Oleh : Murtadho Hadi*
nujepara.or.id- Di sebuah forum diskusi terbatas, di Jogjakarta jauh sebelum Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) jadi presiden, kepada beliau pernah ditanyakan : “Gus! Bagaimana seumpama sistem pembelajaran pesantren yang berbasis kitab kuning kita rombak saja, diganti dengan pembelajaran bahasa seperti Pesantren Modern Gontor, Arab dan Inggris sebagai pengantar, sehingga santri-santri fasih berbahasa, ..dan mengadopsi wacana teologi pembebasan Paulo Freire misalnya, santri-santri tak lagi minder!”
Sistem pengajaran “Kitab Kuning” di pesantren, dulu (di Era Orde Baru) seiring kekalahan politik santri dan ketika pesantren dimarginalkan memang pernah dipandang sebelah mata, sehingga pertanyaan yang miring seperti itu kok ya pernah saja ditanyakan kepada Gus Dur.
Makelar Terdidik!
Narasi-narasi dari sang penanya (yang berbasis akademisi) ini, sungguh menarik dan memukau. Sehingga nalar forum pun hampir-hampir memandangnya sebagai gagasan yang “brilian”. Tapi Gus Dur justru dengan sinis balik bertanya, “Untuk apa?”Lanjut Gus Dur, “Sistem pendidikan seperti itu (jika digarap tidak hati-hati) hanya berpeluang mencetak para broker dan makelar!”
Lebih jauh, Gus Dur menjelaskan, ihwal “Theologi Pembebasan” ini, di negara muasalnya sendiri (yaitu negara-negara Amerika Latin ketika itu) hanya menjadi gagasan yang pailit! Tak mampu menjawab problem-problem kemasyarakatan: yaitu melek huruf, kesenjangan ekonomi, eksploitasi alam, kesetaraan dan keadilan, dan intinya rakyat tetap miskin. Sedang kelas terdidiknya hanya menjadi “makelar”dan “broker”.
Lama sekali, saya memahami dan mencerna ucapan Gus Dur itu, apa relevansinya antara “pengajaran yang berbasis bahasa” dalam kaitannya dengan makelar dan broker, saya belum paham, sampai rezim berubah (di Era presiden SBY) banyak sekali para pejabat, petinggi partai, dengan nama-nama yang islami (terampil berbahasa Arab: maaf “prokem!” Bukan bahasa “teks” dan “literasi” keilmuan dari para ulama dan cerdik cendekia) yang berurusan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Ada juga yang tersandung kasus “Makelar Sapi” dan lain sebagainya.
Tanpa Kitab Kuning
Bahkan yang menggemparkan dan menggegerkan! Semua kita umat muslim turut “sedih” dan “prihatin” adalah kasus-kasus dari biro-biro travel Umroh dan Haji, dengan ratusan ribu korban penipuan, bahkan jutaan, dengan kerugian moril maupun materiil mencapai ratusan triliun.
Belum tuntas dengan itu kita dikejutkan lagi dengan “penipuan” terbesar Lembaga Kemanusiaan ACT (Aksi Cepat Tanggap) yang tiba-tiba jaringannya banyak ditopang jaringan-jaringan travel/tour juga (haji dan umrah) tidak saja di Nusantara, tapi bahkan jaringannya banyak di negeri tetangga dan negeri-negeri Muslim.
Sekali lagi saya tegaskan:; saya tidak mengatakan itu terkait dengan lembaga-lembaga pendidikan tertentu (anda sendiri sudah tahu profil-profilnya dari mana), kalau ada tentu saja itu oknum. Namun yang saya tegaskan (sebagai pengamat dan kritik yang membangun) adalah: kita bangsa Indonesia telah menjadi korban Lembaga-Lembaga Pendidikan dan Pengajaran yang berbasis Bahasa (tentu saja tanpa “wacana keilmuan” dari ulama-ulama salaf : tanpa “kitab kuning!”) Itu yang sudah pasti.
Kita bangsa Indonesia, benar-benar menjadi korban dari “teori coba-coba” “praktek lab-bahasa” atawa “ruang kelas berbasis bahasa” yang papan iklannya sudah merasa “wah”, modern, seolah sistem pengajaran lembaga-lembaga pendidikan yang mainstream seakan “kuno” dan ortodoks.
Gontor
Kita tidak menampik, bahwa Pesantren Modern Gontor pernah menelurkan sosok ulama sekaliber KH. Idham Khalid, KH. Hasyim Muzadi, KH. Syukron Ma’mun, ..tapi tidakkah mereka juga tumbuh dalam tradisi “keilmuan kitab kuning” di pesantren (di kampung) mereka masing-masing? Tak diragukan, KH. Idham Khalid adalah sosok yang dikader langsung oleh KH. Wahid Hasyim di ranah pergerakan : dalam SOMOBUCU di era penjajahan Jepang atau PETA (Pasukan Pemuda Pembela Tanah Air).
Ketika itu, Kyai Wahid melihat sosok pemuda yang cerdas dan terampil berdarah Kalimantan, maka kepada asistennya yang bernama Saifuddin Zuhri (yang kelak menjadi Menteri Agama di Era Soekarno), Kyai Wahid bilang, “Zuhri, kenalkan NU pada dia!” (Maksud Kyai Wahid adalah Idham Khalid). Jadilah Idham Khalid menjadi jajaran tokoh berpengaruh dari NU di ranah politik dan pergerakan. Dan secara berkesinambungan, KH. Idham pun memungut Pemuda Syukron Ma’mun dari Gontor untuk tinggal menetap satu rumah di Jakarta.
Bukan NU, Bukan Muhammadiyah!
Dan sekarang, Pesantren Modern Gontor (pasca KH. Zarkasyi dan Syukri Zarkasyi) kerap jadi sorotan dan perbincangan publik, dari mulai : “kekerasan siswa” yang berujung kematian, pendidikan semi militeristik, bahkan jargonnya sekarang yang menegasikan “bukan Muhammadiyah bukan NU”.
Barangkali, inilah yang menjadikan citra Pesantren Modern Gontor tampil dalam wajahnya yang berbeda dalam akhir-akhir ini, yang sayangnya “negasi-negasi” itu dalam ranah hidup bernegara juga perlu ditegaskan: beranikah Gontor juga menegasikan bukan “Ikhwanul Muslimin”, bukan HTI, dan bukan slafi Wahabi?
*Penulis adalah : pengurus LTN-NU Jepara, “Sastrawan”, dan Alumni Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)