Oleh Dr Muh Khamdan*
nujepara.or.id – Pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren yang diteken Pemkab dan DPRD Jepara pada Jumat (19/5/2023) menjadi angin segar bagi kalangan pondok pesantren di Kota Ukir. Namun ini baru pintu awal, masih ada sejumlah tahapan yang harus dikawal agar regulasi itu tak hanya sekadar tulisan di atas kertas belaka.
Kita ketahui bersama, Sistem Pendidikan Nasional yang diatur oleh negara melalui Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, menempatkan pondok pesantren (ponpes) sebagai jalur pendidikan nonformal. Posisi tersebut jelas menunjukkan bahwa pesantren belum diakui secara penuh sebagai pendidikan terstruktur dan berjenjang sebagaimana pendidikan di luar pesantren.
Artinya, lulusan pesantren tidak dapat dianggap sama untuk menempuh pendidikan di jalur formal seperti SMP, SMA, maupun perguruan tinggi umum dan perguruan tinggi agama. Pesantren yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka, dianggap sebagai subkultur. Konsekuensinya, pesantren dan lulusannya tidak mendapatkan persamaan dengan bentuk pendidikan formal lain.
Pada posisi itulah maka menjadi penting adanya afirmasi atau pengakuan dan penguatan nyata atas keberadaan pesantren. Beruntung, afirmasi tersebut berhasil diperjuangkan melalui pengesahan UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. UU tentang Pesantren disahkan melalui Rapat Paripurna DPR pada 24 September 2019. Akan tetapi, regulasi belum dapat berjalan optimal manakala tidak didukung aturan-aturan turunannya.
Pesantren tidak bisa hanya dipandang sebagai urusan agama, mengingat keseluruhan bidang kehidupan masyarakat menjadi substansi pengajaran pesantren. Oleh karena itu, keberadaan Perda tentang Pesantren menjadi salah satu aturan turunan yang sangat penting, sebagaimana telah diteken bersama oleh Pemkab dan DPRD Jepara saat mengesahkan Perda Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren.
Harapan baru atas Perda Fasilitasi Pesantren adalah komitmen untuk adanya pembinaan, pemberdayaan, rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi pesantren di Jepara.
Pertama, komitmen pembinaan. Pemkab Jepara beserta keseluruhan perangkatnya, harus melakukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan sumber daya pesantren dalam beragam bentuk. Pengembangan itu semisal melalui peningkatan standar pendidikan dan pelatihan, pemberian beasiswa bagi SDM pesantren, dan fasilitasi lain dalam upaya peningkatan pengetahuan, wawasan, serta keahlian.
Pembinaan terhadap pesantren juga diperankan melalui pembentukan lingkungan pesantren yang layak dan nyaman, termasuk di dalamnya adalah pembinaan keterampilan usaha dan manajerial.
Kedua, komitmen pemberdayaan. Pemkab Jepara beserta keseluruhan perangkatnya, harus membantu peningkatan kemandirian ekonomi pesantren dan perekonomian masyarakat di lingkungan pesantren.
Pemberdayaan yang mesti dilakukan Pemkab Jepara dan seluruh perangkat dukungannya adalah strategi peningkatan kewirausahaan, permodalan, akses pemasaran produk pesantren, termasuk kemitraan strategis di bidang ekonomi dan mitigasi risiko. Oleh karenanya, Pemda dan komunitas pesantren mesti bersama-sama memperkuat pembentukan kelembagaan usaha pesantren sekaligus memperkuat lembaga tersebut.
Ketiga, komitmen rekognisi. Pemda beserta keseluruhan perangkatnya, harus berani mengakui segala sumber daya pesantren terutama keberadaan serta kapasitas kemampuan santri. Pemda mesti memberikan penghargaan terhadap pesantren yang telah turut serta membantu negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Langkah tersebut sebagaimana memberikan apresiasi penghargaan. Pengakuan negara yang diperankan oleh Pemda, menjadi hal yang sangat penting agar lulusan pesantren setara dan disetarakan dengan lulusan pendidikan jalur non-pesantren.
Keempat, komitmen afirmasi. Pemda beserta keseluruhan perangkatnya, harus menyediakan bentuk-bentuk bantuan. Hal itu sebagaimana bantuan operasional pesantren, bantuan sarana prasarana, bantuan program, bantuan hibah, dan bantuan lainnya.
Pada posisi ini, menjadi penting untuk ditindaklanjuti adanya peraturan teknis yang memudahkan komunitas pesantren. Kemandirian pesantren yang selama ini berjalan lebih dari ratusan tahun, harus terjaga tanpa harus terciderai adanya kasus hukum dan penyelewengan-penyelewenagan anggaran negara.
Kelima, komitmen fasilitasi pesantren. Pemda beserta keseluruhan perangkatnya, harus bisa melaksanakan fasilitasi penyelenggaraan pesantren. Tentunya, fasilitasi demikian tetap memperhatikan kemampuan keuangan daerah.
Fasilitasi Pemda atas pesantren dapat berupa fasilitasi sarana prasarana, fasilitasi sarana penunjang, fasilitasi sumber daya manusia pesantren, dan fasilitasi sarana prasarana peribadatan.
Kelima harapan dari pengesahan Perda fasilitasi pesantren di atas, tentu harus didukung dengan aturan turunan. Perda tidak akan berjalan efektif jika tak ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Bupati Jepara. Oleh karena itu perlu gerakan yang terus disuarakan untuk mengawal regulasi baru ini.
Dan Jepara sudah memiliki pengalaman terkait hal ini. Misalnya terkait Perda No 7 tahun 2019 tentang Penyandang Disabilitas. Hingga kini juga belum ditindaklanjuti dengan penerbitan Perbup Jepara maupun pengalokasian anggaran untuk mendukung pemenuhan hak-hak disabilitas di Kota Ukir.
Di Jepara, baru sekitar 371 pesantren yang teregistrasi, yang memungkinkan banyak pesantren belum memiliki ijin operasionalnya. Oleh karena itu, komunitas-komunitas pesantren mesti turut bersinergi dan gerak cepat untuk membantu merumuskan sekaligus menyiapkan piranti-piranti teknis dalam mendukung terwujudnya masa depan indah bagi kalangan pesantren. Semoga.
*Pengurus Lembaga Talif wan Nasyr NU (LTNNU) MWC NU Nalumsari
* Doktoral Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta