nujepara.or.id – Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) An-Nahdliyah akan menjadi mata kuliah wajib bagi Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (PTNU) se-Indonesia. Alasannya untuk menyambut perubahan dunia dalam usia 1 abad NU sebagaimana yang kerap diungkap oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya.
Hal itu dikatakan Sekretaris Lembaga Pendidikan Tinggi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LPT PBNU) H Ahmad Suaedy dalam acara Pra-Rapat Kerja Nasional (Rakernas) LPTNU yaitu Workshop Kurikulum Keaswajaan dan Moderasi Beragama pada PTKI, Kamis (16/2/2023).
Suaedy mengatakan, Aswaja An-Nahdliyah saat ini tidak hanya berhadapan dengan kelompok lain di Indonesia. Namun konteks levelnya sudah global dan bertujuan sebagai solusi peradaban untuk menyelamatkan dunia.
“Jadi jangan dibayangkan lagi Aswaja An-Nahdliyah ini berhadapan dengan kelompok lain, tetapi sekarang berhadapan dengan tatanan dunia. Perumusan ini sangat penting sebagai basis dari visi menghadapi atau menyelesaikan masalah-masalah untuk dunia yang damai,” kata Suaedy.
Dekan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (FIN Unusia) ini kemudian memberikan konteks dan alasan mengapa kurikulum Aswaja An-Nahdliyah perlu disusun serta menjadi mata kuliah wajib bagi PTNU se-Indonesia.
Dulu, NU didirikan pada 1 abad yang lalu dengan menghadapi gelombang nasionalisme negara-negara Islam. Kini, hampir semua negara sudah merdeka tetapi masalah-masalah yang dihadapi belum selesai karena berbagai problem yang dihadapi seperti kesenjangan ekonomi-politik, bahkan ada kecenderungan agama menjadi salah satu faktor penting dalam kekerasan.
Inisiasi PBNU Untuk merespons perubahan yang terjadi, PBNU menggelar berbagai inisiasi yang bertujuan agar Aswaja An-Nahdliyah mampu memimpin dunia. Inisiasi itu dilakukan dalam bentuk forum Religion of Twenty (R20) pada November 2022.
“R20 itu sebuah forum yang mempertemukan pemimpin-pemimpin agama di dunia untuk mendiskusikan dan mendorong agar agama menyelesaikan masalah kemiskinan, kesenjangan, perang, ketegangan,” jelas Suaedy.
Selanjutnya, PBNU menginisiasi Muktamar Internasional Fiqih Peradaban sebagai tindak lanjut dari Forum R20. Jika R20 adalah forum bagi para pemimpin agama dunia, maka Muktamar Fiqih Peradaban hanya dihadiri oleh ulama atau pemimpin umat Islam dari berbagai belahan dunia.
“Salah satu yang hendak didorong adalah Islam sebagai basis kemanusiaan, solusi bagi konflik dunia,” ucap Penelitia Islam Asia Tenggara itu.
Jika sebelum abad ke-20 manusia dikelompokkan menjadi agama dan etnis yang berkolaborasi dengan bentuk negara dan kekuasaan, maka setelah negara-negara merdeka agama sudah tidak lagi menjadi identitas politik.
Suaedy kemudian menyebutkan beberapa bentuk konstitusi sebagian negara yang ada di Asia Tenggara. Di Malaysia, orang yang Dipertuan Agung atau Raja Federal adalah Pengawal Islam dan Melayu.
“Kemudian konstitusi di Brunei Darussalam menyebut hanya muslim bermazhab Syafi’i yang layak menjadi warga negara. Konstitusi di Pakistan menyebut Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber hukum, begitu juga di Iran,” jelas Suaedy.
Namun, Indonesia memiliki bentuk yang berbeda dari negara-negara Islam lainnya. Di Indonesia, Pancasila tidak menempatkan agama tertentu sebagai basis identitas warga negara. Inilah sebabnya moderasi beragama menjadi sesuatu yang penting.
“Indonesia berbeda dengan dunia Islam pada umumnya. Indonesia menjadi semacam lokomotif bagi peradaban dunia yang akan datang. Bersiaplah, kita sebagai perguruan tinggi untuk menjadi lokomotif sendiri dan NU menjadi lokomotif perubahan di dunia,” tegas Suaedy.
Sumber: https://www.nu.or.id/nasional/aswaja-an-nahdliyah-akan-jadi-matkul-wajib-ptnu-se-indonesia-ini-alasannya-hUlro