Oleh Murtadho Hadi*
nujepara.or.id – Apakah artinya “di penghujung Ramadhan” bagi para santri? Tentunya selain kerinduan (“syauq”) dan hati yang bergetar menunggu-nunggu “kenduri khataman”, namun jauh lebih penting daripada itu adalah “leganya hati” karena telah “menuntaskan bacaan”.
Efek “Bacaan Yang Tidak Tuntas”
Kenapa para kyai dan santri sangat mengagungkan “khataman”? Karena bacaan yang tidak tuntas, sering-sering jadi “benalu” dan menjadi “problem” bagi pemahaman. Otak laksana telur yang setengah dierami; terlepas dari “kemurniannya” alias sudah ada noktah darah dan tidak pernah menetas. Inilah pangkal dari “carut-marutnya berpikir” dan “sistem penalaran yang “fasid” (rusak).
Menolak “Jahil-Murokkab”
Dalam bab ini: “lugu” (bulhu) akan lebih selamat daripada “segolongan kaum” yang memasuki ruang remang-remang dari pemahaman (pengetahuan) dan tidak pernah menuntaskan “bacaan”. Ujungnya adalah menjadikan “sempitnya pemahaman” sebagai “isme yang tertutup” (yaitu ideologi) yang menolak kritik.
Otak dan hatinya jadi mengeras alias “jahil-murokkab”. Sedang “praktek-ngamaliyahnya” dan “basis-aqidahnya” didasarkan pada “istidlal-bighoiri-dalil” (atau: “mencari dalil yang bukan dalil”). Dan di dalam banyak hal dan kesempatan, begitulah cara segolongan kaum telah berani membid’ahkan para ulama yang berilmu bahkan berani “mengkafirkan”.
Benteng Dari Isme Merusak
Mengagungkan “khataman” (tuntasnya bacaan) adalah mengagungkan runtutnya sistem berpikir dan “akal yang sempurna”. Ia telah menjadi “hujjah” dan “benteng yang kokoh” bagi bangsa Indonesia di tengah silang sengkarutnya isme-isme yang bertebaran dan berpotensi mengoyak “keberislaman” dan “keindonesiaan”.
Namun tahukah anda betapa “berat” dan “masyaqotnya” para guru-guru dan Kyai (yang masyaa-Allah ada beberapa yang sudah sepuh) tapi tetap mendampingi para santri membaca kitab dari berbagai sepesifikasi dan “fann”.
Tradisi ini biasanya dimulai dari 15 Sya’ban dan berakhir di penghujung Ramadhan (non-stop, ngaji siang dan malam hanya jeda beberapa jam untuk istirahat, sholat, buka dan sahur). Meskipun di bulan-bulan tertentu juga ada khataman: semisal Muharrom, Dzul-hijjah, dan Rojab.
Tradisi Santri Dan Kyai
Maka tak heran : para Kyai yang membaca kitabnya sudah sampai pada taraf “seni” (karena sudah bertahun mujahadah dan “wiridan”; yaitu cepat, jelas dan enak didengar). Terkadang dengan berbagai “langgam” dan “tembang”. Di sini, masing-masing Kyai dan santri: ada yang merampungkan atau khatam Shohih Bukhori 4 jilid, Shohih Muslim 4 jilid, hadis Muwattho’ Imam Malik.
Ada juga yang mengkhatamkan Tafsir Jalalalain, Tafsir Munir 2 jilid, dan Tafsir Showi 4 jilid, ihya 4 jilid, Sirojut-Tholibin 2 jilid, sampai pada risalah-risalah kecil semacam Nuruz-Zholam (Syarah Aqidatul Awam), Nasho’ihul Ibad, Irsyadul Ibad, Hadis Tanqih, Tijan Durori, dan bahkan Hadist Arba’in (40 hadits Imam Nawawi) dan juga fan-fan Ilmu Nahwu (tata bahasa) dan cabang-cabang keilmuan Fiqih: dari yang sederhana semisal Sullam Taufiq, Safinah, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, sampai muhaddzab dan Fathul Wahab.
Bahkan sampai yang agak tergolong aneh di Kediri Jawa Timur: wacana dari induk kitab mistik: semisal Syamsul Ma’arif Kubro, dan Mamba’, Sirrul Jalil, Minhajul-Hanif, dan Fawa’id, dan Abu Ma’syar Al-Falaky tetap dibaca para kyai.
Inti dari semuanya adalah “penghargaan” dan mengagungkan khataman, dimana tempat nyambung (shillaturruhi) dengan para penulis (muallif kitab), menjaga keabsahan “matarantai sanad” keilmuan, dan ajang disisipkannya doa-doa keberkahan dan hajat-hajat yang sebelumnya tertutup dengan “khataman” niscaya bi-idznillah menjadi “terijabah”.
Semua kyai dan orang berilmu pasti mengagungkan khataman, (semisal mengingat Abuya Dimyathi al-Bantani) walaupun itu khatam 40 hadits dari Arba’in-Nawawi, beliau tak segan-segan menyembelih kerbau atau kambing dalam acara “ngariyung” (kenduri besar-besaran: semua santri makan enak).
Kenapa? Jawabannya sudah pasti: “menghargai tuntasnya bacaan: menghargai ilmu”. Karena bacaan yang tidak tuntas hanya akan merusak dan menghancurkan nalar dan pemikiran (“jahil-murokkab”).*
*Sastrawan dan Budayawan, Pengurus LTN NU Jepara