Menu

Mode Gelap
Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat (25) NU Peduli Bersama Kemenag Jepara Salurkan Bantuan Bagi Warga Dorang Belajar Dari Geomorfologi “Banjir” Eks Selat Muria, Mau Diapakan? Mbah Dimyathi: Jadi Wali Itu Mudah, Ngaji Lebih Sulit!! Ngaji Burdah syarah Mbah Sholeh Darat  ( 2 )

Esai · 15 Jan 2023 13:34 WIB ·

Mbah Srigi, Demang yang Pintar Strategi Gerilya


 Ilustrasi perang gerilya melawan penjajahan Belanda. (Foto: google) Perbesar

Ilustrasi perang gerilya melawan penjajahan Belanda. (Foto: google)

Oleh: M. Abdullah Badri

nujepara.or.id- Perawakannya tinggi tapi tidak kurus dan tak gemuk. Wajahnya putih kearaban. Itulah Mbah Srigi, yang dimakamkan di Margoyoso. Warga sekitar lebih banyak mengenal beliau dengan sebutan Mbah Surgi, yang semasa hidup pernah menjabat sebagai demang (sekarang Camat) selama enam tahun, dengan gelar Demang Socodiwiryo Mursiti.

Beliau lahir di Demak dari seorang ibu bernama asli Rohul Sutimah dan ayah bernama asli Abdul Manaf. Kala itu, pemilik nama Arab sering dicurigai oleh Belanda dan dibully oleh masyarakat sekitar karena identik dengan keturunan Rasulullah SAW yang memiliki sifat khusus pemberani (nujada’), nyah-nyoh/dermawan (juda’) dan penyayang (ruhama’).

Atas dasar itulah, Rohul Sutimah berganti nama Sri, dan Abdul Manaf berganti nama Giyanto. Putra pasangan tersebut, yang bernama asli arab Abdullah Muntaha diberi nama oleh dukun bayi kala itu dengan: Srigi (diambil dari Sri dan Giyanto, kedua orangtuanya). Sejak tiga puluh tahun terakhir hingga hayat menjelang, Srigi lebih disukai Abdullah Muntaha sebagai panggilan atau julukan, sampai sekarang.

Dari pernikahannya dengan Siti Az-Zahra, putri guru ngajinya asal Cirebon bernama Kiai Muntaha (juga), yang masih keturunan sayyid, Srigi dikaruniai tujuh orang anak, yakni:

  1. Brenggolo (hijrah ke Jatim dan berkeluarga di sana)
  2. Suco (hijrah ke Bali dan berkeluarga di sana)
  3. Sumo Tamijan (hijrah ke Kudus dan berkeluarga di sana)
  4. Trimo Sajono (hijrah ke Kedu dan berkeluarga di sana)
  5. Ringgit (perempuan, hijrah ke Arab dan berkeluarga di sana)
  6. Sariyo beristri Siti Sutimah (Jepara) dan salah satu putranya bernama Abdullah Idris yang wajahnya kearaban mirip Mbah Srigi.
  7. Muhammad Abdullah Rasyid, beristri Rabinah (Jepara)

Semua nama anaknya bernama Jawa, kecuali yang terakhir, Abdullah Rasyid. Di masa kelahiran anak terakhir itu, zaman sudah berubah. Nama Arab tidak lagi diincar maupun dihina.

Entah dari jalur ayah atau ibu, Mbah Srigi masih keturunan dzurriyah Rasulullah SAW bermarga Basyaiban. Selain itu, beliau juga masih keturunan Sultan Hadi Wijaya (Joko Tingkir) ke-7. Sayang, untuk memastikannya, masih butuh penelusuran lanjut. Selain itu, Mbah Srigi hanya mengenal ayah yang lebih akrab ia sebut “abah” saja, tanpa meninggalkan catatan silsilah pasti atas nama keselamatan nyawa keturunanannya.

Jabatan Demang

Mbah Srigi hidup sezaman dengan kawan seperjuangan yang hijrah ke Desa Tubanan: Mbah Alim Agung. Mendengar Anwar, murid Mbah Alim Agung yang dibunuh sadis oleh Belanda (ditenggelamkan jenazahnya dengan batu), Mbah Srigi berhari-hari dilanda kesedihan. Perlawanan-perlawanan ke pihak Belanda sering dilancarkan Mbah Srigi bersama 60-an murid ngajinya. Tapi sering gagal.

Ya. Selain pemberontak Belanda, Mbah Srigi adalah seorang guru ngaji. Ia kiai yang ‘alim ilmu alat (Nahwu-Shorof). Di antara kitab-kitab itu, -berbentuk panjang dan gepeng,- yang paling disukai beliau adalah Kitab Nahwu Jurumiyah, dimana ia mendapatkan ilmu kitab tersebut dari gurunya di Cirebon, yang kemudian menjadi mertuanya itu.

Kitabnya sangat banyak. Semuanya habis setelah kemarahan Belanda dalam tragedi pembantaian pasca pemberontakan rakyat yang mengakibatkan kebayan atau keamanan kampung, Mbah Anwar, murid Mbah Alim Agung (Tubanan), menjadi korban kekejaman mereka.

Selama menjadi santri dan mengajar sebagai kiai, Mbah Srigi sering umpet-umpetan dengan penjajah dengan penerangan uplik. Saat itu, ngaji merupakan giat terlarang mengingat ketaatan total santri kepada kiai sangat berpotensi merugikan pihak Belanda di kemudian hari. Diceritakan, Mbah Srigi pernah kena peluru bedhil nyasar saat buang hajat. Meski hanya nyerempet di pinggang, Srigi merasakan panas, nyeblak-nyeblak dan linu di bagian yang terkena tembakan.

Saat itu, bisa makan dengan nasi sangat berharga. Hanya kalangan menir-menir dan yang dekat dengan kompeni saja yang masih bisa merasakan makan enak dengan nasi. Warga biasa hanya bisa memakan singkong (Jawa: pogong). Apalagi seperti Mbah Srigi Muntaha, yang suka melawan. Embargo ekonomi yang diterapkan penjajah kepada kelompoknya pasti sangat berat.

Meski sering melakukan perlawanan, Mbah Srigi disegani. Pengaruh besarnya di masyarakat itulah yang membuatnya dilantik demang oleh pihak Belanda, di wilayah Demak wetan, yang sekarang masuk Welahan. Nama yang melantik kala itu adalah: Adose. Selama hidup, Mbah Srigi menjabat enam tahun sebagai demang.

Mbah Srigi memiliki prinsip pentingnya memiliki kekayaan dunia untuk beramal. Andai semasa hidupnya diberi kelimpahan rezeki banyak, ia berharap bisa beramal lebih banyak. “Dunyo iku penting kanggo ngamal,” begitu petuahnya.

Keturunan Mbah Srigi masih banyak hingga sekarang. Salah satunya adalah keturunan ketujuh dari putra ke-enamnya (Sariyo), Ari Wachid, Pancur, Jepara.

(M. Abdullah Badri, Ketua Rijalul Ansor Jepara)

Artikel ini telah dibaca 276 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat (25)

5 April 2024 - 15:18 WIB

Kiai Hisyam Zamroni (Wakil Ketua PCNU Jepara), Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat.

Tidak Pandang Suku, Agama dan Ras, NUPB Jepara Siap Bantu Korban Bencana

31 Maret 2024 - 21:57 WIB

Menyingkap Makna Perintah Membaca dalam Al-Qur’an

24 Maret 2024 - 11:48 WIB

NU Peduli Bersama Kemenag Jepara Salurkan Bantuan Bagi Warga Dorang

20 Maret 2024 - 19:56 WIB

Belajar Dari Geomorfologi “Banjir” Eks Selat Muria, Mau Diapakan?

19 Maret 2024 - 13:50 WIB

Kisah Raden Kusen, Senopati Terakhir Majapahit Saat Menghadapi Gempuran Demak (2)

18 Maret 2024 - 23:03 WIB

Trending di Headline