Oleh Dr Muh Khamdan*
nujepara.or.id – Peristiwa penerobosan penjagaan Istana Merdeka yang dilakukan Siti Elani (24), membuat kita prihatin. Aparat kepolisian menyatakan aksi nekat itu dilakukan karena Siti Elani ingin membela dan memperjuangkan “Islam”. Siti Elani ingin bicara ke Presiden Joko Widodo soal kesalahan Indonesia memilih Pancasila sebagai ideologi negara.
Apa yang dimaksud dengan kewajiban membela agama? Atau apa itu memperjuangkan Islam? Tentu tidak ada perbedaan di semua kalangan muslim tentang hukum kewajiban membela agama Islam. Konsepsi jihad fi sabilillah misalnya, dijadikan sebagai semangat perjuangan untuk membela eksistensi agama terhadap musuh-musuhnya. Jihad mengalami penyempitan makna sebagai peperangan.
Jawaban mudah tentang kewajiban membela agama, tentu tak akan sama jika yang dibela adalah selain agama itu sendiri. Secara spesifik bagaimana hukumnya membela negara, yang jelas bukan negara Islam. Persoalannya, apakah membela negara yang bukan negara Islam adalah bentuk jihad sehingga yang tewas adalah mati syahid?
Kewajiban melawan penjajah sebelum lahirnya Negara Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, dalam konteks kaum muslim Indonesia adalah jihad. Jihad untuk menegakkan agama, jihad untuk menjamin kemudahan beragama, bahkan melawan infiltrasi agama lain dalam misi pemurtadan. Kerajaan Katolik Portugis, Kerajaan Protestan Belanda, Kerajaan Kristen Anglikan Inggris, Kekaisaran Katolik Perancis-Belanda, dan Kekaisaran Shinto Jepang yang silih berganti menguasai Indonesia jelas bukan dari komunitas Islam.
Kesadaran perlawanan kaum muslim Nusantara mulai dari Aceh, Minangkabau, Palembang, Jawa, Madura, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku, sesungguhnya adalah upaya menjaga eksistensi agama yang berada di wilayah kesultanan-kesultanan Islam. Saat Indonesia menyatakan diri sebagai negara pada 1945, kondisi sudah berubah karena landasan jihadnya sudah hilang.
Indonesia bukan negara Islam sehingga pembelaan terhadap Indonesia jelas-jelas tidak ada keterkaitan dengan prinsip jihad membela agama. Perjuangan yang dilakukan masyarakat Indonesia pasca-kemerdekaan, jelas untuk membela eksistensi negara yang justru bukan negara Islam.
Hukum orang yang mati membela negara bukan negara Islam, pernah menjadi kegalauan rakyat di saat ancaman sekutu menguasai dari Surabaya. Sekutu yang merupakan aliansi militer sejumlah negara dalam Perang Dunia pimpinan Amerika dan Inggris, menempatkan pusat komando menguasai Asia Pasifik dari kawasan Sentani Papua. Ketika Jepang sudah ditaklukkan dalam tragedi Nagasaki dan Hiroshima, sekutu ingin masuk kembali ke Indonesia melalui Surabaya.
Perdana Menteri Belanda di Den Haag, Willem Schermerhorn, tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Kerajaan Protestan Belanda secara tegas tidak mau berunding dengan pemerintah Indonesia yang baru dibentuk, dan menganggap hanya sebagai pemberontak. Kedatangan sekutu ke Indonesia dikomando oleh South East Asia Command (SEAC) untuk dilakukan pemindahan kekuasaan dari Jepang ke sekutu. Angkatan Laut Kerajaan Kristen Anglikan Inggris mendarat di Surabaya pada 15 September 1945, dan langsung diiringi pembangunan kamp militer di berbagai daerah. Kamp militer sekutu di Bandung dipimpin Brigadir N. Macdonald, kamp militer Semarang dipimpin R.B.W Bethel.
Pemerintahan Republik Indonesia baru mengumumkan struktur kabinet pemerintah pada 4 September 1945, tanpa tentara atau penjaga keamanan negara. Pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) baru dilakukan pada 5 Oktober 1945, yang diikuti dari unsur PETA, laskar Hizbullah, Heiho, dan relawan-relawan rakyat. Pada 10 Oktober 1945, jumlah TKR yang terbentuk se-Jawa terdiri dari 10 divisi.
Ganjalan tentang hukum membela negara yang bukan negara agama, atau status mati karena membela negara dan bukan karena membela agama itu dibahas melalui musyawarah para ketua cabang NU se-Jawa dan Madura, bersama para kyai di wilayah tersebut. Musyawarah diadakan di kantor Pengurus Besar Ansor NU di Surabaya pada 21 Oktober 1945.
Argumentasi yang sangat kuat dalam musyawarah itu disampaikan oleh Kyai Wahab Chasboellah dengan menganalogikan seperti hukum ghasab. Hukum mengambil hak orang lain atau menggunakan harta orang lain tanpa ijin, adalah haram. Bagi pihak yang terambil atau terampas haknya, mendapat kewenangan khusus untuk membela dan diwajibkan untuk mempertahankan. Indonesia adalah milik kita, milik bangsa Indonesia. Man qutila duna malihi fahuwa syahidun, barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya maka dia syahid.
Indonesia sebagai hak kepemilikian bangsa Indonesia, maka membela sampai mati atas hak kepemilikan tersebut adalah syahid. Pentingnya syahid membela hak kepemilikan demikian menjadi keharusan bagi semuanya dengan memperhatikan tingkat keharusannya atau tingkat fardhu-nya. Argumentasi fiqih ini menjadi jawaban dengan dirumuskannya kewajiban untuk berjihad. Putusan para santri dan ulama itu dilakukan pada 22 Oktober 1945 di Surabaya dengan nama Resolusi Jihad NU.
Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, merupakan bentuk formalisasi terhadap fatwa jihad NU pada 17 September 1945. Resolusi itu menegaskan bahwa berperang dan melawan penjajah hukumnya fadhu ain untuk semua muslim dalam jarak radius 94 kilometer dari kedudukan musuh. Seruan fatwa jihad dipublikaiskan kantor berita Antara dan disebarluaskan melalui radio oleh Bung Tomo setelah mengetahui adanya rencana pendaratan pasukan Sekutu ke Surabaya.
Jika ada penjajah ingin merebut dan sudah berada di wilayah Indonesia, maka siapapun dalam radius 94 kilometer fardhu ‘ain ikut melawan dalam jihad. Adapun di luar dari radius 94 kilometer penjajah berada, diputuskan fardhu kifayah atau wajib yang dapat diwakilkan.
Seruan fatwa jihad bagi santri adalah fardhu atau wajib tanpa melihat tingkatan yang mana. Spirit santri adalah “sami’na wa ‘atho’na” pada kyai. Saat resolusi jihad NU sudah tersebar, maka sambutan jihad dari para santri pun sangat luar biasa. Di sinilah dampaknya kemudian terjadi heroisme 10 November 1945 di Surabaya, yang diperingati sebagai hari pahlawan. Santri dan konsepsi bela negara pada akhirnya dipublikasikan melalui semangat hubbul wathon minal iman, atau cinta tanah air adalah sebagian dari iman.
Semoga pemahaman yang keliru tentang membela dan memperjuangkan “Islam” seperti Siti Elani bisa terus kita kikis. Karena pemahaman seperti itu bisa merongrong keutuhan NKRI yang telah diperjuangkan para kyai dan santri. Allahummaghfirlahum wa lahum alfatihah, untuk para kyai dan santri.
*Doktor Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Widyaiswara Kemenkumham, dan kader muda NU Nalumsari