Menu

Mode Gelap
Peduli Hutan Muria, Ratusan Siswa MTs dan MA Safinatul Huda Ikuti Matsama Bareng Perhutani NU Sorong Papua Kirimkan Santri ke Jepara, Salah Satunya Kuliah di UNISNU Dimakamkan di Mayong, Ini Kisah Raden Ayu Mas Semangkin Sang Senopati Perang Lereng Muria Rayakan 1 Muharram, NU Ranting Bulungan Gelar Doa Bersama Pawai Obor Warga NU Desa Bawu Sambut Tahun Baru 1446 Hijriyah, Momentum Perkuat Semangat Hijrah ke Arah Kebaikan

Islam Nusantara · 29 Mar 2022 06:37 WIB ·

Masjid Mantingan dan Penyebaran Agama Islam di Jepara


 Masjid Mantingan dan Penyebaran Agama Islam di Jepara Perbesar

nujepara.or.id- Keberadaan Masjid Mantingan yang terletak di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara tidak bisa dilepaskan dengan sejarah panjang penguasa Jepara, Ratu Kalinyamat. Masjid yang dibangun oleh Sang Ratu pasca wafatnya Sultan Hadlirin ini termasuk salah satu cagar budaya yang dilindungi. Meskipun sudah mengalami beberapa kali pemugaran, namun Masjid Mantingan masih mempertahankan gaya arsitektur zaman Hindu Budha serta ornamen panel ukiran yang tertempel di tembok masjid.

Salah satu relief ukir yang berada di tembok masjid. perhatikan, gambar binatang gajah yang disamarkan/distilir


Dalam cerita tutur masyarakat setempat, daerah Mantingan sudah ada sejak zaman Majapahit, dan termasuk salah satu daerah yang dikeramatkan oleh masyarakat Jawa.  Dalam bukunya H.J De Graff dan Pigeaud disebutkan, Mantingan merupakan tempat tinggal Syeh Jumadil Kubra. Bahkan dalam beberapa babad, Sunan Kalijaga termasuk salah seorang yang sering bersemedi di daerah Mantingan. Hal ini dicatat dalam Babad Meinsma  (1874: 48), bahwa Sunan Kalijaga datang terlambat di Demak saat pendirian soko guru di Masjid Demak. Dalam babad tersebut ditulis Sunan Kalijaga datang terlambat di Demak karena sedang melakukan tirakat di Mantingan (tirakat dhateng ing Pamantingan).
Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan bahwa Masjid Mantingan dibangun oleh Ratu Kalinyamat sepuluh tahun pasca wafatnya suami tercinta, Sultan Hadlirin. Hal ini berdasarkan Mihrab pada masjid di dekatnya dapat ditanggalkan karena sebuah batu di dalamnya memuat inskripsi candra sengkala: (rupa brahmana warna sari). Candra sengkala ini jelasnya menunjukkan tahun Jawa 1481, tahun 1559 Masehi, sepuluh tahun sesudah meninggalnya Sunan Prawata dan Ki Kalinyamat, termasuk kurun waktu pemerintahan Ratu Kalinyamat di Jepara. (HJ. De Graff dan Pigeaud)

Salah satu sudut serambi Masjid Mantingan


Masjid Mantingan berada satu komplek dengan makam Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin. Keseluruhan kompleks Masjid Mantingan adalah 2.935 meter. Survey arkeologi pada tahun 2000 berhasil mendokumentasikan Masjid Mantingan. Di tembok luar masjid, terdapat 26 hiasan relief yang ditempel menghadap serambi masjid. Ada beberapa bentuk ornamen relief, antara lain, medallion, bujursangkar, roset dan segi delapan.
Keindahan hiasan relief yang terdapat di Masjid Mantingan mempunyai bentuk dan motif flora fauna. Untuk motif binatang sengaja disamarkan atau distilir karena pada saat itu sudah mengikuti kaidah agama Islam bahwa segala sesuatu yang bernyawa tidak diperbolehkan untuk hiasan dekoratif. Jika diperhatikan lebih dekat, motif-motif hewan seperti gajah, kera, kepiting dibuat sebagai silluet. Sedangkan bentuk tumbuh-tumbuhan sulur atau tanaman yang menjalar, motif bunga, dibuat seperti bentuk aslinya.
Arsitektur dari keindahan Masjid Mantingan, terutama hiasan reliefnya konon dibuat oleh Patih Sungging Badar Duwung. Seorang ahli ukir dari China yang pertama kali memperkenalkan seni mengukir kepada masyarakat Jepara. Raden Ajeng Kartini, wanita Jawa lain yang namanya tidak dilupakan, dan yang juga mempunyai hubungan dengan Jepara, dalam kumpulan catatannya (Kartini, Door duisternis) telah bercerita tentang kunjungannya ke tempat permakaman Mantingan. la diberitahu bahwa “Sultan Mantingan” pernah pergi ke Cina, dan bahwa ukir-ukiran dalam rumah-rumahan di situ agaknya juga berasal dari Cina (H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud,  1985 : 120).
Pada bangunan makam juga masih dipengaruhi oleh arsitektur Jawa kuno. Hal ini dapat dilihat dari gapura masuk ke makam yang berbentuk gapura Waringin candi Bentar dan gapura Bajangratu masa Majapahit yang berbentuk paduraksa. Tekhnik pembangunan gapura tersebut masih menggunakan cara kuno, yakni dengan menggosok batu bata keduanya kemudian ditempel tanpa menggunakan semen. (UA)
 

Artikel ini telah dibaca 16 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Peduli Hutan Muria, Ratusan Siswa MTs dan MA Safinatul Huda Ikuti Matsama Bareng Perhutani

19 Juli 2024 - 15:01 WIB

NU Sorong Papua Kirimkan Santri ke Jepara, Salah Satunya Kuliah di UNISNU

16 Juli 2024 - 16:16 WIB

Prihatin Pengguna Transportasi Umum Menurun, Mahasiswa Unisnu Ciptakan Aplikasi JETA

14 Juli 2024 - 22:46 WIB

Rayakan 1 Muharram, NU Ranting Bulungan Gelar Doa Bersama

10 Juli 2024 - 11:52 WIB

Pawai Obor Warga NU Desa Bawu Sambut Tahun Baru 1446 Hijriyah, Momentum Perkuat Semangat Hijrah ke Arah Kebaikan

10 Juli 2024 - 01:31 WIB

Peserta Pawai Obor Desa Bawu berjalan kaki menyambut Tahun Baru Islam 1446 H

YPM NU Jepara Boyong Empat Tropy Juara di Gebyar PAUD dan TPQ Tingkat Jateng

9 Juli 2024 - 09:41 WIB

Trending di Kabar