nujepara.or.id- Salah satu ulama Nusantara yang juga salah satu pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Asy-Syaikh al-Allamah Shahibul Fadhilah Haji Raden Muhammad Asnawi bin Abdullah Husain al-Qudsi, atau yang biasa disebut Kiai Asnawi Kudus.
K.H.R. Asnawi merupakan ulama yang sangat aktif dalam pergerakan nasional pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Kyai Asnawi diberikan mandat sebagai penasehat Sarekat Islam cabang Kudus pada tahun 1918 M. Selain aktif dalam pergerakan Kiai Asnawi juga berguru kepada ualama-ulama seperti, Kiai Sholeh Darat dari Semarang, Kyai Mahfudz At-Tarmisi, Sayyid Umar, Syekh Nawawi al-Bantani dll.
Diantara nama-nama besar yang merupakan murid-murid Kiai Asnawi adalah kyai Sholeh dari Tayu, Pati, K.H. Wahab Chasbullah dari Jombang, kyai Bisri Syamsuri dari Jombang dan lain sebagainya.
Kiai Asnawi juga produktif dalam menuangkan buah pikiran kedalam karya tulisan, berikut beberapa karya, Syari’atul Islam Lit Ta’limin Nisa’ wal Ghulam (1934), Kitab Fashalatan (1954), Kitab Soal Jawab Mu’takad Seket, Syair Nasionalisme Relijius, Shalawat Asnawiyah/ Syi’iran Nasiihaat.
Salah satu kitab yang populer di kalangan pesantren adalah Kitab Syi’iran Nasihaat yang ditulis pada saat masa Hindia-Belanda. Kitab ini berisikan beberapa nasihat yang ditunjukkan kepada anak cucunya Kyai Asnawi dan segenap saudara muslim.
Isi kitab dimulai dengan muqadimmah dari Ahmad Minan Zuhri. Kemudian berikutnya ditulis Syi’ir yang berbahasa Jawa yang menggunakan aksara arab pegon. Selanjutnya juga dicantumkan sholawat Asnawiyyah, pada bagian akhir berisi terjemah dari Syi’ir yang berbahasa Jawa. Salah satu pada bait ke-7 pada sholawat Asnawiyah pada kitab Syi’iran Nasiihaat menyebutkan kata ‘Indonesia’.
Salah satu isi dari Kitab Syi’iran Nasihat adalah Nasihat Mbah K.H.R. Asnawi tentang jangan membanggakan nasab atau silsilah. Berikut petikan syi’irannya:
Iki wasiat maring anakku – Lan maring poro muslim dulurku
(ini wasiat kepada anakku – dan kepada para muslim saudaraku)
Ngilingi nasab lan salasilah – Terkadang bener terkadang salah
(mengingat nasab dan silsilah – terkadang benar terkadang salah)
Lamun supoyo niru lakune – Leluhur bagus budi kertine
(tetapi supaya benar perilakunya – luhur bagus budi pekertinya)
Yen nejo maring diri gungungan – Luhuring tedak gawe omongan
(jika berharap kepada kebesaran – luhurnya keturunan menjadi perbincangan)
Iku keliru ojo mbok tiru – Ngedukno nasab lakune saru
(itu keliru jangan ditiru – membanggakan nasab perilakunya tabu)
Keno katembung ngedukno balung – ingkang wus ajur ora demunung
(bisa disebut membanggakan tulang – yang sudah hancur tidak bertempat)
Wong kang mengku bodo lan kumprung – bingung dak weruh maring delanggung
(orang yang bodoh dan tidak mengakui kebodohannya – bingung tidak tahu kepada jalan)
Seperti koyo tismak’an batuk – tan weruh maring mburine jithok
(seperti memakai kacamata di kening – tidak melihat kepada yang ada di belakang tengkuk). (red)