nujepara.or.id- Setelah periode Kerajaan Kalingga, nama Jepara muncul dalam sumber sejarah Portugis yang menuliskan perjalanan Tome Pires dalam buku Suma Oriental. Buku ini merupakan catatan sejarah tertulis pertama tentang Jepara. Dalam buku tersebut ditulis, tahun 1470 Jepara adalah sebuah kota pantai yang baru dihuni 90-100 orang.
Kota ini dilukiskan oleh Tome Pires dikelilingi oleh benteng yang terbuat dari bambu. Daerah ini dipimpin oleh seorang muslim bernama Arya Timur. Ia kemudian berhasil mengembangkan kota ini menjadi pelabuhan yang cukup besar dan bahkan menjadi salah satu pelabuhan transit perahu-perahu dagang yang akan berlayar ke berbagai pulau.
Dalam catatan Tome Pires juga diungkapkan, Jepara memiliki andil yang besar dalam perkembangan Islam di pulau Jawa. Sebab banyak kaum sufi dan pedagang dari Cina, India, Arab dan dari seberang lautan yang menyebarkan ajaran Islam itu secara damai di pulau Jawa. Karena itu Jepara memiliki peran yang sangat penting.
Menurut Hadi Priyanto, Budayawan dan Penulis buku Ratu Kalinyamat, Rainha de Japara mengatakan bahwa dalam Serat Kandha edisi Brandes disebutkan, saat Raden Rahmat atau yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel pertama kali datang ke pulau Jawa, ia menjejakkan kakinya pertama kali di Jepara. Sedangkan dalam Hikayat Hasanudin, naskah sejarah yang berasal dari Banten mengungkapkan, setelah Sunan Ampel wafat, ada anak dan keluarganya yang pindah ke Jepara.
Wafatnya Sunan Ampel ditandai dengan dua candra sengkala. Dalam Serat Babad Gresik, candra sengkalanya adalah Pandhita Ngampel Lena Masjid atau tahun 1475 Masehi. Sedangkan dalam artikel Wiselius yang ditulis berdasarkan Babad Gresik menyebutkan, Sunan Ampel wafat pada tahun 1481 Masehi, ditandai dengan candra sengkala Ngulama Ngampel Lena Masjid.
“Dalam hikayat ini disebutkan, anak Sunan Ampel yang pindah ke Jepara pertama kali adalah Nyai Gede Pancuran bersama suaminya, Pangeran Ibrahim”, ujar Hadi Priyanto.
“Ia juga dikenal sebagai pandita dari atas angin, karena kesalehan hidup dan kebaikan hatinya. Pangeran Ibrahim adalah ipar Raden Makdum Ibrahim yang kemudian dikenal sebagai Sunan Bonang. Mereka tinggal di suatu tempat yang disebut Karang Kemuning”, lanjutnya.
Dalam Hikayat Hasanudin juga dikisahkan, setelah beberapa saat menjadi imam masjid di Surabaya, Makdum Ibrahim juga menyusul kakaknya ke Jepara. Sebelumnya ia menjadi imam masjid di Demak.
Setelah cukup lama tingggal di Jepara, rumahnya terbakar. Demikian juga kitab-kitab yang dimiliki. Murid-muridnya berdatangan ke Jepara untuk memberikan pertolongan, termasuk Kalijaga. Namun Makdum Ibrahim tidak mau. Setelah peristiwa itu, ia bahkan kemudian pindah ke Bonang, Demak, hingga akhirnya Makdum Ibrahim dikenal sebagai Sunan Bonang.
Beberapa waktu kemudian pindah ke Tuban, hingga akhirnya wafat dan dimakamkan di kota ini. Kehadiran anak-anak Sunan Ampel di Jepara, dapat diduga karena kedekatannya dengan Arya Timur yang memang dikenal memiliki hubungan baik dengan para ulama yang melakukan syiar Islam di pulau Jawa.
Sebab berdasarkan catatan Tome Pires sekitar tahun 1470 Masehi, Jepara telah dipimpin oleh seorang penguasa muslim. Walau pun penguasa muslim ini tidak disebutkan namanya, tetapi tahun 1470 Masehi dicatat oleh Tome Pires, penguasa Jepara adalah Arya Timur.
Peran Ratu Kalinyamat
Peran Ratu Kalinyamat dalam syiar Islam di pulau Jawa juga sanggat besar. Setelah sepuluh tahun naik tahta, ia membangun sebuah masjid di dekat makam suaminya. Pembangunan masjid ini ditandai dengan candra sengkala yang terletak di mihrab masjid berbunyi Rupo Brahmana Warna Sari atau tahun 1481 Saka.
Jika dikonversi dalam penanggalan Masehi menjadi tahun 1559 Masehi. Masjid Mantingan ini merupakan salah satu dari delapan masjid tertua di Indonesia.
Masjid yang terletak di desa Mantingan ini dihiasi dengan berbagai macam ornamen ukiran yang terbuat dari batu putih. Ornamen yang ada di Masjid Mantingan memiliki nilai-nilai yang merupakaan perpaduan secara harmonis nilai Islami, Hindu dan Tiongkok.
Masuknya budaya Islam dalam ornamen ukiran masjid Mantingan ini konon berasal dari petunjuk Sunan Kalijaga kepada Ratu Kalinyamat. Ini sekaligus menjadi bukti ketaatan Ratu Kalinyamat dalam menjalankan ibadah dan syariat Islam.
Namun masih nampak jelas unsur budaya Hindu dan Tiongkok. Perpaduan budaya ini nampak pada gapura makam yang menggunakan gerbang candi bentar yang merupakan salah satu ciri khusus bangunan candi Hindu.
Walaupun tidak banyak yang mencatat, masjid Agung Jepara adalah masjid kerajaan yang diduga dibangun oleh Pangeran Ratu Kalinyamat. Karena itu, seperti halnya makam dan masjid Mantingan, arsitektur masjid ini adalah perpaduan antara Jawa dan Tiongkok.
Menurut Wouter Schouten dalam bukunya berjudul Oost-Indische Voyagie yang diterbitkan tahun 1676, masjid kerajaan ini dibangun dekat koningshof atau istana raja. Letaknya ditulis dekat dengan pelabuhan Jepara.
Dijelaskan pula oleh Wouter Schouten, masjid istana Jepara ini dibangun seperti menara yang memiliki atap lima tingkap yang ukurannya semakin ke atas semakin kecil. Sedangkan masjid ini beratap tumpang dan bagian puncak atap terdapat mata tombak seperti yang lazim digunakan dalam arsitektur Tiongkok. Semoga bermanfaat bagi para pembaca.