Oleh Dr. Muh Khamdan*
nujepara.or.id – Pengusulan Ratu Kalinyamat sebagai pahlawan nasional membuahkan hasil pada 2023 ini. Heroisme perempuan pewaris tahta kesultanan Demak dalam melawan upaya penjajahan, secara resmi telah diakui oleh negara. Hal demikian memiliki makna bahwa kisah-kisah sang ratu yang digelari oleh kolonial Portugis dengan Rainha de Jepara senhora Poderosa e rice atau Ratu Jepara yang gagah berani dan berkuasa, bukan sekadar mitos atau rekaan cerita ahistoris.
Semangat ekspansi agama Katolik sekaligus pencarian sumber perdagangan rempah-rempah dunia diperankan oleh Kerajaan Katolik Portugis dan Kerajaan Katolik Spanyol. Pada 1488, ekspedisi Portugis yang dipimpin Bartolomeu Dias sampai di ujung selatan Benua Afrika. Pendaratan pertama Portugis di tanah Afrika itu bersamaan dengan masa awal berdirinya Kesultanan Demak oleh Raden Fatah bin Brawijaya V.
Ekspedisi dagang dari utusan Kerajaan Katolik Portugis dianggap kelanjutan dari Pasukan Salib yang masih terbayang di sejumlah belahan dunia. Kapal dagang Portugis mendapatkan penolakan di sejumlah pelabuhan dunia pada masa itu, sehingga belum berhasil menguasai jalur rempah-rempah internasional.
Baru pada 1511, Alfonso de Albuquerque berhasil mengekspansi Kesultanan Malaka di Samudera Hindia pada 1511. Keberhasilan penaklukan atas pelabuhan rempah-rempah sekaligus kekuasaan sebuah kesultanan di Asia, memberi motivasi penguasaan pulau-pulau Nusantara sampai ke Maluku pada 1512.
Malaka sesungguhnya bukan penghasil rempah-rempah, tetapi pelabuhan tempat transit perdagangan internasional. Penguasaan Malaka oleh Portugis menjadikan perdagangan di Asia Tenggara menjadi kacau. Solidaritas agama karena Kesultanan Malaka yang berbasis Islam ditundukkan, memengaruhi Kesultanan Islam Demak memberikan bantuan penyerangan melawan Portugis di Malaka.
Pada 1513, Kesultanan Islam Demak mengirimkan armada ekspedisi jihad 1 yang dipimpin putra mahkota, Pati Unus, dengan 100 kapal dan 5.000 pasukan untuk menyerang Portugis, kendati belum berhasil. Pati Unus menggantikan Sultan Fatah sebagai Sultan Demak ke-2, dan melanjutkan ekspedisi jihad 2 ke Malaka dengan 375 kapal pada 1521.
Ekspedisi jihad yang kembali dilakukan Pati Unus setidaknya dipengaruhi juga adanya penaklukan Kesultanan Sulu dan Kesultanan Mindanao oleh Kerajaan Katolik Spanyol, yang kemudian hari berubah menjadi Philipina. Penyerangan kedua kali, mengakibatkan Sultan Pati Unus wafat dalam pertempuran sehingga dikenal dengan Pangeran Sabrang Lor.
Kekalahan Demak di Malaka membuat eksistensi Portugis semakin kuat. Sejumlah kerajaan non-muslim membuat perjanjian damai dengan Portugis di Malaka, sebagaimana Kerajaan Hindu Sunda Padjajaran. Perjanjian damai Portugis dan Padjajaran berkonsekuensi pelabuhan Sunda Kelapa diserahkan penguasaannya pada Portugis pada 29 Juli 1527.
Kondisi yang mulai tidak menguntungkan alur perdagangan umat Islam maupun ancaman penyebaran agama Katolik di wilayah Jawa, memengaruhi Sultan Trenggono selaku pewaris tahta kesultanan Demak atau sultan ke-3 melakukan perlawanan kembali terhadap Portugis.
Ekspedisi jihad 3 dilakukan Sultan Trenggono dengan mengirimkan pasukan perang pimpinan Fatahillah untuk merebut Sunda Kelapa dari koalisi Portugis dan Padjajaran pada 1527. Pasukan Demak bergabung dengan masyarakat Cirebon binaan Sunan Gunung Djati dan sejumlah komunitas muslim Melayu dan Jawa yang menetap di wilayah Sunda Padjajaran. Pelabuhan Sunda Kelapa dapat direbut pasukan muslim pada 22 Juni 1527 bertepatan dengan 22 Ramadhan 933 H, kemudian diganti nama menjadi Jayakarta. Peristiwa inilah yang kemudian diperingati sebagai hari jadi DKI Jakarta.
Heroisme Ratu Kalinyamat
Suksesi kepemimpinan Demak setelah Sultan Trenggono wafat, diiringi prahara perebutan sesama anggota keluarga. Ratu Kalinyamat sebagai puteri tertua Trenggono dan yang sudah diberikan wilayah otonom di Jepara, tampil menjaga kehormatan kerajaan. Ratu Kalinyamat mengembangkan kerajaan berdasarkan prioritas pada sektor perdagangan dan poros kemaritiman. Strategi kebijakan itu membuat Demak yang bergeser kekuasaannya di Jepara, dapat menjalin kerjasama dengan sejumlah kesultanan maritim seperti Ternate, Tidore, Johor, Aceh, dan Malaka.
Poros maritim yang ditandai dengan pakta pertahanan militer lintas kesultanan, secara terencana melakukan penyerangan pada Portugis. Ratu Kalinyamat sebagai pimpinan pakta pertahanan maritim memimpin ekspedisi militer pada 1550, dengan mengerahkan sekitar 40 kapal besar dari Jepara beserta 5 ribu pasukan perang. Ekspedisi jihad ke-4 ini melibatkan kekuatan militer dari Kesultanan Johor dan Aceh. Kekalahan masih dialami pasukan gabungan pimpinan Ratu Kalinyamat.
Pada 1573, Ratu Kalinyamat melakukan usaha penyerangan kembali terhadap Portugis di Malaka. Ekspedisi jihad ke-5 melibatkan kekuatan sekitar 300 kapal dengan 15 ribu pasukan dari Jepara. Sayangnya, koordinasi waktu dengan Kesultanan Aceh belum bisa melakukan penyerangan secara serentak dan bersamaan. Armada militer laut Jepara tiba di Malaka pada Oktober 1574, sedangkan armada militer Aceh yang dipimpin Sultan Ali Riayat Syah sudah melakukan penyerangan terlebih dahulu.
Armada militer dari Jepara mampu melakukan pengepungan terhadap Portugis selama 3 bulan, yang berdampak pada Kesultanan Islam Ternate pimpinan Sultan Baabullah dapat mengusir Portugis dari Maluku pada 1575, dan takutnya Portugis melanjutkan penguasaan di tanah Jawa.
Kepemimpinan Ratu Kalinyamat sekitar 30 tahun (1549-1579) pasca-kematian suaminya, Sultan Hadirin, telah mewarnai muncunya pakta pertahanan militer dari Maluku sampai Aceh. Artinya, kedigdayaan armada militer laut Jepara kala itu adalah super power yang berulang kali mampu merepotkan kolonial Kerajaan Katolik Portugis di Nusantara. Ratu Kalinyamat memiliki pengaruh kuat di bidang politik dan militer kemaritiman pada abad ke-16, yang melampaui peran wanita pada masanya dan masa sekarang ini.
*Pengurus LTN NU MWCNU Nalumsari, alumni program doktoral (S3) Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta