Menu

Mode Gelap
Kisah Hidup Alex Komang, Putra Kiai NU yang Nekat Merantau ke Jakarta Untuk Menjadi Aktor Nama 41 Tokoh yang Dilantik Jadi Pengawas dan Pengurus Yayasan RSU Anugerah Sehat Jepara, Berasal dari Berbagai Latar Belakang Isra’ Mi’raj: Relasi Langit dan Bumi Ini Agenda Muskercab 3 PCNU Jepara, Simak Penjelasannya Kyai Mukhammad Siroj: Sosok Pendidik, Pengabdi dan Teladan Sehidup Semati

Esai · 16 Feb 2023 05:27 WIB ·

Mengurus Jam’iyah, Merawat Jama’ah


 Mengurus Jam’iyah, Merawat Jama’ah Perbesar

Oleh : Zaenal Anwari, S.HI.
Wakil Sekretaris Tanfidziyah MWC NU Nalumsari

nujepara.or.id – Ada dua kata yang sangat melekat pada warga Nahdliyin, yaitu jam’iyah dan jama’ah. Dua kata yang memiliki kesamaan asal dasar dari istilah “jama’a”. Yups, menjadi penting bagi kita jika membahas suatu peristilahan maka perlu mengangkat dari asal muasal kata itu sendiri.

Jama’ sering diartikan dengan jumlah bilangan yang banyak, sedangkan jama’a didefinisikan sebagai proses mengumpulkan yang banyak menjadi satu. Ini berubah arti ketika disebut dengan jama’ah, yaitu melakukan sesuatu dengan cara bersama-sama. Sedangkan kesepakatan yang dihasilkan atas hasil putusan bersama maka identik di kalangan Nahdliyin dengan ungkapan ijma’.

Dari perubahan istilah ini jugalah, warga Nahdliyin sangat memegang teguh identitas kolektif sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Tentu sebagian besar kalangan muslim mengetahui adanya dalil “alaikum bil jama’ah” atau berpegang teguh pada jama’ah. Dalil tersebut pun lebih dikuatkan karena adanya setan yang berpotensi menemani orang yang sendirian. Bahkan, sangat familiar adanya peringatan bahwa jika ada dua orang bersama, maka yang ketiga adalah setan.

Begitu pentingnya arti sebuah kerja bersama-sama dalam bentuk jama’ah, sampai Rasulullah mengingatkan untuk memerangi pihak-pihak yang berupaya memecah belah atau menjauhkan adanya kerja bersama-sama.

Jama’ah adalah perkumpulan kebersamaan, sehingga meniadakan posisi kelompok-kelompok. Sebagian ulama terdahulu bahkan berpendapat wajib bagi siapapun untuk menjadi bagian dari jamaah itu sendiri. Dalam konteks Syiah misalnya, kewajiban baiat atas kepemimpinan jama’ah menjadi bagian dari rukun teologinya.

Beruntung bagi kita di Nusantara, pemaknaan jama’ah diwujudkan dalam bentuk organisasi Nahdlatul Ulama (NU), yang berjamaah atas dasar ikatan sanad keilmuan dan sanad keagamaan yang bersambung pada para sahabat dan Rasulullah.

Posisi NU sebagai jama’ah, yaitu berkumpul dan bersatunya para ulama dan para pengikut ulama, memiliki konsekuensi adanya pengaturan. Proses pengaturan atas wadah bersatu inilah yang kita namakan jam’iyah. Sebagaimana nasihat yang diungkapkan Sahabat Ali bin Abi Thalib, bahwa saat yang batil ditata dan diorganisir dengan baik maka akan mengalahkan yang hak.

Artinya, kejahatan yang terorganisir berpotensi mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Pesan ini menjadi penting perlunya keteraturan serta pengorganisasian kebaikan di tengah masyarakat.
Ada dimensi jama’ah pada satu sisi, dan sisi lainnya ada dimensi jam’iyah. Untuk memudahkan memahami hubungan dua istilah tersebut, jama’ah adalah isi sedangkan jam’iyah adalah wadahnya.

Seringkali kita mendengar seseorang atau kelompok yang abai sebagai bagian dari NU. Kendati dirinya melakukan amaliyah keseharian yang diajarkan para ulama NU, namun tidak mengakui eksistensi pengurus NU. Inilah isi yang tidak mengakui wadah.

Sebaliknya, muncul juga fenomena seseorang yang memegang dan menguasai kepengurusan NU namun abai pada warga Nahdliyin. Kepengurusan di NU seolah dijadikan sebagai sebuah karir sosial dan karir politik, sedangkan warga Nahdliyin digunakan sebagai basis dukungan yang tidak diberdayakan bahkan tidak tersentuh program kesejahteraan. Inilah wadah yang lupa dengan isinya.

Menjadi penting bahwa hubungan wadah dan isi, pengelolaan yang baik terhadap jama’ah dan jam’iyah untuk dikampanyekan. Seabad berlalu dan kini memasuki fase abad kedua, NU mesti diwujudkan sebagai organisasi yang memberi manfaat kepada warganya. NU sebagai jam’iyah harus memberikan peningkatan kualitas serta pengelolaan terbaik pada warga Nahdliyin selaku “pemilik saham” atau jama’ah.

Ini tentu membutuhkan semangat berkhidmat pada umat yang luar biasa dari seluruh kader di semua tingkatan. Perhatian pada tingkat kesejahteraan Nahdliyin misalnya, mesti bisa dijawab dengan penyediaan fasilitas kesehatan secara mandiri oleh NU. Perhatian pada tingkat pendidikan Nahdliyin, mesti bisa dijawab dengan penyediaan lembaga pendidikan yang dikelola secara serius dan modern.

Perhatian pada tingkat kesejahteraan ekonomi, mesti bisa dijawab dengan penyediaan serta kemudahan akses keuangan oleh NU. Bahkan sampai pada level tingkat gizi bayi dan anak maupun perlindungan hak hidup serta lingkungan yang baik, NU harus bisa hadir sesuai tuntutan zaman.

Terlalu naif jika kita menyatakan bahwa berjamaah dan berjam’iyah di NU adalah sholih li kulli zaman wa makan, namun kepengurusan maupun wargan Nahdliyin nya sendiri abai denga persoalan. Aspek organisatoris atau pemegang mandat kepengurusan NU harus terus menerus menampung serta merespon aspek-aspek kebutuhan jama’ah. Tidak bisa tidak, jenjang pengkaderan mesti dijaga serta dikembangkan sesuai perkembangan zaman.

Artikel ini telah dibaca 548 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Fenomena Minuman Keras di Jepara, Antara Wisata Halal dan Tantangan Regulasi

5 Februari 2025 - 22:32 WIB

Munculnya Organisasi Berlabel NU, Aspirasi atau Fragmentasi?

3 Februari 2025 - 17:57 WIB

Kisah Hidup Alex Komang, Putra Kiai NU yang Nekat Merantau ke Jakarta Untuk Menjadi Aktor

30 Januari 2025 - 20:19 WIB

Nama 41 Tokoh yang Dilantik Jadi Pengawas dan Pengurus Yayasan RSU Anugerah Sehat Jepara, Berasal dari Berbagai Latar Belakang

27 Januari 2025 - 21:34 WIB

Isra’ Mi’raj: Relasi Langit dan Bumi

26 Januari 2025 - 23:01 WIB

Ini Agenda Muskercab 3 PCNU Jepara, Simak Penjelasannya

26 Januari 2025 - 22:14 WIB

Trending di Headline