Oleh : Mella Umi Khumaeroh, siswi MA NU Al-Mustaqim Bugel Kedung Jepara
KH.Muhsin ali lahir di Jepara pada tanggal 12 Juni 1942 dari pasangan Nyai Hj. Muslimah dan KH. Ali Mardam. Ketika berumur 4 bulan dalam kandungan, bapaknya wafat. KH.Muhsin Ali adalah putra terakhir dari 6 bersaudara, secara berurutan mereka adalah, Hj.Ni’mah, Hj. Fadhlah, H. Abdul Jamil, H. Abdul Hamid, H. Masmu’i dan KH Muhsin Ali. Beliau menikah dengan Nyai Hj Mas’adah (Almh) yang dikaruniai 5 anak yaitu: Hj. Elok Faiqoh, Hj. Luluk Zahiroh, H. Sholahuddin, Habiburrahman, dan Hj. Nor Hidayah. Setelah Nyai Hj. Mas’adah wafat, beliau menikan dengan Nyai Hj. Marfu’atin.[1]
Pendidikan pertama beliau dimulai dari lingkungan masyarakat sekitar. Beliau mengaji dan berguru kepada Kiai Mawardi yang merupakan tokoh pendiri Mu’allimin yang sekarang menjadi Yayasan Matholi’ul Huda Bugel Kedung Jepara. Setelah mengaji beliau membantu ibunya bertani disawah. Disela sela kesibukannya membantu sang ibu bertani beliau berfikir untuk meneruskan pendidikannya di pesantren.” Lho saya kok cuma hidup disawah dan tidak mengaji di pesantren, besok pada waktu yang akan datang saya akan menjadi apa?.” Pertanyaan pertanyaan yang menggugah semangat beliau untuk mondok.[2]
Perjalanan Keilmuan
Pada suatu hari, beliau berjalan disekitar kantor kecamatan Kedung, tanpa sengaja beliau melihat sebuah truck bak terbuka yang sopirnya sedang marung didepan kantor kecamatan Kedung. Beliau mengetahui truck tersebut akan pergi ke Pati dari letter pelat truck tersebut. Kemudian, beliau teringat akan keinginannya untuk mondok. Sehingga, beliau memberanikan diri untuk menumpangi truck tersebut. Keesokan paginya, beliau sampai di Kajen Pati. Kemudian beliau sowan kepada mbah KH. Abdullah Zain Salam. KH.Muhsin Ali sendiri sebetulnya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan mbah Dullah. Singkat cerita akhirnya beliau diterima menjadi santri dalem mbah Dullah dan bersekolah di Matholi’ul Falah Kajen. Setelah itu mbah Dullah mengirimkan surat kepada ibu Nyai Hj. Muslimah (ibu dari KH.Muhsin Ali) memberitahukan bahwa Muhsin sekarang mondok di Kajen.
Setelah beberapa tahun mondok di Kajen, beliau masih haus dengan ilmu pengetahuan beliau melanjutkan perjalanan mesantren ke Pondowan Tayu Pati dan mondok disebuah pesantren yang diasuh oleh KH.Muhammadun. Beliau memilih untuk mondok di Pondowan karena mbah Madun adalah sosok kiai yang mempunyai kharisma dan ilmu keagamaan yang tinggi. Beliau adalah seorang yang ahli dalam ilmu Nahwu sehingga Sayid Muhammad Alawi al- Makki memberikan gelar ” Sibawaih Jawa” kepada beliau. Selain itu beliau adalah kiai jadhug yang ahli riyadhah, tirakat, puasa, dan ahli suwuk.
Di Pondowan, KH.Muhsin Ali mengaji berbagai macam kitab, antara lain: Alfiyyah, Nadhom Maqshud, Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Tafsir Jalalyn, Ihya’ Ulumuddin , Jawahirul Maknun dan lain sebagainya. Beliau termasuk salah satu santri kinasih mbah Muhammadun karena beliau adalah santri yang paling kuat didalam hal tirakat yang diijazahkan mbah Madun. Bahkan putra mbah Madun yang bernama Gus Badruddin Muhammadun pernah berkata kepada beliau “ ilmune bapak ingkang bongso jerohan di we’ke sampean kabeh.” ( ilmu bapak yang sifatnya batin diberikan kepada kamu semua). Memang salah satu putra mbah Madun yang paling akrab dengan mbah muhsin adalah Gus Badruddin Muhammadun. Bahkan ketika mbah Muhsin sudah boyong dari pesantran, hampir setiap bulan Gus Bad, begitu sapaan akrabnya sering bertandang silaturrahim ke rumah mbah Muhsin.
Mbah Muhsin adalah salah seorang alumni didikan mbah Madun yang ngelotok[3] Alfiyyah dan cinta terhadap ilmu Nahwu. Ketika saya mengaji dengan mbah Muhsin kitab Tafsir Jalalyn , disela – sela membaca kitab, beliau sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan Nahwiyyah dan Shorfiyyah kepada para santri. karena terpengaruh dengan pola pendidikan yang diberlakukan oleh mbah Madun ketika beliau mondok disana.
Setelah jengkar[4] dari pondowan mbah Muhsin mengamalkan ilmunya kepada masyarakat, salah satunya adalah ilmu suwuk. Dulu ketika sedang berjayannya PERSIJAP (Persatuan Sepak Bola Jepara), mbah Muhsin termasuk tokoh ulama’ yang memberikan suwuk kepada para pemain PERSIJAP sebelum mereka bertanding di lapangan hijau. Sering kali beliau diundang menonton sepak bola di Stadiun Kamal Junidi (Stadiun lama).
Beliaulah putra KH. Ali Mardam yang meneruskan pesantren Al mustaqim yang berlokasi di Jalan Pasar Lama Bugel Kedung Jepara. Pesantren yang dirintis oleh mbah Muhsin Alhamdulillah berkembang pesat yang semula hanya pesantren yang non formal, pada tahun 2014 mbah Muhsin berijtihad dengan mendirikan Yayasan yang diberi nama “ Yayasan Muhsin Ali.” Lewat Yayasan Muhsin Ali ini kemudian beliau membuka Madrasah Tsanawiyyah yang mewajibkan kepada siswa siswinya untuk mondok di pesantren Al-mustaqim. Pada tahun kelima ini, mengalami kemajuan yang pesat dengan jumlah siswa-siswi 200-an. Mulai tahun 2018 Yayasan Muhsin Ali membuka Madrasah Aliyah sebagai konsekwensi mewadahi anak MTs yang masih mempunyai semangat belajar dibawah Yayasan Muhsin Ali. Sekarang jumlah santri putra putri Al-mustaqim berkisar 250-an santri mukim.
Kiprah di NU
Karir KH.Muhsin Ali di NU dimulai dari GP Ansor tingkat desa, kemudian meningkat menjadi ketua MWC NU Kecamatan Kedung serta ditingkat Kabupaten menjadi wakil Syuriyyah PCNU Jepara. Disamping di jajaran NU, kiprah lain beliau adalah sebagai pendiri dan membidani kelahiran KBIH NU (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji|) NU.
Bersama dengan H. Zuhud, mbah Muhsin menjadi ketua KBIH NU selama tiga periode. Dimana pada saat itu adalah masa masa awal yang menentukan dari kehidupan KBIH NU. KBIH NU begitu penting dalan kontribusinya memberikan suntikan dana untuk kegiatan kegiatan dan program-program NU. Jum’at malam Sabtu, tepatnya tanggal 11 Maret 2016 di Rumah Sakit Sultan Hadirin, mbah Muhsin dipanggil oleh-NYA, dalam usia 73 tahun. Tunai sudah tugas keulamaan dan keilmuan beliau. Dua putranya sekarang yang melanjutkan estafet kepemimpinan di Yayasan Muhsin Ali dan pesantren Al-mustaqim, KH.Sholahuddin Muhsin dan K.Habiburrahman Muhsin Al-Hafidz dan dibantu oleh putra menantu yang lain. (*)
[1] Gelora Matholi’ul Huda EDISI XXVII TH. 2016. Hlm. 64
[2] Jamal Ma’mur Asmani, KH. Muhammadun Pondowan Sibawaih Jawa yang Sufi, (Yogyakarta:Global Press, 2019), Hlm. 115
[3]Paham diluar kepala.
[4] Boyong atau keluar