Oleh : Ali Mansyur, S.Ag.
Ketua Lembaga Dakwah NU (LDNU) MWC NU Nalumsari
nujepara.or.id – Khidmah atau pengabdian untuk melayani adalah bentuk tertinggi seorang khodam atau pelayan. Demikianlah hubungan laku yang sering dipraktikkan para santri pada kyai. Santri senantiasa bangga bisa melakukan khidmah kapanpun dan dalam keadaan apapun. Tidak hanya saat di lingkungan pesantren.
Setiap santri setelah menamatkan pendidikan serta mendapatkan restu kyai untuk kembali ke rumah, semangat khidmah adalah laku utama. Itulah khidmah pada umat atau kesiapsiagaan untuk melayani umat.
Pada beberapa kesempatan, para kyai menyampaikan kepada para santri agar khidmah bisa dilakukan melalui berjamaah. Itulah nasihat yang umum sehingga berlanjut agar hidup hidupilah NU, namun jangan cari penghidupan dari NU. Berkhidmah khidmah lah melalui NU, untuk memberi kemanfaatan bagi semua bangsa di Nusantara.
Kader NU di era abad kedua ini mesti melakukan akselerasi khidmah. Pengabdian tidak lagi hanya memikirkan warga Nahdliyin, tetapi bagi semua warga tanpa memandang perbedaan. Seringkali yang terjadi, khidmah NU seolah hanya sebatas layanan kepada warga Nahdliyin, sehingga justru melakukan diskriminasi. Khidmah NU sudah saatnya tidak memandang latar belakang sosial, agama, kelompok, termasuk identitas-identitas politik kekuasaan.
Baca Juga : Meneguhkan Posisi Kader dan Kaderisasi NU
Tentu sebagian kaum Nahdliyin, termasuk pemegang kekuasaan kepengurusan di setiap jenjang tingkatan, belum bisa menerima akselerasi tersebut. Konsepsi fastabiqul khairat atau berlomba-lomba dalam kebajikan seolah lebih kental pada aspek ketakutan akan eksistensi NU. Sebagian jamaah merasa khawatir bahwa NU akan tergeser, terusir, bahkan terancam hilang hanya karena menempatkan kontestasi organisasi menjadi persaingan.
Sebutlah program pemberdayaan jamaah dalam lingkup pendidikan. Sebagian warga Nahdliyin justru terjebak pada persaingan rebutan peserta didik dari kalangan sendiri. Akselerasi mesti dilakukan bahwa pendidikan adalah untuk semua warga. Pembatasan-pembatasan desain kurikulum maupun kegiatan pembelajaran, hanya membuka ruang eksklusif atau ketertutupan.
Pendidikan adalah universal, penanaman-penanaman nilai kebaikan pun bersifat universal. Penanaman ini dapat dimulai dari penyelenggaraan pendidikan dari jenjang terdasar untuk semua kalangan. Penitipan anak, kelompok belajar, taman kanak-kanak, sampai pada jenjang sekolah dasar perlu dilakukan revitalisasi.
Setiap program pemberdayaan jamaah jelas membutuhkan biaya untuk menjalankannya. Pada kondisi inilah akselerasi program sebagai wujud khidmah mendapatkan ujian. Sebagian kepengurusan cenderung mengikuti pola pikir jika ada anggaran maka program baru bisa berjalan. Bahkan ironisnya, program akan berjalan dengan “menggadaikan” kewibawaan khidmah NU hanya menggantungkan pada satu atau beberapa sumber pendanaan.
Nalar demikian adalah jebakan karena sangat rentan membuat organisasi tidak berani bergerak kemana-mana kecuali hanya satu arahan pendonor atau kumpulan pendonor.
Bagaimana pemecahan jika organisasi terutama NU sudah telanjur terjebak?
Tak ada jalan lain kecuali membangkitkan gairah keberjamaahan dalam NU. Aktivitas keagamaan NU yang menjelma menjadi aktivitas kultural, kini justru menjelama menjadi identitas kelompok. Betapa menjamur majelis shalawat, majelis dzikir, majlis ta’lim, dan majelis fans club lainnya, namun tidak terorganisir pada capaian khidmah NU.
Pengorganisasian khidmah menjadi penting untuk abad kedua NU. Kepengurusan NU maupun khidmah warga Nahdliyin mesti hadir dan melakukan aksi nyata di akar rumput. Pengurus Ranting NU (PRNU) beserta kelengkapan organisasi sesungguhnya adalah penggerak dan pendamping warga masyarakat.
NU tidak hanya hadir dalam ritual keagamaan, tetapi juga masuk pada sektor pembangunan pemerintahan serta advokasi pengambilan kebijakan desa.
Baca Juga : Mengurus Jam’iyah, Merawat Jama’ah
Akselerasi khidmah di tingkatan ranting, mesti dapat menghadirkan regenerasi kepemimpinan melalui munculnya calon-calon kepala desa yang nyantri dan peduli. Kekalahan masyarakat terhadap modal politik, tentu akan berubah manakala khidmah NU sudah berjalan dengan maksimal.
Pendanaan besar dalam sebuah program, baik pembangunan lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, lembaga pembiayaan keuangan, dan lembaga-lembaga sosial lain, akan mendapatkan solusi jika terbangun komunikasi keberjamaahan. Fungsi artikulasi kepentingan warga perlu diperankan oleh jajaran NU di level terdepan beserta badan otonom-otonom yang ada. Untuk itulah menjadi penting proses kaderisasi beserta pembentukan kader penggerak NU untuk memberikan kesadaran berjamaah sekaligus kesiapsiagaan berkhidmah.
Prinsip pengabdian dan pelayanan dalam hubungan keorganisasian atau keberjam’iyahan, harus dibangun berdasarkan semangat melayani umat atau khodimul ummat. Kepekaan sosial melalui “aksi buka mata” akan mempermudah mengetahui persoalan keumatan dari beragam sudut pandang. Pengabdian organisasi tidak bisa hanya menggantungkan sosok bermodal keuangan maupun atas dasar genealogis, tetapi harus dimulai dari kesadaran berorganisasi pengabdian.
Tantangannya adalah, kita seringkali kalah sebelum bertanding karena ketiadaan atau kurangnya modal keuangan dalam berorganisasi. Kiprah dan khidmah NU jelas sudah ditunggu semua kalangan sejak dulu, kini, dan mendatang. Kunci utama adalah saling berbagi rasa dan peran merawat umat, sebagai bentuk khidmah yang diwariskan para leluhur. Oleh karenanya, perlu kerja bersama dalam khidmah keberjamaahan.