Oleh Ustadz Hisyam Zamroni*
nujepara.or.id – Sekarang ini anak-anak kita memiliki tantangan yang berat dari sisi “pemanjaan medsos” yang secara massif mempengaruhi pola pikir, perilaku dan pola spiritual mereka. Anak-anak begitu enjoynya bermain dan “ngopeni medsos” dengan memanfaatkan aplikasi bermain game, membaca realitas yang melebihi otaknya dan belajar ngaji agama yang instan. Fenomena “pemanjaan medsos” tersebut sangat membekas, berpengaruh terhadap pola pikir, perilaku sosial, perilaku keberagamaan bahkan dijadikan “ideologi baru” sebagai landasan dalam kehidupan sehari hari.
Fenomena di atas tentu menjadi keprihatinan tersendiri. Namun perayaan maulid Nabi Muhammad SAW pada bulan ini menjadi inspirasi untuk meredam fenomena itu. Perayaan maulid Nabi Muhammad SAW dapat menggiring masyarakat dari semua lapisan khususnya anak anak untuk datang ke masjid, mushola, majlis sholawat, sekolah, madrasah dan komunitas-komunitas sosial.
Anak anak dengan riang gembira selama 12 hari mendatangi majlis-majlis ta’lim mengikuti perayaan maulid dengan melantunkan lagu puji-pujian dan sholawatan. Anak-anak itu antara satu dengan lainnya, “nggembor” keras-kerasan suara melantunkan puji pujian dan “bersrokolan”.
Ekspresi anak-anak yang bersholawat ini merupakan sebuah “pedagogy of mawlid” yaitu pendidikan melalui pendekatan perayaan maulid yang membuat anak anak itu secara psikologis menjadi gembira, pola pikir yang cerdas terbuka, berinteraksi dengan sesama dengan egaliter, saling berbagi jaburan dan sekaligus ngaji agama dengan penuh kesantunan dan kasih sayang.
Medsos vis a vis dengan religiusitas itu sebuah paradoks. Oleh karena itu paradoks realitas kekinian itu harus disinergikan, sebagaimana Prof. Mukti Ali pernah mewanti wanti : sementara ada sebagian kelompok dengan mantap membidengahkan perayaan maulid yang secara rutin dilaksanakan bakda shalat magrib yang diikuti oleh anak anak kita, di sisi lain kita belum bisa menemukan solusi setiap bakda maghrib anak anak kita enjoy di depan telivisi menonton film-film kartun dan sinetron.
Wanti wanti beliau ternyata menjadi lebih dahsyat resiko “buruknya” yaitu “pemanjaan medsos” yang lintas batas sosial, budaya dan negara.
Nah, akhir dari kesimpulannya adalah bahwa pedagogy of mawlid merupakan salah satu proses pendidikan bagi anak-anak dengan model atau cara secara langsung berinteraksi dengan semua lapisan masyarakat yang mampu merubah pola pikir, perilaku dan religiusitas yang cerdas, santun, egaliter, saling berbagi dan beragama dengan cara penuh rahmah yaitu kasih sayang.
Oleh karenanya, pedagogy of mawlid adalah model pendidikan natural yang membentuk sejak dini anak anak berkarakter sebagai manusia sosial dan religius.
*Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Jepara