nujepara.or.id – Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Kabupaten Jepara sukses menggelar Latihan Kader Utama (Lakut) pada 20-23 Februari 2025. Kegiatan diikuti oleh 37 peserta dari 16 kecamatan se-Kabupaten Jepara. Lakut sendiri merupakan kegiatan pengkaderan tertinggi di tingkatan pengurus cabang, guna penguatan kapasitas kader muda NU dalam memahami dinamika sosial, politik, dan keagamaan di Indonesia.
Salah satu materi utama dalam pelatihan ini adalah “Peta Gerakan Islam di Indonesia,” yang disampaikan oleh Dr. Muh Khamdan, aktivis muda NU Jepara yang juga menjadi widyaiswara di Kementerian Hukum Jawa Tengah. Sosok yang aktif pada Lajnah Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN NU) itu dan menamatkan pendidikan S2 serta S3 dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sangat menekankan pentingnya memahami peta gerakan Islam di Indonesia.
Khamdan menyampaikan peta gerakan dalam tiga kerangka utama, yaitu kontestasi politik, relasi budaya, dan eksistensi ideologi.
Dalam kerangka kontestasi politik, dijelaskan bahwa gerakan Islam di Indonesia terbagi dalam tiga corak utama. Pertama, integrasi agama dan negara yang memunculkan kelompok dengan identitas mengusung syariat Islam, negara Islam, atau NKRI Bersyariah.
Kedua, kelompok pengusung sekularisasi atau pemisahan agama dan negara, sebagaimana kelompok komunisme yang menempatkan agama sebagai urusan privat tidak dalam ranah negara.
Ketiga, simbiosis mutualis yang menempatkan antara agama dan negara saling memengaruhi namun tidak dalam formalistik negara berdasarkan agama. Menurut Khamdan, ketiga model ini terus berkembang dalam wacana kebangsaan, terutama dalam konteks demokrasi dan politik elektoral di Indonesia yang membangun pola 70 persen kelompok kebangsaan dan 30 persen kelompok islamisme atau agama.
Pada aspek relasi budaya, Khamdan menguraikan bagaimana perdebatan antara pemisahan agama dan budaya yang seringkali melabeli praktik tertentu sebagai bid’ah, berhadapan dengan gerakan akulturasi dan akomodasi budaya.
Jepara, sebagai daerah yang kaya akan tradisi Islam lokal, menjadi contoh konkret bagaimana relasi agama dan budaya terus mengalami dinamika dalam praktik keseharian masyarakat. Hal itu sebagaimana tantangan menjaga eksistensi melarung dalam festival Lomban, sedekah bumi, sedekah laut, maupun baratan dan tradisi barikan di sejumlah pekuburan.
Sementara itu, dalam kerangka eksistensi ideologi, Khamdan mengupas berbagai aliran yang berkembang di Indonesia, mulai dari Ahlus Sunnah wal Jamaah, Syiah, hingga Wahabi dan Salafi. Ia menggarisbawahi bagaimana kelompok-kelompok ini berinteraksi di Jepara, baik dalam konteks sosial, pendidikan, maupun politik. Menariknya, interaksi lintas ideologi dalam Islam itu membentuk pola kekerabatan sekaligus pertalian darah kekeluargaan di Jepara.
Lakut ini diharapkan dapat membentuk kader-kader muda NU yang memiliki pemahaman kritis, moderat, dan inklusif dalam menghadapi tantangan zaman. Ketua PC IPNU Jepara, Muhammad Jamaludin menyatakan bahwa pelatihan ini menjadi langkah strategis dalam membangun generasi penerus yang tidak hanya berlandaskan nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil alamin, tetapi juga memiliki wawasan kebangsaan yang kuat.
Dengan pemahaman yang komprehensif terhadap peta gerakan Islam, para kader diharapkan mampu berperan aktif dalam menjaga harmoni sosial dan memperkuat peran Nahdlatul Ulama di tengah masyarakat. Hal itu senada dengan target yang disampaikan Ketua PC IPPNU Kabupaten Jepara, Miftahul Ilya Nasroh, di Pesantren Nailul Muna, Kalipucang Wetan, Welahan (23/2/25).
Sebagaimana akhir penyampaian Dr. Khamdan, peta gerakan Islam di Indonesia maupun spesifik di Jepara dapat dilakukan mitigasi dengan menggunakan empat indikator deteksi moderasi beragama. Masing-masing adalah memiliki komitmen terhadap konsensus kebangsaan, anti-kekerasan, toleran kepada pihak lain, serta mengharga kearifan lokal atau eksistensi budaya. Inilah yang nantinya dapat digunakan sebagai indikator sebuah gerakan disebut moderat atau radikal.