Oleh Dr. Muh Khamdan*
nujepara.or.id – Tulisan kyai Imaduddin asal Banten yang menyimpulkan bahwa para habib Ba’alawi bukanlah keturunan Nabi Muhammad, memicu gejolak di sejumlah daerah berbasis NU. Bahkan belakangan, beredar instruksi dari beberapa pengurus NU di daerah untuk tidak mengundang atau menghadiri acara yang ada unsur habaib.
Fenomena pelarangan menghadirkan maupun menghadiri acara habaib sebagaimana di PCNU se-Soloraya, PCNU Way Kanan Lampung, PCNU Lampung Tengah, dan PCNU Garut.
Sebagaimana kita ketahui, sebutan ba’alawi dinisbatkan pada keturunan Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Jakfar al-Sadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain bin Fatimah binti Nabi Muhammad.
Argumentasi penolakan klan Ba’alawi muncul hanya karena nama Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir tidak tercatat dalam kitab sezamannya. Hal demikian tentu berbeda dalam pendekatan ilmu fikih, bahwa syarat penetapan nasab dalam kitab fikih empat mazhab cukup sekadar syuhroh wal istifadhoh, yaitu telah masyhur secara luas di tengah masyarakat pada suatu wilayah tanpa ada bantahan maupun sanggahan dari ulama yang otoritatif.
Sejumlah marga Ba’alwi yang dikenal publik seperti Al Athas, Al Haddad, Al Habsyi, Assagaf, Al Jufri, Al Aydrus, Al Muhdhar, Al Muthahar, Asyeikh Abu Bakar, Bin Yahya, Al Hinduan, Al Adny, dan lainnya. Di dunia internasional, keluarga besar Ba’awi itu sudah masyhur diakui dari sisi otentifikasi hubungan nasab maupun aspek kepakaran.
Abdullah bin Alawi Al Haddad misalnya, menyusun bacaan dzikir yang dikenal dengan Ratibul Haddad. Umar bin Abdurrahman Al Athas menyusun Ratibul Athas, Abdullah bin Abu Bakar bin Abdurraham Assagaf yang kemudian masyhur dikenal dengan Habib Alaydrus menyusun Ratib Alaydrus, termasuk Ali bin Muhammad bin Husin Al Habsyi yang menyusun Simtudduror.
Dilihat dari sejarah keberadaan NU di Jepara, hubungan keluarga habaib juga sangat erat. Meski belum terdapat bukti tertulis menyangkut pertama kalinya NU sebagai organisasi resmi di Jepara, KH. Ahmad Fauzan telah menjadi pemimpin delegasi NU Jepara menghadiri Muktamar NU di Magelang pada 1939.
Meski demikian, pada sekitar 1933 sudah berdiri madrasah yang dirintis oleh KH. Ahmad Fauzan dengan menggunakan nama Nahdlatul Ulama di Bangsri. Dengan demikian, keberadaan NU di Jepara dapat disimpulkan sudah ada sejak 1930-an namun belum memiliki surat pengesahan kepengurusan atau belum ditemukan dokumen resminya.
KH. Ahmad Fauzan memiliki ibu bernama Thohiroh binti Harun bin Maryamah binti Muhammad Arif Al Adany atau dikenal Yik Arif Sendangsari, Banjaran, Bangsri. Sosok yang seringkali dikaitkan sebagai salah satu panglima perang Diponegoro itu adalah keturunan Ba’alawi dari marga Adany atau Adny dari Aden, Yaman. Dalam silsilah keluarga disebutkan urutan nasab dari Muhammad Arif bin Hasyim bin Abdul Muhit bin Hasyim bin Syihabuddin bin Samit bin Arif bin Sholih bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Hamzah bin Zainuddin bin Sayyid Abdullah Al Adany.
Pro kontra tentang NU dan Ba’alawi belakangan ini tentu menggelitik bagi sebagian besar warga Nahdliyin di Jepara, karena sesungguhnya identitas keduanya telah menyatu. Hubungan kekeluargaan dari nasab Ba’alawi telah bercampur menjadi satu identitas NU, dari ujung selatan sampai ujung utara Jepara.
Sebutlah Nalumsari, sebuah kawasan yang keberadaan organisasi NU-nya tidak bisa lepas dari kiprah Habib Ahmad Al-Jufri, yang kini dilanjutkan oleh putranya sebagai Ketua Tanfidziyah MWCNU Nalumsari, Habib Sholeh bin Ahmad Al Jufri. Hubungan keluarga Ba’alawi di kawasan Nalumsari itu semakin erat dengan keluarga Pesantren Balekambang, melalui pernikahan antara Habib Sholeh dengan Ning Iis Pantiana Tungga Dewi binti KH. Khayatun Nufus Abdullah Hadziq.
Hubungan ini mempertegas bahwa NU-Ba’alawi di Nalumsari Jepara tak ada masalah. Sebab Habib Sholeh merupakan menantu dari Rais Syuriyah PCNU Jepara. Ikatan kekeluargaan antara mertua dan menantu jelas tidak akan memunculkan konflik maupun pelarangan aktivitas NU dengan kalangan habaib di Jepara, karena romantisme keluarga berdampak pada terbangunnya romantisme hubungan NU-Ba’alawi.
Di sisi lain, KH. Khayatun Nufus Abdullah Hadziq adalah adik ipar dari mantan Rais Syuriyah PCNU Jepara periode 2015-2021, KH. Ubaidillah Noor Umar atau dikenal dengan panggilan Kyai Ubaid. Kyai yang mengembangkan pesantren di Bandungharjo, Donorojo itu menikah dengan kakak perempuan KH. Khayatun yang bernama Nyai Hj. Nayyiroh. Padahal, Kyai Ubaid masih bagian dari keturunan keenam dari Yik Arif Sendangsari, Banjaran, Bangsri.
Jika hubungan kekerabatan antara NU dan Ba’alawi di Jepara sudah sedekat itu, maka tak akan ada persoalan hingga kapanpun. Konflik nasab ba’alawi hanya “kebisingan” sedikit orang yang tidak berdampak serius, namun bisa menjadi pelajaran penting agar kita membiasakan menuliskan sejarah dengan baik.
*Alumni Program Doktoral Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
*Pengurus Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN NU) MWCNU Nalumsari