Oleh M. Abdullah Badri*
nujepara.or.id – Ramadan 1443 H sudah berlalu. Saat ini kita sudah memasuki bulan Syawal. Barangkali, saat Ramadan kemarin ada di antara kita yang tidak melaksanakan puasa wajib karena alasan tertentu. Lalu apa yang harus kita lakukan? Berikut ulasannya:
Orang tidak berpuasa wajib di Bulan Ramadhan itu ada kalanya dilarang (haram) dan ada kalanya (mubah) karena tidak mampu berpuasa. Yang haram berpuasa adalah perempuan haidl dan nifas. Sedangkan yang diperbolehkan (mubah) tidak berpuasa ada enam orang, yakni: 1). Orang sakit, 2). Musafir, 3). Orang jompo, 4). Wanita hamil, 5). Wanita menyusui dan 6). Orang yang tercekik haus (hingga dibolehkan bertayammum). Demikian keterangan dalam Kitab Kasyifatus Saja (hlm. 121).
Meski haram berpuasa wajib, wanita yang sedang haidl atau nifas tetap wajib qadla’ puasa setelah Ramadhan. Bila keduanya tidak sempat mengqadla’ puasa hingga bertemu Ramadhan di tahun berikutnya, maka, jika alasannya karena ada udzur syar’i, ia hanya wajib mengqadla’ puasanya saja. Jika tidak demikian, ia wajib mengqadla’ puasa dan membayar fidyah (sehari 1 mud = 6,75 ons). (Majmu’ Nawawi [5/532], Nihayatuz Zain [hlm. 192] &TaqriratusSadidah [hlm. 456]).
Contoh udzur syar’i, antara lain: melakukan perjalanan (safar) tanpa putus, menderita sakit menahun dan menyusui secara terus menerus. (I’anatuthThalibin: 2/24). Bila safar selesai, sakitnya sembuh atau proses menyusui seorang ibu telah rampung tapi tetap mengakhirkan qadla’ puasa hingga bertemu Bulan Ramadhan berikutnya, maka, hal ini tidak tergolong sebagai udzur syar’i.
Wanita Hamil & Pekerja Berat
Wanita hamil atau menyusui memiliki hukum tersendiri ketika ia memilih tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Rinciannya begini: jika alasan dia tidak berpuasa karena mengkhawatirkan dirinya sendiri (bukan anaknya), maka ia wajib qadla’ saja. Bila ia mengkhawatirkan janin atau anaknya saja, atau khawatir atas dirinya dan janin (atau anaknya) sekaligus, maka ia wajib qadla’ dan membayar fidyah. Demikian keterangan dalam Kitab RiyadlulBadi’ah (hlm. 62) dan Kitab Al-Bajuri.
Perlu dicatat pula, bila istri mengkhawatirkan dirinya dan suami memberi ijin untuk tidak berpuasa, maka, setelah Ramadhan, suami juga harus memerintahkan istrinya untuk mengqadla’ puasa saja. Jika istri khawatir atas janin yang dikandung istrinya, maka, suami juga harus memerintahkan istri untuk mengqadla’ puasa sekaligus membayarkan fidyah, sesuai perintah Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 184).
Hukum meninggalkan puasa wajib bagi ibu hamil dan menyusui ini tidak sama dengan pekerja berat semacam manol, buruh tani, tukang batu, dll. Bagi golongan ini, kekhawatiran tidak akan mampu berpuasa karena bekerja berat tidak bisa dijadikan alasan tidak berpuasa. Ia baru diperbolehkan meninggalkan puasa wajib dengan syarat: betul-betul nyata (muhaqqah) faktor beban berat pekerjaannya (masyaqqah).
Karena itulah, di malam hari Ramadhan, seorang pekerja berat tetap harus niat berpuasa (tabyitun niat). Ketika sudah niat dan sahur, tapi pada siang hari di tengah kerja ia tercekik haus, yang bila tidak segera minum nyawanya terancam (nyata masyaqqahnya), ia boleh meninggalkan puasa, dengan syarat lagi: dia wajib mengqadla’ puasanya setelah Ramadhan. Demikian keterangan dalam Kitab Busyrol Karim (2/72). Kewajiban pekerja berat akibat meninggalkan puasa wajib adalah mengqadla’, bukan menggantinya dengan fidyah.
Dalam Kitab BughyatulMustarsyidin (hlm. 112-113) dijelaskan tentang enam syarat seorang pekerja berat boleh meninggalkan puasa, yaitu: 1). Pekerjaannya tidak bisa ditunda hingga Syawwal, 2). Tidak bisa dikerjakan malam hari, 3). Bila tidak segera dikerjakan, ia merugi, 4). Sangat berat dikerjakan, hingga memenuhi syarat minimal tayammum atau mengerjakan shalat sambil duduk, 5). Tetap wajib niat di malam hari, dan 6). Saat berbuka di siang hari, ia berniat mendapatkan kemudahan (rukhshah). Artinya, ia tidak boleh dengan sengaja menambahkan berat beban pekerjaan demi mendapatkan rukhshah bolehnya meninggalkan puasa wajib.
Jika ada orang yang sakit hingga wafatdia belum sempat mengqadla’ puasanya karena selama bertahun-tahun sakitnya tidak sembuh, —tidak ada kesempatan sama sekali untuk mengqadla’ puasa— maka ia tidak berdosa, dan keluarganya tidak harus membayarkan fidyah. (Majmu’ Nawawi: 5/539). Hukum ini berbeda bagi orang jompo (al-ajiz) yang tidak kuat berpuasa karena faktor usia. Bila dia meninggal, hutang puasanya bisa digantikan dengan fidyah oleh keluarganya. (Majmu’ Nawawi: 5/409).
Demikian beberapa ulasan singkat hasil Halaqah Maudlu’iyyah PRNU Ngabul ke-1 terkait cara qadla’ puasa bagi mereka yang masih hidup maupun yang sudah wafat.[]
- Ketua Rijalul Ansor Jepara