Judul Buku : Politik Identitas dan Perebutan Hegemoni Kuasa
Penulis : Dr. Muh Khamdan, MA.Hum
Halaman : xxi + 404
Terbit : September 2022
Penerbit : Penerbit A-Empat Banten
Oleh: Umi Nadhira
nujepara.or.id- Salah satu bahaya besar yang mengancam penegakan demokrasi selama ini ternyata adalah mahalnya biaya yang dibutuhkannya. Setidaknya keprihatinan tersebut telah menjadi kecemasan sejumlah kalangan, termasuk generasi muda NU di berbagai kawasan. Demokrasi yang sehat justru diwarnai adanya pengumbaran dana besar untuk berkompetisi di dalam pemilihan kepala daerah secara langsung maupun menuju kursi perwakilan rakyat di semua jenjang. Padahal, kader-kader NU yang militan cenderung berasal dari masyarakat kecil bahkan miskin. Inilah kegelisahan utama dari penulis yang sangat tampak dalam mengkaji kontestasi politik pemilu 2014 pemilu 2019 (hal. 315).
Dampak sistemik yang dihasilkan dari proses pengumbaran dana besar adalah membudayanya kondisi-kondisi negatif dalam berdemokrasi. Moral dan etika politik berubah pada wujud perebutan kekuasaan dan pembalikan modal materi yang sangat besar. Maraklah praktik korupsi sekaligus adanya negosiasi hukum dan penyelenggaraan pemerintahan. Sangat disayangkan perjalanan demokrasi justru mengarah pada penyimpangan kekuasaan yang tergolong political corruption, yaitu penggunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi dan keuntungan golongan elite tertentu. Hal demikian seolah menciderai semangat politik NU yang sempat digelorakan oleh KH. Wahab Chasbullah saat mengusung NU untuk terjun langsung sebagai partai politik di Indonesia.
Peristiwa NU menjadi partai merupakan langkah berani dari para pengurus yang dalam keadaan gawat. Serangan dari tokoh-tokoh Masyumi, PNI, dan PKI selalu mengarah pada NU yang tidak memiliki kader berpendidikan modern. NU sebagai organisasi massa Islam, dianggap tidak memiliki dana dan kekayaan untuk membiayai mobilisasi politik. Kontestasi politik yang sangat keras dari sejumlah partai dalam pertarungan ideologi, menjadikan NU dianggap sebagai calon partai yang tidak memiliki masa depan. Kyai Wahab Chasbullah dalam beberapa forum menjawab dengan mengisyaratkan bahwa jika akan membeli mobil baru, maka pihak dealer mobil tidak perlu bertanya tentang kemampuan menyetir pembeli. Ketidakmampuan mengemudi yang disamakan dengan mengelola partai, dapat diandaikan dengan memasang iklan mencari sopir yang terampil sesuai kriteria pemilik mobil (hal. 158)
NU dalam kontestasi politik berbasis identitas agama sering memainkan strategi zig zag. Sikap oportunis sering dituduhkan oleh sebagian kalangan terhadap NU, tetapi sesungguhnya sikap politik NU memiliki akar dari tradisi Sunni. Hal tersebut sebagaimana kaidah ushul fiqih berupa dar’ul mafasid muqaddamu ‘ala jalbil mashalih. Karakter akomodatif NU sangat berbeda dengan karakter politik modernis yang menjaga konsistensi atau komitmen permanen dan tidak mau kompromi. Semangat perjuangan para pendahulu NU di garis politik kebangsaan tersebut, jelas berbeda pada situasi politik saat ini.
Buruknya perjalanan politik nasional yang diiringi terjadinya political corruption, menjelma menjadi ancaman kekerasan. Kekritisan masyarakat dalam upaya membongkar “perselingkungan” dua kalangan elit masyarakat, yaitu politisi dan pemodal, justru diancam dengan sejumlah kekerasan verbal maupun non-verbal. Kekerasan politik setidaknya menjadi warisan dari setiap penguasa. Penulis menguraikan rentetan peristiwa yang disebutnya sebagai pseudo demokrasi, atau bayang-bayang buruk bawaan demokrasi (hal. 355).
Pada awal pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, praktik itu oleh sebagian kalangan yang diungkapkan penulis buku dimulai dengan berkembangnya stugma radikal. Stigma radikal dituduhkan bukan hanya terhadap organisasi seperti FPI dan HTI, tetapi terjadi pada perseorangan. Profesor Din Syamsuddin dilaporkan oleh Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Alumni ITB ke Komisi Aparat Sipil Negara (KASN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dengan tuduhan radikal, anti_Pancasila, dan anti-NKRI. Sikap kritis terhadap pemerintah dengan serta merta dianggap radikal oleh sebagian masyarakat. Realitas tersebut menjadi indikator bahwa demokrasi yang berjalan di Indonesia pasca Pilpres 2014-2019, mengalami indeks kemerosotan terendah selama 14 tahun terakhir sebagaimana laporan The Economist Intelligende Unit (hal. 359).
Pengumuman kabinet dan pengenalan calon-calon menteri di istana, diiringi adanya penegasan perang terhadap radikalisme. Mahfud MD selaku Menkopolhukam dan Fahrurrazi selaku Menteri Agama misalnya, disebut secara khusus untuk menangani radikalisme oleh Presiden, pada 31 Oktober 2019. Presiden sendiri menggunakan istilah “manipulator agama” yang dapat difahami mengarah terhadap pihak-pihak di luar pemerintahan. Kekerasan verbal pasca-pilpres 2014 dan pilpres 2019 berupa stigma radikal terjadi pada sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Isu identitas “Polisi Taliban” dan “Polisi India” sebagai tuduhan yang berujung pada pencopotan 75 pegawai dengan dalih tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Saat masyarakat berhak untuk mendapatkan jaminan memperoleh informasi telah dimulai dengan berlakunya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), prahara intimidasi demokrasi melalui teror-teror justru mulai mengemuka karena adanya kekhawatiran modal politik tidak bisa kembali ketika perkara hukum menjadi berkelanjutan. Setidaknya upaya pembungkaman kritisisme masyarakat dan juga pembungkaman terhadap pers jelas menciderai kebebasan informasi yang menjadi hak asasi manusia setiap warganegara. Bahkan ancaman recall keanggotaan DPR terhadap anggota partai yang kritis atas patologi demokrasi juga menjadi ancaman.
Demokrasi menghasilkan kebebasan dan dengan kebebasan, setiap warga negara bisa mengontrol dan mengekspresikan hak sekaligus kewajiban politiknya. Namun bagi rezim tirani, demokrasi yang menjamin kebebasan tersebut dapat dianggap sebagai sesuatu yang merusak dan menghambat tatanan yang tentram, damai, dan sejahtera atas kekuasaan yang dipegang. Terlebih lagi adalah semangat untuk menutup akses masyarakat untuk mengetahui layar depan dan layar belakang proses politik yang ada.
Rasionalisasi politik oleh penulis buku ini disebutkan bukan sebagai kategori pemilih, tetapi cara pengambilan keputusan pilihan dari sejumlah alternatif yang ada (hal. 376). Penulis menyimpulkan bahwa pemilih dari kelas ekonomi rendah dapat menjadi penguasa dari demokrasi elektoral, yang berguna untuk terjadinya redistribusi dari masyarakat kaya ke masyarakat miskin. Kekalahan Jokowi-Ma’ruf di NTB misalnya, dapat difahami bukan sebagai karena faktor agama maupun lebih dekat atau tidak terhadap NU dan Nahdhatul Wathan (NW). Akan tetapi, janji Jokowi yang akan membantu masyarakat Lombok saat mengalami gempa, justru tidak ditepati sampai masa Pilpres 2019. Oleh karena itu, masyarakat ekonomi rendah maupun berpendidikan rendah memiliki kekuatan besar dalam menentukan pilihan berdasarkan keyakinan, meskipun hanya pilihan-pilihan sementara.
Pada sisi inilah menjadi penting bagi tokoh elit NU untuk dapat membina jamaahnya. Masyarakat pemilih Indonesia sudah dikenal sangat cair melupakan ideologi partai dan cenderung memilih tokoh yang dianggap mampu memperjuangkan aspirasi. Fenomena demikian oleh penulis digambarkan dengan “idolisasi” yang mengalahkan ideologi partai. Buku yang ditulis dengan sangat detail dalam sisi data perpolitikan lintas zaman ini, sangat cocok dipelajari oleh para pelaku politik maupun relawan yang bergerak untuk kemajuan demokrasi lokal dan nasional.
(Umi Nadhira, Alumni MA Matholi’ul Falah, Kajen Pati.dan lulusan Pesantren Al-Qur’an Ar-Roudlotul Mardliyyah Kudus)