NU JEPARA- Hanya karena saya pernah menulis buku : “Tiga Guru Sufi Tanah Jawa” (yang sedikit merepresentasikan pemikiran dari Thoriqoh Qodiriyah-Naqsyabandiyah dan Thoriqoh Syadziliyyah dalam kaitannya dengan “kaifiyah” dan “jam’iyah” dalam jejaring “mata-rantai sanad” dan “silsilah”, dan jejaring “Kekerabatan Sufi”), maka beberapa kali kawan mendesak supaya saya memberikan ulasan ihwal “sedikit kegaduhan” yang terjadi dalam Lembaga yang menjadi benteng dari “Ruhaninya NU” itu: yakni “Jam’iyah Thoriqoh Mu’tabaroh An-Nahdhiyyah” atau yang disingkat dengan JATMAN! Ada apakah dengan JATMAN?
Upaya PBNU
Dalam hal ini, baru saja kemarin di Boyolali PBNU telah resmi mengadakan Mu’tamar Jatman, dan terpilih KH. Chalwani & Dr. Ali Masykur Musa (sebagai Ro’is dan Sekretaris Jenderal dari JATMAN: dalam hal ini soal nama telah disesuaikan dengan istilah yang baru!).
Namun apa mau dikata: sosok Sang Raja Sufi Sedunia atau yang dikenal dengan Habib Luthfi Pekalongan baru-baru ini juga mendeklarasikan “JATMA Aswaja” sebagai perkumpulan yang mewadahi para Mursyid dan jejaring Thoriqoh (terpilih Habib Luthfi sebagai Ro’is ‘Am dan Dr.Helmi Faisal sebagai Sekjend). Sehingga yang jadi soal adalah: bagaimanakah para Santri dan Pengamal Tarekat melihat fenomena itu? Sikap apakah yang sebaiknya diambil?
“Kacamata Syara'”
Pertama, para santri Thoriqoh dan Pengamal Thoriqoh sudah barang tentu mendasarkan setiap hal dengan pertimbangan Syara’. (Dalam hal ini, Abuya Dimyathy al-Bantani dalam risalah yang ditulis untuk para santri pengamal tarekat yang berjudul: Hadiyatul-jalaliyah telah mengingatkan jauh-jauh hari dalam qoulnya yang menggema, “Wa-idza khuthiro bibalika Amrun, fazinhu bissyar’i: yaitu ketika ada yang mengganjal di hatimu akan suatu perkara, maka timbangkah dengan kacamata Syara’!”).
Lebih jauh, Mbah Dimyathy mengingatkan:; “Assyar’u masyhurun wa-ma’lumun, Fa-man akhodza bihi akhodza bihazhin wafir, Wa-man kholafahu faqod waqo’a fi wadin gho’ir : Ketetapan dan hukum-hukum syari’at itu sudahlah begitu masyhur dan jelas, maka barangsiapa yang mengambilnya, dia akan mendapatkan bagian dari kesempurnaan. Dan barangsiapa yang menentangnya, maka pastilah dia akan terjatuh dalam jurang kesesatan yang begitu dalam”. Jadi, untuk menilai Habib Lutfi dan JATMA Aswajanya lihatlah dengan kacamata Syara’.
Menilik dari Sisi “Kepekaan Etis”.
Kedua, dari sisi historis. Habib Luthfi adalah: mantan Ro’is JATMAN yang sudah cukup lama (bahkan lebih dari 20 tahun). Setiap Lembaga dan organisasi pasti ada regenerasi dan jabatan apapun istimewanya pastilah pada saatnya harus dikembalikan kepada Induk Organisasi: yaitu NU.
Tapi apa mau dikata, ketika NU memintanya, Habib Luthfi merasa kecewa dan membuat perkumpulan “organisasi tandingan”. Etiskah? Yang diwadahi dari para Mursyid dan Thoriqoh-Thoriqoh yang ada ya hanya itu-itu juga: yaitu para Nahdhiyyin. Di luar Nahdhiyyin kurang dikenal sebagai pengamal thoriqoh. Maka dengan membuat wadah baru, “Tafriq” dan “keretakan” di tengah-tengah santri Thoriqoh tak bisa dihindari.
JATMA Aswaja meskipun sudah berbadan hukum dan “legal” ditinjau dari sisi hukum positif, namun tentu saja “amat jauh” jika ditinjau dari “Kepekaan-Etis” dan akhlaknya para Sufi: mengingat Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam tembang-tembang yang didendangkan para sufi dalam Hidayatul-Adzakiya’nya bilang, “innattashowwufa kullahu lahuwal-adab!: Sesungguhnya tashowwuf secara keseluruhannya adalah etika dan adab!”
Reputasi dan “Jejak-jejak Kasar”.
Ketiga, disamping kedua pertimbangan tersebut di atas, apakah landasan yang kuat sehingga para Musyid, para santri Pengamal Thoriqoh haruslah tetap setia dan “iqtifaan-bil-jatman NU: yaitu “ngalaf-cukup kelawan JATMAN NU”?
Maka jawabannya sudah pasti didasarkan pada pertimbangan bahwa: menjadi “Shufi” itu secara harafiyah adalah “menjadi murni”, “bersih”, terhindar dari “syaub” (ketercampuran): menghindarkan dari “syubhat” yang meracuni mekarnya “bunga-bunga spiritual” dan ladzatnya hati dalam berdzikir mengingat Allah.
Sedang menghadirkan versi lain tentang “sejarah NU” (dengan memasukkan Habib Hasyim sebagai Pendiri NU) itu adakah “subhat bagi kemurnian sejarah NU”, dan pendirian JATMA Aswaja itu adalah “bid’ah” dan “syubhat” yang belum pernah terjadi dalam kultur spiritualitas kyai-kyai Nahdhiyyin.
Apalagi menghilangkan nama “An-Nahdhiyyah” itu sama artinya menjauhkan santri-santri thoriqoh dari Induk Organisasi Nahdlatul Ulama. (Wal-iyadzu billah: aku berlindung kepada Allah dari fitnah spiritualitas di zaman ini)
*Murtadho Hadi, Pengurus PCNU Jepara dan Santri Pengamal Tarekat