Oleh : Khamdan
Pecinta Habib dan Kader Muda NU Nalumsari
nujepara.or.id – Habib Dullah, demikian khalayak umum mengenal serta memanggil. Sosok dengan penuh kesahajaan yang cenderung menyembunyikan identitas kehabiban, telah meninggalkan para pecintanya.
Selepas waktu maghrib dengan sakit yang dialami dalam perawatan di RS Sultan Agung Semarang, Habib menghadap pada Sang Kholiq pada 14 Februari atau bertepatan 23 Rajab 1444 H.
Habib meninggalkan warisan besar tentang perjuangan kecintaan pada Rasulullah dan pengabdian merawat umat melalui jam’iyah Nahdlatul Ulama. Sebagai keturunan Rasulullah dari marga farm Al Hinduan, Bib Dullah setidaknya memiliki kekuatan fisik yang sangat kuat.
Kediaman yang berada di seberang monumen ari-ari R.A. Kartini atau Kecamatan Mayong, hilir mudik tamu sering berdatangan. Belum lagi sejumlah undangan majlis ta’lim dan pengajian di beberapa wilayah yang selalu dihadiri atas dasar khidmat merawat umat. Mungkin, itu sebagai ciri khas farm al Hinduan yang sering dikaitkan pada datuknya di India yang kuat seperti pedang baja.
Habib Dullah berasal dari Ngroto Grobogan, dan menjadi menantu dari Habib Ali Shihab Mayong. Mafhum bagi masyarakat Mayong bahwa Habib Ali memiliki banyak karomah dan menjadi salah satu guru dari Maulana Habib Luthfi bin Ali Yahya.
Baik Habib Ali maupun Habib Dullah, memegang sanad syarah kitab Burdah yang ditulis tangan oleh Mbah Sholeh Darat. Dalam beberapa cerita, ada tiga murid dari Mbah Sholeh yang diberi syarah bertulis tangan tentang pemaknaan terhadap shalawat Burdah. Dan salah satu penerima itu adalah kakek dari istri Bib Dullah, atau ayah dari Habib Ali.
Tak heran jika majlis-majlis shalawat yang berkembang dalam jejaring murid dengan Habib Ali dan Habib Dullah adalah pembacaan shalawat Burdah. Fenomena ini pernah mengalami puncaknya saat awal-awal pengembangan Majelis Hubbur Rosul yang didirikan pada awal 2000-an.
Pergantian rezim kekuasaan yang diiringi krisis moneter serta kekacauan sosial di mana-mana, dijawab oleh komunitas pecinta Rasul dengan mengampanyekan shalawat. Pada titik inilah peran majelis Hubbur Rosul seolah menjadi penyiram kegersangan rohani masyarakat di Jepara.
Peran sebagai pelayan masyarakat (khodimul ummah) sangat melekat. Bangunan yang menyerupai aula terbuka di belakang rumah beserta pepohonan besar sebagai pengayom, adalah tempat yang umum untuk menerima tamu.
Bangunan terpisah dari kediaman keluarga itu seolah menegaskan bahwa posisi Bib Dullah terbagi atas dua. Pertama, ada porsi khusus berkaitan dengan urusan domestik keluarga yang tidak setiap orang luar boleh mengetahui. Kedua, ada porsi berkaitan sebagai pengasuh, pengayom, bahkan sekadar menerima para pecinta yang merindukan wajah teduhnya.
Bagi kebanyakan orang yang belum mengenal, sosok Bib Dullah tak ubahnya seperti masyarakat umum. Wajah hampir tidak menunjukkan ciri khas etnis Arab seperti para habib lainnya. Begitu juga penampakan busana dan lainnya, tak ada batas sebagai warga asli Indonesia yang lebih njawani.
Hal demikian setidaknya ingin memberikan kesan bahwa pelajaran terbaik adalah keteladanan. Teladan memosisikan diri sebagaimana masyarakat pada umumnya, namun tetap memperlihatkan kharisma manakala sudah masanya harus diperankan.
Sebagai khodimul ummah, Bib Dullah tidak hanya sekadar menerima tamu tetapi juga bertamu membangun silaturrahim. Langkah yang umum dilakukan oleh para penggerak dan pengader dalam sebuah organisasi. Beliau merupakan organisatoris yang lama berkecimpung di Nahdlatul Ulama.
Lama menduduki posisi sebagai jajaran Syuriah di MWCNU Mayong, sampai pada akhir hayat masih dalam khidmah sebagai Mustasyar PCNU Jepara. Rasanya, inilah warisan besar yang mesti dirawat dan tetap dijaga yaitu khidmat pada umat melalui NU dan senantiasa meningkatkan rasa cinta pada Rasul melalui shalawat.