Oleh: Umi Nadhira*
nujepara.or.id – Kyai Pejuang Perintis Pendidikan di Blingoh, demikian judul biografi kyai lokal yang ditulis Salwa Anggia Putri. Siswi kelas IX C Unggulan dari MTs Islamiyah Blingoh itu meraih juara pertama dalam Pekan Olahraga dan Seni Madrasah (Porsema) ke-12 tingkat kabupaten Jepara pada peringatan hari pahlawan tahun kemarin.
Prestasi inipun mengantarkan Salwa mewakili Jepara untuk berkontestasi di tingkat Provinsi Jawa Tengah pada Porsema di Semarang, Februari tahun ini.
KH. Masyhuri lahir pada 6 Mei 1925, dari pasangan Haji Masyhadi dan Hajah Siti Aminah. Lahir di sebuah desa yang memiliki keberagaman agama dan kepercayaan di balik gunung Muria, yaitu Desa Blingoh. Desa ini juga dipercaya oleh mayoritas masyarakat sebagai wilayah di mana Kerajaan Kalingga itu berada, meski terlalu sulit menemukan sisa-sisa peninggalan pada masa kini.
Tak heran jika nama-nama dukuh di Desa Blingoh memiliki kedekatan dengan istilah kerajaan. Dukuh Simo misalnya, menunjukkan nama besar sang Ratu Sima yang terkenal sangat adil di Kalingga pada saat itu.
Dukuh Krajan dianggap sebagai bekas peninggalan keberadaan puri atau astana pemerintahan sebuah kerajaan. Termasuk Dukuh Senggrong yang dikaitkan dengan auman harimau Muria penunggu kawasan, yang menjadi salah satu pusat para pandita umat Budha sampai sekarang.
Di masa penjajahan Belanda, wilayah inipun menjadi bagian dari strategi memutus komunikasi antara komunitas muslim di Pati dengan muslim di Jepara. Strategi tersebut dilakukan dengan menjadikan pusat seminari Kristen oleh kelompok Zending pengkabaran Injil di tanah Jawa.
Pieter Jansz misalnya, seorang misionaris Kristen membangun gereja dan rumah sakit khusus orang-orang terbuang karena kusta dan lepra, di Desa Banyumanis yang berbatasan dengan Blingoh, pada 1852. Kondisi sosial geografis tersebut setidaknya memengaruhi orangtua Masyhuri kecil melakukan kaderisasi, dengan mengirim putranya yang masih belia ke Kajen, Pati.
Masyhuri menempuh status sebagai santri di Pesantren Kulon Banon, yang diasuh oleh KH. Nawawi. Kulon Banon adalah sebuah istilah yang menunjukkan posisi di sebelah barat dari makam Syeikh Mutamakin. Kyai Nawawi sebagai guru spiritual Masyhuri kecil, adalah kakak dari KH. Abdussalam atau Mbah Salam.
Selain dua saudara itu, bersama saudara lain yang bernama Kyai Muhtar, didirikan sebuah madrasah yang disebut sekolah arab pada 1912. Madrasah Arab kemudian berubah nama menjadi Matholi’ul Falah setelah kepemimpinan berpindah pada putra Mbah Salam yang bernama KH. Mahfudz Salam, pada 1922-1944.
Di madrasah Matholek pada kepemimpinan ayahanda Kyai Sahal Mahfudz, Masyhuri kecil menempuh pendidikan. Pada 1939, Masyhuri muda sudah dikenal menguasai sejumlah ilmu alat dan hafalan banyak kitab. Sebagaimana standar yang ditetapkan pada madrasah Matholek, seseorang dianggap tuntas jika sudah hafal kitab Arba’in Nawawi, Tashilut Thuqot, Alfiyah ibnu Malik, Jauharul Maknun, Sullamul Munawroq, Tuhfatut Tulab, Bulughul Marom, dan Tafsir Jalalain.
Standar ketat demikian menjadikan santri-santri lulusan Matholek dianggap memiliki penguasaan ilmu secara multidisiplin, baik bidang Qur’an, Hadis, Fiqih, Tauhid, Tasawuf, dan cabang ilmu lainnya.
Situasi perlawanan terhadap Belanda dan Jepang membangkitkan semangat juang Masyhuri muda. Dia bergabung sebagai bagian dari tentara Hizbullah pimpinan KH. Mahfudz Salam, guru sekaligus pimpinan di madrasah Matholek. Penyergapan dan perampasan senjata Belanda di sepanjang wilayah utara Muria oleh para laskar santri, membuat agresi militer Belanda menargetkan penguasaan terhadap Pati.
Salah satu aksi Hizbullah yang diikuti Masyhuri muda adalah pembakaran Rumah Sakit Kristen (RSK) Tayu, sekitar 1942. Aksi tersebut dilakukan karena menjadi simbol untuk menjatuhkan mental dan dominansi Belanda. RSK Tayu menjadi titik awal peringatan bagi Belanda karena menjadi tempat komando militer dan misi Zending misionaris Kristen.
Perang gerilya dilakukan para santri dan kyai, termasuk strategi kamuflase berbasis intelijen santri. Strategi ini dilakukan melalui jaringan murid-murid Matholek sebagaimana diperankan oleh Masyhuri.
Tahun duka menimpa laskar Hizbullah yang berbasis di gunung Muria, pada 1944. Kyai Mahfudz Salam yang ahli Qur’an dan memimpin Matholek serta Hizbullah, ditangkap Belanda dan dieksekusi mati di Benteng Willem Ambarawa. Strategi Belanda menyandera tiga ulama senior dari Kajen, yaitu Kyai Abdussalam, Kyai Nawawi, dan Kyai Muhtar, menjadikan Kyai Mahfudz menyerahkan diri sebagai pengganti tawanan.
Setelah masa kemerdekaan, Kyai Masyhuri melanjutkan tradisi para santri dan kyai dengan merintis berdirinya lembaga pendidikan di Blingoh. Pada 1946, berdiri madrasah yang dinamai Nahdlatusy Syubban yang berarti Kebangkitan Para Pemuda. Nama tersebut sesuai dengan usia Kyai Masyhuri yang baru 21 tahun, bersama dua sahabat lainnya yang bernama Kyai Hanafi.
Sebagaimana meniru berdirinya Matholek yang bermuara pada tiga kyai utama, begitu pula Masyhuri merintis madrasah. Kini, lembaga pendidikan yang didirikannya itu sudah mengelola sekolah dari jenjang Kelompok Bermain (KB), TK, TPQ, MI, MTs, dan MA.
Kecintaannya pada pendidikan dan Kajen, mengharuskan bagi keturunannya menempuh laku yang sama. Putra putrinya, menantu, sampai pada cucu-cucunya setidaknya menempuh pendidikan di Matholek dan menjadi santri di Kajen, Pati. Eksistensi Nahdlatusy Syubban sebagai lembaga dengan lebih dari seribu siswa, kini menjadi salah satu indikator perkembangan pendidikan Islam di Jepara bagian utara gunung Muria.
KH. Masyhuri wafat dengan mengakhiri pengabdian hidup sekaligus status sebagai “sang guru” pada 27 Desember 2009. Hampir bersamaan dengan tokoh yang dicintainya dari cucu KH. Hasyim Asy’ari yang pernah menjadi presiden, Gus Dur, yang wafat pada 30 Desember 2009. Meninggalkan sebelas putra dan putri, yang menjadi generasi kedua untuk melanjutkan pengembangan lembaga, terutama dengan takhassus Tahfidz Qur’an.
*Alumni TK-MI-MTs Nahdlatusy Syubban Blingoh, dan Alumni MA Matholi’ul Falah Kajen, Pati.