Menu

Mode Gelap
Hadapi Tantangan Dakwah di Era Globalisasi, PCNU Jepara Gelar Diklat “Madrasah Dakwah” Gelar JIA di UNISNU, Ajang Kompetisi Sains dan Inovasi Bagi Pelajar Jepara Dapur Ngabul Beroperasi, Awali Program Makan Bergizi Gratis di Jepara Kenalkan Kearifan Lokal Jepara, 5 Negara Terlibat di Program International Youth UNISNU Asah Kompetisi Bidang Pendidikan, FTIK UNISNU Sukses Gelar EduTechnoFest 2025

Esai · 21 Apr 2022 06:11 WIB ·

Disiplin Itu Kejujuran


 Disiplin Itu Kejujuran Perbesar

nujepara.or.id Agama (al-Din) mengajarkan bahwa kepercayaan (amanah) merupakan asas iman. Dinyatakan dalam Hadis Nabi Muhammad SAW, “Tiada iman bagi yang tidak memiliki amanah” Amanah itu lawan dari khianah.

Tapi amanat bagi seseorang merupakan sendi utama untuk saling berhubungan dengan orang lain, atau interaksi dalam hal pendidikan, kemasyarakatan, agama, politik, budaya dan lainnya. Karena itu untuk membina hubungan kerja yang baik perlu sikap disiplin sebagai tanda kejujuran.

Memang amanat itu butuh sikap percaya, dan kepercayaan melahirkan ketenangan batin (sakinah) yang akan melahirkan keyakinan. Sebagai “kekuatan” dari sakinah tumbuh sikap mental berbuat disiplin, yaitu perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercayai sebagai tanggung jawabnya. Beginilah rasa beragama yang mampu kita rasakan.

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan (juga) janganlah mengkhianati amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (QS Al-Anfal/8: 27).

Pesan Al-Qur’an ini menekankan “disiplin” bagi kita dengan status dan fungsi yang melekat pada suatu institusi dan aktivitas yang menjadi tanggung jawab kita agar tidak dikhianati. Disiplin itu kejujuran, apalagi Wahyu Ilahi yang menunjukkan.

Dikatakan dalam Hadis Nabi Muhammad SAW. “Sesungguhnya termasuk dari ucapan kenabian (nubuwwah) pertama yang diperoleh manusia ialah (peringatan) ‘Bila engkau tidak punya rasa malu maka berbuatlah semaumu’.” (Riwayat Imam Bukhari).

Perlu disyukuri karena rasa malu merupakan bawaan manusia sejak lahir, rasa malu bisa mengantar pribadi manusia memiliki akhlak yang mulia, menghiasi amal ibadah secara istiqamah hingga tertanam dalam jiwanya cinta kebajikan Lillahi Ta’ala Karena itu al-haya’ minal-iman, rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.

“Barangsiapa merasa malu maka akan bersembunyi, barangsiapa yang bersembunyi maka akan berhati-hati dan barangsiapa yang berhati-hati maka ia akan terjaga,”.

Rasa malu memang perlu diusahakan (iktisab), dan dengan banyak membaca serta menghafal Al-Qur’an ditekankan.. tetapi tidak kalah pentingnya adalah pengamal pesan-pesan Al-Qur’an sehingga bisa ma’rifatullah (mengenal Allah), mengenal keagungan-Nya, sadar akan kedekatan Allah dengan makhluk-Nya, meyakini bahwa Allah senantiasa mengawasi diri pribadinya.

“(Sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya,” (QS Almu’minun/23: 8).

Yang pasti rasa malu membuahkan kesucian diri (‘iffah) dan selalu menepati janji (wafa’), bahkan keperwiraan (muru’ah) yang membuahkan kejujuran (shidq) adalah memiliki pengaruh positif.

Menepati waktu termasuk al-wafa’, “Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (QS Al-Nisa’/4: 103).

Untuk menumbuhkan budaya disiplin yang identik dengan jujur, adalah rasa malu sebagai sumber akhlak terpuji bahkan bisa memenuhi amanat dan menjauhi khianat.

Tiba saatnya kita berikhtiar untuk memiliki rasa aman dan ketenangan batin atau sakinah dalam upaya menumbuhkan sikap disiplin. Dengan ikhlas mari kita mengosongkan qalbu dari sifat tercela, yaitu mengakui dosa dan menyadari bahwa kita mengkhianati amanat sebagai kewajiban yang kita langgar.

Semua kita sesali, Lillahi Ta’ala kita ikhlas memutuskan hubungan dengan masa lalu yang kelam, dengan penyesalan dan dengan pengawasan yang ketat terhadap diri pribadi sendiri terkait hal-hal mendatang, diikuti kita mujahadah (perjuangan) melawan sifat-sifat jiwa yang tercela dengan sifat-sifat yang terpuji, seperti bohong dilawan jujur, ingkar janji dilawan memenuhinya, egoisme dilawan pengorbanan sambil memohon bantuan Allah dengan berdzikir mengingat-Nya.

Rasa beragama sebagai upaya terapi diterapkan dalam mujahadah secara berulang-ulang. Karena pada saatnya yang tepat kita akan berubah. Memasuki benteng yang disiapkan Allah dan sejak saat itu pula kecemasan — betapa pun hebatnya — akan berubah menjadi ketenangan, keraguan-ketakutan –betapa mencekamnya — akan beralih menjadi ketenteraman.

Itulah tanda sakinah berada di dalam qalbu kita. Jujur untuk berbuat disiplin pun ringan. Semoga Allah SWT memberi taufiq kepada kita menuju jalan yang lebih baik. (B3)

Oleh : Rektor UNISNU Jepara, Dr. H. Sa’dullah Assa’idi, M.Ag.

Artikel ini telah dibaca 6 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Gelar JIA di UNISNU, Ajang Kompetisi Sains dan Inovasi Bagi Pelajar Jepara

19 Februari 2025 - 16:14 WIB

Kenalkan Kearifan Lokal Jepara, 5 Negara Terlibat di Program International Youth UNISNU

18 Februari 2025 - 11:17 WIB

Asah Kompetisi Bidang Pendidikan, FTIK UNISNU Sukses Gelar EduTechnoFest 2025

18 Februari 2025 - 11:04 WIB

Syair Para Pendiri Nahdlatul Ulama (NU)

27 Januari 2025 - 11:52 WIB

Mahasiswa PAI UNISNU ikuti Kuliah Komparasi Aswaja Komunitas Muslim di Negeri Beruang Merah, bareng Dr. Amy dari PCINU Federasi Rusia

13 Desember 2024 - 10:01 WIB

Tanggap Bencana, PCNU Jepara Gelar Rakor, Jalin Sinergi dengan Pemerintah dan Elemen Lainnya

9 Desember 2024 - 22:41 WIB

Trending di Hujjah Aswaja