Menu

Mode Gelap
Live : Muskercab Ke-3 PCNU Jepara Video Full : Resepsi Peringatan Hari Lahir ke-102 Nahdlatul Ulama Fenomena Minuman Keras di Jepara, Antara Wisata Halal dan Tantangan Regulasi Kisah Hidup Alex Komang, Putra Kiai NU yang Nekat Merantau ke Jakarta Untuk Menjadi Aktor Nama 41 Tokoh yang Dilantik Jadi Pengawas dan Pengurus Yayasan RSU Anugerah Sehat Jepara, Berasal dari Berbagai Latar Belakang

Hujjah Aswaja · 29 Okt 2022 08:57 WIB ·

Sastra Hizib di Tengah Pergolakan Sejarah (1)


 Sastra Hizib di Tengah Pergolakan Sejarah (1) Perbesar

Oleh: Murtadho Hadi

nujepara.or.id- Di luar sastra yang “konvensional” dan “baku”, kalau mau jujur ternyata masih banyak dari sisi-sisi yang belum terungkap (dari bentuk-bentuk karya sastra) yang seandainya diselidiki ternyata nuansa sastranya sangat kental.

Salah satu sisi itu adalah “Sastra Hizib”. Yang menarik dari Sastra Hizib atau munajat para auliya  ini adalah ia tidak ada pretensi untuk dianggap sebagai karya sastra. Akan tetapi jika diteliti  lebih jauh  bayak sekali ” gagasan” dan nuansa sastra yg bisa dikaji sekaligus hikmah yang bisa dipetik.

Basis Epistemologi Sastra Hizib

Basis kerangka berpikir dari “Sastra Hizib” atau “Hizib” adalah ketika ruang-ruang historisitas manusia telah tertabiri oleh “tembok” yang begitu tebal, maka yang dibutuhkan adalah sebuah “lompatan”.

Jika tangan-tangan manusia (yang berlepotan hawa nafsu) telah mengalami “kebuntuan”, maka yang dibutuhkan adalah “karya Tuhan”  (bahasa santrinya : “fi majaaril-haq”) yang termanifestasi melalui pertolongan dari hamba-hamba pilihan.

Kata “tembok” di sini bisa berarti “arus politik” , saluran aspirasi yang buntu, “hantu” dan “gondoruwo” di wilayah kekuasaan, atau bisa bermakna “got-got kebudayaan” dari sampah peradaban.

“Sastra Hizib” adalah sebuah cara atau setrategi untuk tidak terlalu mempercayai istitusi para “srigala”.

Hizib Nashr

Sekedar mengingat, Syaikh Abi Hasan As-Syadzily ketika menyusun Hizib Nashr, dengan menggunakan kalimat yang sekilas “ber-aku-Engkau” kepada Tuhan sebenarnya adalah dalam konteks historisitas manusia.

Hizib Nashr lahir dalam situasi ketika nilai nilai kemanusiaan hendak dikebiri dan “kabut kebejatan” telah ditiupkan “napas-napas kotor srigala”, sementara mendung dan kegelapan benar-benar ditebar penguasa yang zalim.

Juga, “Hizib Nashr” ditulis ketika para pembawa panji-panji keluhuran berada pada titik limit yang mengkhawatirkan sehingga keadaan benar-benar lemah dan dilemahkan. Itulah kiranya, bisa dimengerti bahwa tidak ada (belum didengar) munajat yang paling dahsyat dengan sebuah “pernyataan” dan “kecaman” yang keras selain Hizib Nashr.

Sejarah selanjutnya mencatat bahwa Hizib Nashr telah turut mempunyai andil besar dalam membangkitkan semangat perjuangan para pejuang di belahan bumi yang berpenduduk muslim. Melalu para Mursyid (pembimbing spiritual) tarekat Syadziliyah dan para Kyai, Hizib Nashr itu tersebar.

Di Indonesia sendiri ketika tentara sekutu membombardir Indonesian dari darat, laut dannudara, para ulama pun mengeluarkan apa yang kita kenal dengan “Resolusi Jihad” dan membentuk pasukan “Hizbullah”. Dan memang semata, di antara Hizib yang paling banyak dibaca para kyai adalah Hizib Nashr.

Sampai sekarang, kemampuan “bertahan” dan “menyerang”  bahkan “mengimbangi” dari orang-orang kampung yang bersenjat manual terhadap pasukan (sekutu) dengan gempuran lewat laut, darat dan udara serta bersenjatakan canggih itu pun tetap sebuah misteri.

Hizib Yang Lembut

Dalam ulasan sederhana ini, akan diketengahkan pula munajatnya Syaikh Ibnu Atho’illah As-Sakandary dengan bahasa yang lembut, dalam, dan subtil tentang perjalanan seorang hamba yang mencari jalan “wushul” (sampai) untuk berakrab-akrab dengan Allah, melalui sebuah hujjah (dalil) dalam pemaknaan hubungan antara hamba dan Pencipta, mengenal af’al dan sifat-sifat Allah.

Dan, yang menjadi puncak dari munajat itu adalah ketika Syaikh Ibnu Atho’illah mengenalkan bagaimana “semestinya” seorang hamba membangun “adab” dan “Tata Krama” di hadapan Allah (yang merupakan khas akhlak para wali Allah).

Secara umum dalam kajian sederhana ini dipetik dari beberapa kitab, antara lain : Sirrul-Jalil (Karya Syaikh. Abi Hasan As-Syadzily),: Hikam (Syaikh Ibnu Atho’illah As-Sakandary) berikut Syarahnya Syaikh Syarqowy dan Syaikh Ibrahim Ar-Rundy, dan untaian-untaian dalam tradisi sastra lisan yang dipetik dari kompedium Diwan Syafi’i (yang sebagian telah dihapal para santri dan kyai) dan Sirojut-Tholibin (karya Syaikh Ihsan bin Dahlan, Jampes).

Meski demikian, lazimnya sebuah munajat (lebih-lebih Hizib Nashr) terkadang melaui mata rantai sanad dan sampai kepada kita dengan lafal-lafal yang tidak utuh (ada pengurangan dan penambahan), maka dalam hal sebagai bahan pertimbangan saya gunakan acuan dari hizib yang saya peroleh dari saudara Ahmad Hormuz Bin Arif (cucu Kyai Mustaqim PETA Tulungagung) dan Hizib dari Murobbi Rubina Abuya Dimyathi al-Bantany (Mursyid Syadziliyah di Cidahu Pandeglang Banten).

Munajat Syaikh Ibnu Atho’illah As-Sakandary :

1. Si Faqir Yang Kaya

Aduhai Tuhanku!

Sayalah itu Si Faqir dalam kekayaanku

Lalu, bagaimanakah aku tidak Faqir

dalam kefakiranku?

Aduhai Tuhanku!

Aku begitu bodoh dalam pengetahuanku.

Bagaimanakah aku tidak bodoh

dalam ketololanku?

2. Si Arif Billah

Aduhai Tuhanku!

Engkau mengatur segala sesuatu dengan kebijaksanaanMu

(: duka senang, kaya miskin, dan cepatnya Engkau mewujudkan ketetapanMu!)

Keduanya telah mencegah hamba-hamba Mu yang arif

untuk bergeming pada pemberian.

Begitupun tak pernah berputus asa pada bencana

(Karena keduanya bersumber dariMu semata).

3.Setelah Terbukti

Aduhai Tuhanku!

Sudah menjadi tabiatku aku condong pada kebiasaan buruk.

Dan sudah merupakan sifatMu

Engkau begitu pemurah.

Kau lebur dosa-dosaku dan Kau terima alasanku.

Aduhai Tuhanku!

Engkau melekatkan sifat kepada DzatMu

Dengan kelembutan dan kasih sayang

Jauh sebelum “nyata benar” kelemahanku.

Apakah engkau akan mencegah kelembutan

Dan kasih sayangMu

Setelah “terbukti benar” kelemahanku? (Bersambung).

(Murtadho Hadi, Wakil Ketua PC LTN NU Jepara dan Penulis buku)

Artikel ini telah dibaca 90 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Produsen Miras Jadi Sponsor Event, Pengkhianatan Komitmen Pemberantasan Miras di Jepara

6 Februari 2025 - 20:13 WIB

Fenomena Minuman Keras di Jepara, Antara Wisata Halal dan Tantangan Regulasi

5 Februari 2025 - 22:32 WIB

Munculnya Organisasi Berlabel NU, Aspirasi atau Fragmentasi?

3 Februari 2025 - 17:57 WIB

Kisah Hidup Alex Komang, Putra Kiai NU yang Nekat Merantau ke Jakarta Untuk Menjadi Aktor

30 Januari 2025 - 20:19 WIB

Nama 41 Tokoh yang Dilantik Jadi Pengawas dan Pengurus Yayasan RSU Anugerah Sehat Jepara, Berasal dari Berbagai Latar Belakang

27 Januari 2025 - 21:34 WIB

Syair Para Pendiri Nahdlatul Ulama (NU)

27 Januari 2025 - 11:52 WIB

Trending di Hujjah Aswaja