Menu

Mode Gelap
Peduli Hutan Muria, Ratusan Siswa MTs dan MA Safinatul Huda Ikuti Matsama Bareng Perhutani NU Sorong Papua Kirimkan Santri ke Jepara, Salah Satunya Kuliah di UNISNU Dimakamkan di Mayong, Ini Kisah Raden Ayu Mas Semangkin Sang Senopati Perang Lereng Muria Rayakan 1 Muharram, NU Ranting Bulungan Gelar Doa Bersama Pawai Obor Warga NU Desa Bawu Sambut Tahun Baru 1446 Hijriyah, Momentum Perkuat Semangat Hijrah ke Arah Kebaikan

Kabar · 23 Okt 2023 04:15 WIB ·

Politik Kebudayaan Santri ala KH. Ahmad Fauzan


 Politik Kebudayaan Santri ala KH. Ahmad Fauzan Perbesar

nujepara.or.id – Dalam peringatan hari santri ke-8 yang bertepatan pada 22 Oktober 2023 ini, tema yang diambil adalah “Jihad Santri Jayakan Negeri”. Tema demikian jelas ingin menunjukkan tentang historisitas resolusi jihad yang diikuti perjuangan mengusir penjajah sesaat setelah Indonesia merdeka.

Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 menjadi penanda awal tentang penghargaan terhadap eksistensi di negeri ini.

Jihad menjadi semangat yang terus dipelihara. Jihad sebagai representasi kesungguhan menggerakkan segala sumber daya, pada era belakangan tidak lagi hanya dimaknai dengan perang. Jihad santri bisa bergerak dalam bidang ekonomi, pendidikan, termasuk jihad politik dan kebudayaan.

Langkah jihad politik kebudayaan setidaknya mengingatkan pada tokoh pendiri Nahdlatul Ulama Jepara, KH. Ahmad Fauzan. Sosok yang lahir pada kisaran 1905 di Dukuh Penggung Desa Gemiring Lor, Nalumsari, putra dari KH. Abdul Rasul bin Kyai Ahmad Sanwasi.

Pada jalur ibu, beliau lahir dari Nyai Thahirah binti Kyai Harun bin Kyai Muhammad Arif, yang oleh masyarakat Banjaran Bangsri diyakini sebagai keturunan Hadramaut bermarga ‘Adny.

Selama ini, sebagian nahdliyin cenderung fokus pada persoalan politik praktis. Kontestasi pemilihan presiden 2024 misalnya, seolah hanya menjebak pada posisi perebutan elemen NU sebagai kontestan.

Koalisi yang mengusung Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar dihadapkan dengan koalisi pengusung Ganjar Pranowo – Mahfud MD, kedua pasangan itu selalu diperdebatkan tentang representasi NU. Realitas demikian berpengaruh pada tidak berkembangnya wilayah kebudayaan, sehingga perlu adanya kritik kebudayaan.

Budaya tidak sekadar seni atau tarian-tarian, tetapi menyangkut cipta, rasa, dan karsa sebagai nilai di beragam bidang. Pada 1955 kala NU sebagai salah satu partai politik peserta Pemilihan Umum, KH. Ahmad Fauzan berposisi sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Jepara. Pada posisi itu, mesti diakui bahwa hanya 4 kabupaten/kota yang mampu dimenangkan NU secara mutlak dari lawan PNI maupun PKI, yaitu Jepara, Demak, Kudus, dan Magelang.

Strategi budaya lebih dipilih daripada mengedepankan instruksi jalur birokrasi. KH. Ahmad Fauzan memilih jalur tinggal beberapa lama di sejumlah kampung dan berpindah-pindah sembari menginap di masjid. Pengajian-pengajian disemarakkan dengan kewajiban bagi para kepala dan pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) mengisi.

Tak heran jika syarat utama menjadi pegawai Kementerian Agama atau secara khusus pegawai KUA adalah mampu membaca kitab kuning.

Proses “pengNUan” dilakukan melalui pembauran antara tokoh penggerak NU yang dijadikan pegawai Kementerian Agama di tengah-tengah masyarakat. Pegawai Kementerian Agama diperkenalkan dengan “pengetahuan baru” berupa manajemen organisasi dan komunikasi massa.

Pembauran birokrasi di tengah masyarakat menumbuhkan semakin dekatnya relasi sosial sehingga menyentuh pada pola penerimaan masyarakat terhadap NU. Fenomena yang dapat dianalisis dalam penyelenggaraan Pemilu sampai era reformasi itu, dipengaruhi langkah-langkah pemberdayaan yang dilakukan para pendiri NU di Jepara.

Strategi kebudayaan dilakukan oleh KH. Ahmad Fauzan dengan menulis sejumlah syair dalam beragam bidang. Sejumlah syair itu seperti Syair Asmaul Husna, Syair Isra Mikraj, Syair pribadi Nabi Muhammad SAW, Syair Pitutur, Syair Kemanusiaan, Syair Kenabian, dan Syair Akhlak Mulia.

Adapun karya yang dianggap paling monumental adalah Kitab Alfiyah Al Ghozaliyah, yang bersisi syair-syair untuk menjelaskan Kitab Ihya Ulumiddin karangan Imam Ghazali.

Lirik syair politik kebangsaan NU karya KH. Ahmad Fauzan misalnya, sangat dikenal di sejumlah kalangan masyarakat. Penggalan syair itu setidaknya mengamanatkan bahwa ber-NU harus tetap kokoh dan istiqomah seperti kokohnya Slender. Keteguhan dalam ber-NU jelas karena memiliki panduan organisasi sekaligus memiliki thariqot atau jalan perjuangan sendiri.

Mlakune NU Koyo Slender
Senajan Nyrangap Merohi Klenyer
Duwe Dalan Dewe Ora Keno Nabrak
Seng Sopo Nabrak Merohi Kelenger.

Oleh : Dr. Muh Khamdan,
Pengurus LTN NU MWCNU Nalumsari, dan alumni S3 Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Artikel ini telah dibaca 11 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Peduli Hutan Muria, Ratusan Siswa MTs dan MA Safinatul Huda Ikuti Matsama Bareng Perhutani

19 Juli 2024 - 15:01 WIB

NU Sorong Papua Kirimkan Santri ke Jepara, Salah Satunya Kuliah di UNISNU

16 Juli 2024 - 16:16 WIB

Prihatin Pengguna Transportasi Umum Menurun, Mahasiswa Unisnu Ciptakan Aplikasi JETA

14 Juli 2024 - 22:46 WIB

Rayakan 1 Muharram, NU Ranting Bulungan Gelar Doa Bersama

10 Juli 2024 - 11:52 WIB

Pawai Obor Warga NU Desa Bawu Sambut Tahun Baru 1446 Hijriyah, Momentum Perkuat Semangat Hijrah ke Arah Kebaikan

10 Juli 2024 - 01:31 WIB

Peserta Pawai Obor Desa Bawu berjalan kaki menyambut Tahun Baru Islam 1446 H

YPM NU Jepara Boyong Empat Tropy Juara di Gebyar PAUD dan TPQ Tingkat Jateng

9 Juli 2024 - 09:41 WIB

Trending di Kabar