nujepara.or.id- Pelantikan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Jepara periode 2021 – 2026 tinggal menghitung hari. Pelantikan rencananya akan digelar pada 5 Maret 2022 mendatang bertempat di Gedung Wanita Jepara
nujepara.or.id berkesempatan mewawancarai secara ekslusif KH. Charis Rohman Ketua Tanfizdiyah PCNU Jepara. Siapakah sebenarnya KH. Charis Rohman, dan bagaimana perjalanannya hingga menjadi pucuk pimpinan NU di Kabupaten Jepara. Berikut rangkumannya.
Lahir tahun 1975 dari pasangan H. Sunardi dan Hj. Sumiatin. Di dalam keluarga, ayahnya selalu menanamkan ajaran agama Islam dan mengenalkan tokoh-tokoh agama. Salah satu yang sangat dihormati ayahnya adalah KH. Ibnu Sahil, atau biasa disebut Kiai Sahil pimpinan pondok pesantren Heru Cokro Sianggul, Mlonggo yang hanya berjarak 200 meter dari rumahnya. Saat baru kelas 4 SD, Charis Rohman diantarkan oleh ayahnya untuk nyantri pada kiai yang dikenal sangat sederhana ini.
Charis kecil mondok di pesantren Kiai Sahil, meskipun hanya berjarak sangat dekat dari rumahnya. Ketika naik kelas 5 SD, Charis diminta Kiai Sahil sekolah di Madrasah Tsanawiyah Heru Cokro yang dikelolanya. “Namun hanya satu minggu, kemudian saya dinaikan kelas 2. Karena itu lulus SD dan Madrasah Tsanawiyah tahunnya sama. Jadi tidak punya ijazah resmi” ujar Charis Rahman mengenang peristiwa tersebut.
Setelah belajar di pesantren Heru Cokro, oleh Kiai Sahil dan ayahnya ia kemudian diantarkan ke pondok pesantren Raudhatul Ulum asuhan KH. Muhammad Dimyati Amin di Kampung Cidahu, Lebak, Desa Tanagara, Kecamatan Candisari, Pandeglang, Banten.
“Saya diajar mengaji sendiri oleh Abuya Dimyati dari kitab-kitab tua yang rumpun kajiannya sangat beragam. Ada fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadist dan tasawuf. Mestinya jika dilihat dari umur, belum saatnya saya mengaji kitab–kitab kuning yang berbahasa Arab tanpa harakat, sehingga dikenal juga dengan kitab gundul,” ujar Charis Rohman, kepada nujepara.or.id.
Dua tahun nyantri kepada Abuya Dimyati, pada akhir tahun 1990, Charis Rohman kemudian pindah ke Ploso Kediri, atas saran Kiai Sahil. Namun boyongan harus ditunda beberapa saat.
“Saya menunggu boyong karena menunggu final piala dunia yang digelar di Italia antara Jerman dan Argentina,” ujarnya sambil tertawa.
Di Pondok Pesantren Al Falah inilah Charis Rohman mengasah ilmunya dengan belajar kitab kuning, dan diasuh langsung oleh KH. Fuad Mun’im, putra keempat dari pendiri pondok, KH. Ahmad Jazuli Usman. Ada enam putra-putri KH. Ahmad Jazuli Usman yang meneruskan pengasuh pondok ini yaitu KH. Zainundin Jazuli, KH. Nurul Huda atau Gus Dah, Bu Nyai Hj Lailatus Badriyah, KH. Munif, KH. Hamim atau Gus Miek dan KH. Fuad Mun’im Jazuli yang akrab disapa Gus Fu’. Gus Fu’ dikenal sebagai pengampu kitab rujukan di Pondok Pesantren Al Falah.
Selama nyantri di Ploso, Charis Rohman merupakan salah satu santri ndalem, atau santri yang melayani kiai secara langsung, dan bertempat di dalam rumah kiai.
“Disela-sela belajar ilmu agama dari ulama salaf yang permikiran dan karyanya menjadi kiblat umat Islam, saya ikut kerja di sawah, kerja dapur, pelihara ayam dan bahkan jualan gorengan yang dititipkan diwarung-warung pondok. Juga menemani putra kiai dan melayani kiai saat menerima tamu yang membawa berbagai persoalan dan keinginannya,” ujar Charis Rohman.
“Saya mendapatkan pelajaran yang sangat banyak dan berharga dari Gus Fu’ atau ada yang menyebutnya Yai Fu’ dengan mendengarkan nasehat dan sikap beliau saat menerima tamu-tamu yang datang silih berganti dari berbagai kalangan dan persoalan”, kenang Charis Rohman.
“Biasanya kami ndoprok di kaki kiai dan mendengarkan bagaimana beliau memberi nasehat. Beliau adalah guru sekaligus panutan yang tidak pernah lelah mentasaruffkan ilmunya untuk santrinya”, lanjutnya.
Selama 14 tahun Charis Rohman dibimbing dan diasuh oleh KH. Fuad Mun’im Jazuli. Bahkan ia kemudian menemukan jodohnya yang juga santriwati Pondok Pesantren Al Falah karena Gus Fu’.
“Suatu saat saya diajak naik mobil Yai. Beliau mengemudikan pelan sekali. Didepannya ada seorang gadis naik sepeda yang diikuti beberapa saat dan kemudian beliau menyatakan gadis bersepeda itu sehat sekali. Saya tentu saja hanya tersenyum. Peristiwa itu diulang kembali esok harinya,” kenang Charis Rohman yang mengaku saat itu tidak tau apa yang dimaksudkan kiai.
“Baru hari ketiga saya diberitahu dijodohkan dengan gadis bernama Naili Risalati, gadis bersepeda yang dua kali kami ikuti. Ia juga keponakan Yai Fu’. Tahun 1996 kami menikah saat saya berusia 21 tahun. Tidak punya apa-apa dan belum bekerja,” kenangnya.
“Tetapi karena dimintai kiai, saya hanya jawab nggeh. Saya yakin yang diperintahkan kiai baik untuk saya. Saya murni bentukan kiai dan menjalani hidup dengan mengalir seperti apa yang diperintahkan oleh kiai saya” ungkapnya.
Setelah menikah ia masih tinggal di rumah, membantu dan ngaji sama Yai Fu’ hingga 7 tahun kemudian. Sedangkan istrinya tinggal di rumah orang tuanya, seorang lurah disana. Kadang tiga hari tidak ketemu istrinya.
Setelah mengaji di dua pesantren selama kurang lebih 16 tahun, Charis Rohman pulang ke desanya, Sinanggul Mlonggo. Ia diminta pulang oleh Yai Fu’ untuk menemani ibunya setelah ayahandanya wafat. “Mungkin kiai tahu juga hati saya mulai galau setelah 7 tahun menunggu ijin untuk kembali ke Jepara,” ujarnya.
Ia pulang bersama istri dan anak sulungnya dan kemudian bekerja di gudang mebel milik adiknya selama 14 tahun, disamping mengajar di Madrasah Darusalam. Namun dalam perjalanannya, ia kemudian membuka usaha sendiri sampai sekarang.
Dua tahun kemudian, Charis Rohman mendapatkan kepercayaan sebagai pengurus MWC NU Mlonggo. Walaupun baru berusia 33 tahun, ia mendapatkan kepercayaan sebagai wakil Rois Syuriah yang saat itu dijabat oleh Habib Muhammad Muttahar, salah satu ulama sepuh di Mlonggo. Charis mengaku banyak belajar dari Habib Muh.
“Saya sering dimintai untuk mewakili beliau dalam berbagai kesempatan. Saat mewakili beliau itu sering kali ada yang menggoda, benar nggak ini pengurus Syuriah, karena masih muda. ” ungkapnya sambil tertawa. Setelah Habib Muh meninggal saya kemudian mendapatkan kepercayaan menjadi Rois Syuriah MWC NU Mlonggo selama dua periode,” tambahnya.
Ia kemudian mendapatkan kepercayaan sebagai Ketua Ketua Tanfizdiyah dalam Konfercab ke-32 PCNU Kabupaten Jepara. Ia mengaku tidak pernah berfikir mendapatkan tugas ini. “Saya hanya jalani hidup ini mengalir saja seperti yang diajarkan oleh para kiai,” ujarnya.
Ia sadar, NU adalah bahtera besar yang sedang berlayar menuju tujuan yang tak bertepi. Sebab akan terus bergerak sesuai dengan dinamika jaman. “Oleh sebab itu dengan silaturahmi kita satukan anak buah kapal untuk menjawab bersama dinamika persoalan dan harapan sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing,” tuturnya.
Karena itu setelah terpilih, selama 3 bulan terakhir bersama 39 pengurus PCNU berusaha untuk mengenali potensi, persoalan dan solusi. Kami berusaha merumuskan dalam bentuk program-program kerja 5 tahun kedepan yang sebagian besar akan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga.
“Banyak perubahan karena dinamika umat. Kalau dulu NU lebih condong ke bidang Ubudiyah, kini dituntut juga untuk memberikan perhatian dan hadir dalam berbagai bidang kehidupan dan persoalan masyarakat secara nyata,” tegas Charis Rohman. Posisi pengurus Tanfidziyah sekarang adalah melayani para kiai, tambahnya.
Model kepempinan yang hendak dijalankan di kepengurusan Tanfidziyah disebut oleh Charis Rohman nyaris tidak ada ketua. “Semua kami tentukan berdasarkan musyawarah. Apalagi dikepengurusan ini sebagian besar adalah anak-anak muda. Tentu sudah memahami tugas pokok dan fungsi masing-masing. Saya hanya menjaga semuanya berjalan dalam harmoni. Kuncinya silaturahmi dan menghindari perbedaan,” ungkapnya.
Salah satu yang mendapatkan perhatian adalah tahun politik 2024, saat digelar pesta demokrasi, baik pada skala lokal, regional maupun nasional. Saat ditanya kemungkinan NU ditarik-tarik dalam kancah politik praktis, Charis Rohman secara terbuka mengaku ada banyak yang mencoba mendekati. Bahkan saat ini telah mulai. Sebab NU memang memiliki jumlah umat yang besar. “Diantara warna-warna yang berbeda, kami mengambil sikap yang sama,” tegas ayah 5 anak ini.
Ia mengungkapkan, NU adalah rumah besar dan bahtera besar umat. Ada aneka warna baju yang dikenakan umat, namun hatinya sama, NU. “Itu yang harus dijaga sebagai sebuah harmoni untuk umat dan bangsa ini,” tuturnya
Charis Rahman juga mengungkapkan pandangannya terhadap keberagaman. Ketika tidak bisa disamakan biarlah itu tetap berbeda. Karena itu di NU ada ada ukuwah basariah dan watoniah yang terus dijaga.
Di tengah-tengah kesibukannya sebagai ketua Tanfidziyah, peran keluarga menurut Charis sangat besar. Namun ia tidak membawa persoalan organisasi kerumah. Sebab istri sudah terlalu lelah merawat anak-anak dan mengatur rumah tangga. “Kami biasanya hanya gunakan waktu untuk bercanda dengan istri dan anak-anak,” terangnya.
Namun ia bersyukur, saat ia menyambut kehadiran anak ke enam dan cucu pertamanya dari pernikahan putri sulungnya dengan putra kiai petamanya, KH. Ibnu Sahil, Charis Rohman masih yakin, bahwa jalan yang dilalui kini adalah titian jalan yang telah dibukakan oleh para kiai yang membimbing. Tentu atas ridlo Allah.
Ayahandanya dan empat kiai yang mengantarkan hingga mendapatkan kepercayaan dan tugas besar sebagai Ketua Tanfidziyah PCNU Jepara periode 2021 -2026 memang telah tiada. Namun bagi KH. Charis Rohman, ajaran-ajaran para kiai, masih terus dipegang sebagai sebuah amanat. Melayani kiai dan umat sebagai sebuah panggilan hati. (UA)