اَللهُ اَكْبَرُ ﴾ x٩ ﴿
اَللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ. الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ خَلَقَ الزّمَانَ وَفَضَّلَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَخَصَّ بَعْضُ الشُّهُوْرِ وَالأَيَّامِ وَالَليَالِي بِمَزَايَا وَفَضَائِلَ يُعَظَّمُ فِيْهَا الأَجْرُ والحَسَنَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللّهُمَّ صَلّ وسّلِّمْ علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وِعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ.
أمَّا بعْدُ، فيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا
اللهَ تَعَالَى بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ. قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ
الْكَرِيْمِ: إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
الله أكبر الله أكبر الله أكبر ولله الحمد
Para jama’ah shalat ‘Ied Rahimakumullah
Imam al-Suyuti dalam Asraru tartib al-Qur’an-nya menjelaskan bahwa surat al-Kautsar -yang selama ini sering digunakan sebagai dalil tentang pensyari’atan qurban- merupakan respon solutif atas surat sebelumnya yaitu surat al-Ma’un. Hal ini dapat dilihat dari kandungan-kandungan ayat antar keduanya. Surat al-Ma’un setidaknya memuat empat hal, yaitu: pertama, sifat kikir (al-bukhl) yang tercermin dalam ayat
يَدُعُّ ٱلۡيَتِيمَ . وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلۡمِسۡكِينِ
(menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin). Kedua, melalaikan shalat yang tercermin dalam ayat
ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِہِمۡ سَاهُونَ
(orang-orang yang lalai dari shalatnya). Ketiga, pamer dalam urusan shalat (tidak murni ikhlas karena Allah) tercermin dalam ayat
ٱلَّذِينَ هُمۡ يُرَآءُونَ
(orang-orang yang berbuat riya’). dan keempat, menolak zakat yang tercermin dalam ayat
وَيَمۡنَعُونَ ٱلۡمَاعُونَ
(enggan [menolong dengan] barang berguna, atau enggan membayar zakat). Sementara sisi pembanding ditampilkan oleh surat al-kautsar. Sifat kikir (al-bukhl) direspon oleh ayat pertama surat ini, yaitu
إنَّآ أَعۡطَيۡنَـٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ
(sesungguhnya Aku telah memberimu nikmat yang banyak), maka bersedekahlah dan jangan kikir. Kemudian bagi yang melalaikan shalat
ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِہِمۡ سَاهُونَ
direspon oleh ayat فَصَلّ (maka shalatlah dengan memenuhi hak-haknya dan dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan). Lantas bagi orang-orang yang melaksanakan shalat dengan maksud pamer, tidak karena Allah, direspon dengan kalimat لِرَبِّكَ (shalatlah untuk mencapai ridha Tuhanmu, bukan untuk pamer kepada manusia). Kemudian bagi yang menolak zakat, enggan berqurban dan bersedekah, direspon dengan kalimat وَٱنۡحَر (bersedekahlah dengan daging qurban). Begitu kurang lebih penjelasan al-Suyuti.
Sekilas gambaran penafsiran di atas memberikan pelajaran bagi kita bahwa sifat kikir, riya, dan juga lalai merupakan sifat yang sangat tidak terpuji, sehingga, sifat-sifat tersebut seharusnya diganti dengan sifat dermawan, ikhlas, dan juga tekun. Penafsiran di atas juga menggambarkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara ibadah ritual dan ibadah sosial, termasuk pensyari’atan sedekah dan qurban sebagai salah satu amal taqarrub (upaya mendekatkan diri kepada Allah). Arti penting qurban juga terabadikan dalam kisah keteladanan Ibrahim sebagaimana yang termaktub dalam QS. As-Saffat, terutama ayat 102,
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡىَ قَالَ يَـٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلۡمَنَامِ أَنِّىٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَـٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ
Maka tatkala anak itu sampai berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Ayat tersebut menceritakan tentang mimpi Ibrahim yang menyembelih putranya, dan wujudnya harmonika serta dinamika keluarga yang diliputi dengan ketaatan, ketabahan, penghambaan, dan kepasrahan yang luar biasa terhadap Tuhannya. Hal ini tergambar dari jawaban sang anak waktu informasi tentang mimpi itu disampaikan oleh Ibrahim, sang anak menjawab dengan jawaban
ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ
(laksanakanlah apapun yang diperintahkan kepadamu) bukan “azbihni>” (sembelihlah aku), ini merupakan isyarat “kepatuhan” yang luar biasa, karena informasi dari mimpi itu adalah perintah Allah, maka ia pasrah, bagaimanapun cara, bentuk, dan kandungan yang diperintahkan-Nya. Ditambah lagi dengan jawaban
سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ
(anda in sya’a Allah akan menemukanku termasuk bagian dari orang-orang yang sabar), sebuah ungkapan yang penuh “etika” dan berlandaskan “spiritualitas” yang luar biasa sebagai buah dari pendidikan sang ayah tentang tauhid, demikian penjelasan M. Quraish Shihab dalam tafsirnya. Bahkan dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa waktu Ibrahim mengikat kaki dan tangan Isma’il, Isma’il justru meminta kepada ayahnya agar melepaskan ikatan itu serta meletakkan pisau di atas lehernya, supaya Allah tidak melihatnya dalam kondisi terpaksa dan supaya malaikat juga menyaksikan bahwa putra khalil Ibrahim taat dan patuh terhadap perintah Tuhannya.
الله أكبر الله أكبر الله أكبر ولله الحمد
Para jama’ah shalat ‘Ied Rahimakumullah
Mungkin dari kisah tersebut kita boleh bertanya, mengapa Allah memerintahkan kepada Ibrahim untuk menyembelih anaknya? Akan tetapi sebelum proses penyembelihan itu selesai, perintah tersebut justru dibatalkan?. Untuk menjawab pertanyaan ini, setidaknya terdapat dua analisa yang patut diketengahkan.
Pertama, bahwa nabi Ibrahim hidup pada masa persimpangan pemikiran manusia menyangkut pengorbanan manusia kepada Tuhan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh M. Quraish Shihab dalam tafsirnya, bahwa hampir seantero dunia, masyarakat rela mempersembahkan manusia sebagai sesaji. Di Mesir misalnya, masyarakat mempersembahkan gadis cantik untuk dewa sungai Nil, kemudian di Kan’an, Irak, dipersembahkan bayi untuk dewa Ba’al, selanjutnya suku Aztec di Meksiko, mereka mempersembahkan jantung dan darah manusia untuk dewa Matahari, dan juga orang-orang Viking di Eropa Timur yang mempersembahkan pemuka agama untuk dewa perang yang mereka sebut “Odion”. Waktu itu muncul wacana dan ide yang menyatakan bahwa manusia terlalu “mahal” untuk dikorbankan, sehingga perintah Allah kepada Ibrahim ini seakan-akan mengatakan bahwa ketika perintah Allah telah datang, maka tidak ada apapun yang lebih mahal, termasuk mengorbankan anak yang paling disayangi sekalipun. Kemudian perintah itu dibatalkan bukan dengan alasan manusia terlalu mahal, akan tetapi karena kasih sayang Allah semata.
Kedua, hampir saja Ibrahim “memberhalakan” anaknya. Memang Ibrahim tidak menyembah anaknya, akan tetapi ketika anak yang digadang-gadang telah lahir dan tumbuh, hampir saja konsentrasi utama bukan lagi kepada Allah, melainkan kepada anaknya, hampir saja kecintaan utamanya bukan lagi kepada Allah akan tetapi kepada anaknya, dan dari sinilah ujian pengorbanan itu muncul, ternyata Ibrahim lebih memilih Allah daripada segala yang dimilikinya, termasuk anak terkasihnya sekalipun. Sekali lagi atas kehendak dan kasih sayang Allahlah peristiwa penyembelihan itu dibatalkan sebelum sempurna dilaksanakan.
الله أكبر الله أكبر الله أكبر ولله الحمد
Para jama’ah shalat ‘Ied Rahimakumullah
Sebagai muhasabah, mungkin patut kita renungkan, bahwa saat ini berapa banyak hal-hal yang telah kita “berhalakan”? hal-hal yang telah melalaikan kita dari pengabdian dan penghambaan kepada Allah?, “berhala-berhala” tersebut bisa berupa apa saja, “berhala-berhala” tersebut bisa berupa harta, kekuasaan, pangkat-jabatan, wanita, atau ambisi-ambisi duniawi yang lain. Bagaimana mungkin kita dapat memaknai ibadah “Qurban” secara ideal? Sementara kita masih menyembah “berhala-berhala” itu? Sampai-sampai sering kita korbankan orang lain, teman seprofesi, se-institusi, dan saudara sebangsa demi akuisme dan egoisme, dan demi menghambakan diri kepada “berhala-berhala” pemusnah harmonika kehidupan itu? Di sini perlu revolusi mental dan moral, agar kita senantiasa memiliki semangat “jiwa pengorbanan” bukan “nafsu mengorbankan”. Sehingga dengan momentum Idul Qurban ini, diharapkan kita semua rela berkorban untuk menyembelih dan memusnahkan “berhala-berhala” tersebut, serta berusaha semaksimal mungkin membenahi kehidupan menuju ridha Allah dengan memperkuat al-ukhuwwah wa al-ittihad (persaudaraan dan persatuan), rela berbagi dengan yang membutuhkan, membuang ambisi-ambisi duniawi yang destruktif, serta menjauhi perbuatan keji yang merusak tatanan kehidupan keislaman dan kebangsaan. Semoga, amin.
هدانا الله و اياكم الى صراط مستقيم، والله اعلم بالصواب.
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنْ الآياَتِ والَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ .إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II
اَللهُ اَكْبَرُ ﴾ x٩ ﴿
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ, فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ المسبحة بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَتِكَ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.
عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا
بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ
وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ فَاذْكُرُوا اللهَ
اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ
اللهِ أَكْبَرْ