Dari kiri: Moderator, KH Aniq Muhammadun, Dr. Rumadi (Foto: nujepara.or.id/abd)
JEPARA – Aneh, ada yang tiba-tiba mencurigai istilah Islam Nusantara sejak dijadikan tema Muktamar NU ke 33 di Jombang tahun lalu. Padahal, kata Islam Nusantara sudah pernah jadi cover Jurnal Taswirul Afkar pada tahun 2008. Bahkan, jurusan Islam Nusantara sudah ada sejak 2012 di STAINU Jakarta.
Fakta tersebut diungkapkan oleh Dr. Rumadi, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam seminar Nasional bertema “Islam Nusantara: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Kehidupan Keagamaan dan Kebangsaan di Indonesia”, di Lantai II Gedung NU Jepara, Jl. Pemuda 51, di Jepara, Ahad (13/03/2016). Hadir ratusan peserta dari elemen NU Jepara 2015-2020 mulai ranting hingga cabang.
Fakta-fakta tersebut diungkapkan Rumadi untuk menjawab cibiran orang-orang yang tidak paham Islam Nusantara. “Sejak 2015, ada yang mengapresiasi Islam Nusantara sekaligus ada yang mencibir. Di medsos justru lebih keras lagi. Singkatan Jamaah Islam Nusantara atau JIN sudah masuk di pikiran banyak orang,” terang Rumadi.
Lebih lanjut Rumadi menjelaskan bahwa Islam Nusantara itu bukan wacana baru dan bukan madzhab baru. “Islam Nusantara itu hanya istilah yang digunakan untuk membingkai atau mem
framming sesuatu yang sudah dipikirkan dan dilakukan oleh ulama-ulama NU,” tegasnya.
Di luar, polemik Islam Nusantara meluas karena tafsir-tafsir dari orang-orang yang belum
move on dari masa lalu karena masih mempertanyakan kehidupan berbangsa dan bernegara berasas Pancasila. NU sudah selesai membahas itu.
“Walaupun jumlah umat Islam di Indonesia menurut survei tahun 2010 jumlahnya mencapai 87 persen tapi mampu menujukkan moderatismenya mau bersistem bukan Islam. Ini tidak terjadi tiba-tiba. NU juga tidak pernah mengungkit-ungkit Piagam Jakarta. NU sudah
move on,” papar Rumadi.
Islam Moderat yang akhirnya mampu menerima nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara itulah yang diperjuangkan dalam gagasan Islam Nusantara.
Hakikat Islam Hal senada juga diungkapkan oleh KH. Anik Muhammadun dari perspektif lain. Pengasuh pondok pesantren Manb’ul Ulum, Pati ini menjelaskan jika ingin memahami Islam Nusantara harus memahami hakikat Islam sesungguhnya.
“Memahami Islam Nusantara harus memahami hakikat Islam. Hakikat Islam ada di rukun Islam yang lima itu. Lima itu harus dipraktikkan, tidak bisa terpisah antara satu dengan lainnya. Istilahnya
jami’ul muthlaq mutqlaqul jami’,” jelas Kiai Aniq.
Adapun aplikasi lima hal pokok tadi yang berbeda-beda, itu bagian dari ijtihad yang tentu dipengaruhi oleh budaya. Hal itu bagian dari rahmat perbedaan yang tidak perlu dipermasalahkan. Namun, Kiai Aniq memberikan catatan bahwa perbedaan (ikhtilaf) yang membawa rahmat itu yang berangkat dari ijitihad para imam madzhab dan tidak didasari hawa nafsu. Kalau tidak demikian, maka perbedaan justru menjadi fitnah.
Baca juga:
Islam Nusantara adalah Islam Kita Sendiri Gus Aniq memberikan contoh
satrul aurat (menutupi aurat). “Cara menutup aurat antara satu dengan yang lain berbeda-beda. Di Arab ada gamis, di Jawa pakai sarung. Itu pengaruh budaya. Bentuk dan polanya silakan saja, yang penting prinsipnya satu:
satrul aurat,” tandas Kiai Aniq.
Terkait hal ini, Rumadi juga menampik tuduhan jika nantinya pengamal Islam Nusantara akan mengganti bahasa shalat dengan bahasa lokal. “Tidak mungkin shalat pakai bahasa lokal. Tapi kalau Qur’an dibaca dengan langgam Jawa bisa, asal tajwid dan makhrajnya dibaca dengan benar,” tegasnya.
Manna Was Salwa Islam Nusantara dalam pandangan Kiai Aniq adalah konsep hakikat Islam yang diaplikasikan dalam kehidupan beragama di Indonesia. Polanya jelas beda sesuai pengaruh budaya. Tafsir Mbah Sholeh Darat yang menggunakan bahas lokal Jawa untuk menjelaskan ayat demi ayat itu salah satu bentuk aplikasi yang baik agar isi Al-Qur’an mudah dipahami masyarakat awam waktu itu. Ini contoh praktik Islam Nusantara dari ulama.
“Ketika menafsirkan ayat
Manna was Salwa, Kiai Sholeh Darat menerjemahkan dengan
sego gorong panggang ayam. Saya tidak tahu sego gorong itu apa. Mungkin itu adalah makanan favorit orang Jawa waktu itu, sebagaimana kata
manna was salwa bagi masyarakat Arab ketika Al-Qur’an diturunkan,” jelas Kiai Aniq.
Jika menilik artinya saja, makna yang diberikan Mbah Sholeh Darat sangat jauh dari akar katanya. “Manna” artinya karunia, “Salwa” bisa diartikan penawar hati (QS. al-Baqarah: 57). Di sini, Mbah Sholeh Darat tidak bisa disebut menyimpang.
“Kita harus bisa menerima perbedaan selama perbedaan itu benar-benar berangkat dari dari
qo’idah mu’tabaroh sebagaimana dikatakan oleh Imam As-Suyuthi,” tambah Kiai Aniq.
Kalangan santri tentu tidak akan kaget dengan istilah Islam Nusantara karena mereka paham tentang majaz bilhadzfi, yakni susunan kalimat yang sengaja dibuang unsur pelengkapnya untuk pengucapan lebih efektif.
Islam Nusantara menurut Kiai Aniq Muhammadun serupa dengan kalimat
Wa Ja’a Robukka (telah datang Tuhanmu), aslinya
Wa Ja’a Amru Rabbika (telah datang perintah Tuhanmu). Kata “
Amru” (perintah) dibuang untuk efektivitas. Sebagaimana Islam Nusantara, kata “di” di tengah dua kalimat “Islam” dan “Nusantara” dibuang (
hadzfu) karena efektivitas. Aslinya: Islam di Nusantara.
Inilah yang menurut Rumadi disalahpahami oleh oknum-oknum yang kontra Islam Nusantara hingga menyebut sebagai wajah baru Jaringan Islam Liberal (JIL) yang tidak laku.
“Apa yang kita pikirkan, ketika ditafsiri orang lain, kita tidak bisa mengendalikan,” tutur Rumadi. (abd)