Oleh Dr. Muh Khamdan, MA.Hum*
nujepara.or.id – Viral tersebar sebuah video singkat yang mempertontonkan aktivitas Warga Negara Asing (WNA) bersama sejumlah pegawai pabrik di Jepara, merayakan sesuatu sembari meminum minuman keras. Sontak video itu menyulut reaksi dari sebagian besar masyarakat Jepara yang sedang menjalani ibadah puasa Ramadhan.
Video tersebut seolah membuka kotak pandora atas sejumlah persoalan menyangkut relasi buruh, pabrik, dan perubahan sosial masyarakat Jepara.
Industrialisasi yang diiringi migrasi penduduk dari satu daerah ke daerah lain, seringkali menjadi sebab konflik sosial.
Satu hal yang tak bisa dihindari dalam proses industrialisasi di manapun terjadi adalah culture shock atau keterkejutan budaya. Masyarakat Jepara yang dikenal religius, secara tiba-tiba menghadapi budaya baru pengabaian nilai keagamaan.
Fenomena buruh pabrik garmen yang tidak puasa Ramadhan misalnya, tersebar di wilayah Jepara bagian Selatan. Realitas itu ditandai dengan ramainya warung dan rumah makan yang diserbu para buruh saat jam makan siang. Belum lagi jam kerja pabrik yang berjalan seperti bulan-bulan biasa, seolah pabrik dengan investasi dari WNA itu tidak memberikan rasa hormat pada masyarakat Jepara atas bulan Ramadhan.
Sebagai buruh jelas tidak memiliki otonomisasi atas pekerjaan. Jam kerja seperti bulan-bulan biasa, diperparah dengan “imingan” lembur. Tak heran jika suasana cuti bersama Ramadhan yang mestinya dirayakan oleh kaum muslim, justru diganjar resiko potong gaji maupun konsekuensi ketenagakerjaan lain jika tidak patuh atas jam masuk kerja.
Realitas demikian tak bisa hanya menjadi tontonan tetapi perlu penyikapan serius untuk menjaga hak-hak buruh dan penjagaan atas kearifan lokal masyarakat Jepara.
Sebagai bom waktu, masyarakat Jepara seolah tak lagi menjadi tuan di kampungnya sendiri. Benturan nilai-nilai yang ada seolah menyadarkan bahwa investor dan pengusaha sudah berjasa memberikan pekerjaan sehingga tak boleh atau tak bisa diganggu.
Puncaknya, video pesta minuman keras menjadi tamparan serius. Patut diduga bahwa WNA sudah melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah (Perda) Minuman Keras, termasuk menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Kesadaran masyarakat menjadi momentum untuk meningkatkan pengawasan orang asing terkait pelanggaran izin tinggal terbatas atau ijin tinggal kunjungan di Jepara.
Sudah sangat jelas bahwa kebijakan pemberian visa atau ijin tinggal bagi WNA di Indonesia menganut asas kebijakan selektif. Artinya, izin tinggal hanya diberikan bagi orang asing yang memberi manfaat dan tidak mengganggu keamanan serta ketertiban umum.
Manakala terjadi hal-hal yang meresahkan dan berpotensi menimbulkan gesekan konflik sosial, maka patut diduga telah terjadi pelanggaran administrasi maupun pidana keimigrasian.
Kepedulian masyarakat adalah kunci sebelum “bom waktu” benar-benar meledak atas efek negatif industrialisasi melalui pabrik asing di Jepara.
Semua pihak harus mau dan mampu menjaga ekosistem industri di Jepara, tentunya dengan tetap saling mengawasi dan saling ingat mengingatkan untuk kebaikan. Semoga kembali kepada fitrah pasca-Ramadhan, juga beriringan dengan kembali pada fitrah industri yaitu memanusiakan manusia sesuai harkat martabat kemanusiaannya.
*Kader Muda NU Nalumsari, Doktor Studi Perdamaian UIN Jakarta