nujepara.or.id – Lahir di sebuah dusun kecil, Penggung, di kaki gunung Muria di desa Gemiring Lor, Nalumsari, pada 1905. Fauzan adalah satu-satunya putra dari enam saudara keturunan ulama yang menjadi pembimbing haji pada masa dulu, KH. Abdurrosul bin Sanwasi dengan Nyai Thohiroh binti Harun. Keulamaan Fauzan kecil terbentuk dari lingkungan keluarga yang berasal dari pemuka agama sekaligus pemimpin laskar Diponegoro, Kyai Sanwasi.
Fauzan meniti pendidikan keislaman melalui pesantren ke pesantren. Pesantren Balekambang dalam asuhan KH. Chasbullah setidaknya menjadi salah satu pesantren yang pertama membentuk karakter keulamaan. Selain itu, Fauzan kecil juga belajar dengan kakak iparnya, Kyai Abu Kholil yang menikah dengan Nyai Masruroh, mengasuh pesantren di Gemiring Kidul. Karakter keulaman Fauzan semakin terbentuk sejak mengikuti haji ayahnya, sampai ditinggal ayahnya wafat dan dikebumikan di pemakaman Ma’la di Makkah, sekitar 1922.
Kemunculan di panggung pergerakan NU setidaknya sangat kuat dipengaruhi hasil dari didikan KH. Kholil Harun, Kasingan, Rembang. KH. Ahmad Fauzan menjadi santri di pesantren yang sangat dikenal dalam fan Nahwu, karena KH. Kholil Harun sangat masyhur disebut sebagai Imam Sibawaih-nya tanah Jawa. Tak hanya itu, pesantren Kasingan memiliki banyak alumni yang kemudian menjadi poros kekuatan NU, seperti KH. Mahrus Aly Lirboyo, KH. Baidlowi Lasem, KH. Bisri Mustofa, dan KH. Abdul Hamid Pasuruan. Fauzan muda sendiri menjalani status sebagai santri Kasingan bersama dengan dua sahabat yang berasal dari Jepara, yaitu KH. Abdur Rosyid bin KH. Muhammad Zain dan KH. Nur Ali bin KH. Abdul Qadir.
Beberapa tahun setelah dari Kasingan, KH. Ahmad Fauzan melanjutkan petualang akademiknya di Tayu Pati, pada pesantren asuhan KH. Sholeh Amin. Guru terakhir ini merupakan menantu dari KH. R. Asnawi dari pernikahannya dengan Nyai Azizah, yang membangun model pendidikan madrasah bernama Miftahul Huda Tayu. KH. Sholeh Amin merupakan salah satu Mustasyar PBNU sejak awal berdirinya NU pada 1926. Oleh karenanya, santri-santrinya sebagaimana KH. Ahmad Fauzan pada akhirnya turut menjadi ulama organisatoris melalui jejaring NU.
Di Bangsri, Jepara, KH. Fauzan mendirikan madrasah sebagaimana gurunya di Tayu. Di era awal-awal kemerdekaan dalam kontestasi politik dengan PKI, KH. Fauzan menjadi salah satu motor penggerak perlawanan. NU yang menjadi partai politik untuk memisahkan diri dari Masyumi pada 3 Juli 1952, turut mewarnai gaya kepemimpinan KH. Fauzan sebagai Rais Syuriyah pertama NU Jepara.
Bersamaan waktu pada 1952, KH. Ahmad Fauzan diangkat menjadi Kepala Kementerian Agama sekaligus Ketua Partai NU di Jepara. Dua posisi inilah yang setidaknya menguji pemikiran sekaligus kebijakan KH. Fauzan tentang relasi agama dan negara. Ketentuan seseorang bisa menjadi pegawai Kementerian Agama atau secara khusus pegawai KUA adalah mampu membaca kitab kuning. Proses demikian tentu menjadi seleksi alam di tengah masyarakat Jepara, namun memberikan jaminan bahwa pemimpin-pemimpin yang ada di Jepara diharapkan adalah birokrat yang ahli agama.
Proses kaderisasi NU dilakukan secara simultan antara menjadi pegawai negeri dengan menjadi pengurus NU. Artinya, KH. Fauzan ingin menyadarkan agar tokoh-tokoh NU faham tentang tertib administrasi maupun manajemen organisasi yang mumpuni. Tak heran jika kemudian sejumlah tokoh NU diangkat sebagai kepala KUA, seperti KH. Nursyid (MWCNU Keling) yang kemudian menurunkan KH. Ubaidilah Noor, KH. Moh Faqih (MWCNU Kota) yang kemudian menurunkan KH. Ulil Absor, KH. Asymawi Mu’min (MWCNU Pecangaan) yang kemudian menurunkan KH. Mahfudz Asymawi, KH. Sholeh Irsyad (MWCNU Mayong) yang kemudian menurunkan KH. Yasin Sholeh, dan KH. Asro (MWCNU Kedung) yang kemudian menurunkan KH. Jasichun.
Wafatnya KH. Ahmad Fauzan yang kini sudah 52 tahun atau 17 Mei 1972 yang dikenal oleh khalayak pada Rabiul Akhir, menjadi pelajaran atas perjalanan dakwah NU saat ini. KH. Ahmad Fauzan, KH. Abdur Rasyid, maupun tokoh-tokoh NU generasi awal di Jepara sangat memperhatikan kapasitas seseorang diberikan amanah suatu jabatan atas dasar penguasaan keterampilan agama dan keorganisasian. Seolah membayangkan, seandainya duet antara KH. Ahmad Fauzan dan KH. Abdur Rasyid masih ada saat ini, bisa jadi NU akan menggelar konvensi politik. Jangan-jangan akan digelar tes kemampuan baca tulis Al-Qur’an sekaligus kemampuan membaca kitab kuning bagi para calon kepala daerah di Jepara. Lahum Alfatihah.
*Penulis:
Dr. Muh Khamdan (Pengurus LTN NU MWCNU Nalumsari Jepara, Doktor Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)