengan barisan tua yang telah berintegrasi dalam lingkaran kekuasaan, pada akhirnya sering menyisakan kekecewaan berkaitan dengan masuknya pihak-pihak yang justru sebelumnya menjadi “predator” politik.
Persoalan yang merisaukan ini, oleh partai politik belum sepenuhnya menjadi bahan untuk menciptakan lahan pembibitan kader (learning center) yang baik. Pembibitan calon ulama dan negarawan tidak bisa dengan jalan pintas, tetapi melewati sejumlah proses strategis untuk tetap membumi dan memahami masalah nyata kerakyatan. Sungguh mengerikan ketika sistem kaderisasi itu dikesampingkan oleh adanya kepentingan kekuasaan dan jaringan klan, sehingga stock calon negarawan justru terisi oleh orang-orang yang berfikir pragmatis karena belajar dari proses kepartaian yang lebih mengedepankan modal kekayaan dan dinasti keluarga.
Inilah yang harus segera dibenahi oleh semua elit NU terkait kaderisasi sejak dini. Waktunya setiap kepengurusan fokus pada peran transformasi kaderisasi terutama menyangkut potensi generasi muda di semua sektor profesi dan keterampilan. Adanya UU Kepemudaan misalnya sudah semestinya menjadi momentum bagi elit NU di daerah dan di kampung untuk menyusun kurikulum pengkaderan yang baik, sebagaimana menjadi perhatian serius Ketum PBNU periode sekarang.
Demokrasi bukanlah sekadar persoalan kemenangan suara mayoritas, tetapi ada substansi masalah yang harus diperhatikan berupa kesadaran untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik dan penyiapan sosok negarawan untuk menjaga keberlangsungan bangsa Indonesia yang maju dan beradab.
Learning center dalam tubuh NU nantinya dapat diwujudkan sebagai think-thank untuk menjadi pusat studi-studi kajian dan pembelajaran kader. Hal itu terutama bagi kalangan muda sesuai dengan keahlian khusus dan kultur intelektual yang dimiliki di era Revolusi Industri 4.0. Orientasi ini secara sederhana bisa dimulai dengan ikut andil dalam upaya pemberantasan buta aksara dan buta demokrasi. Keduanya tentu sangat terkait dengan cita-cita nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan berupaya untuk memakmurkan seluruh rakyat bukan golongan.
Langkah terwujudnya learning center ini mendesak agar pembacaan masyarakat terhadap partai politik compatible dengan masalah-masalah kebangsaan dan kenegaraan yang kian kompleks, bukan sekadar untuk meraih kekuasaan.
* Kader Muda NU Nalumsari, Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM RI, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta