Oleh: Bachrudin Ahmad
nujepara.or.id- Kitab Sirojut Tholibin merupakan salah satu kitab karya Ulama Nusantara yang ditulis oleh Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Jampes Kediri. Kitab ini merupakan Syarah dari Minhajul ‘Abidin karya Imam Al-Ghazali. Ada kisah menarik di balik proses penulisan Kitab Sirojut Tholibin.
Syekh Muhammad Ihsan bin Muhammad Dahlan al-Jampesi al-Kadiri al-Jawi asy-Syafi’I atau biasa dikenal dengan Syekh Ihsan al-Jampesi adalah putra kedua dari pasangan pendiri Pondok Pesantren Jampes (sekarang berganti nama menjadi Pondok Pesantren Al-Ihsan), KH. Dahlan bin Sholeh dengan Nyai Artimah. Adiknya bernama Marzuqi yang kelak menjadi pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo.
Saat berusia 5 tahun, kedua orang tua beliau bercerai, ibunya lalu kembali ke desanya di Banjarmelati, Kediri. Beliau lahir sekitar tahun 1901 di Jampes, Kediri, Jawa Timur.
Kakek Syekh Ihsan al-Jampesi, Kiai Sholeh atau KH. Sholeh Banjamelati adalah seorang ulama asal Bogor, Jawa Barat. Dari silsilah nasab sang kakek inilah, konon masih keturunan dari seorang sultan di daerah Kuningan (Jawa Barat) yang berjalur keturunan dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon.
Sedangkan, ibunya adalah anak dari seorang tokoh ulama di Pacitan yang masih keturunan Panembahan Senapati yang berjuluk Sultan Sutawijaya, pendiri Kerajaan Mataram pada akhir abad ke-16.
Popularitas kitab Sirojut Tholibin ini sampai di telinga penguasa Mesir ketika itu, Raja Faruq. Pada 1934 sang raja mengirim utusan ke Dusun Jampes untuk menyampaikan keinginannya agar KH.Ihsan bersedia diperbantukan mengajar di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Namun, permintaan tersebut urung diterima lantaran kecintaan sang kiai kepada tanah kelahirannya.
Beliau ingin mengabdikan diri kepada warga desanya melalui pendidikan. Dedikasinya memajukan pendidikan Islam di wilayahnya itu tak lagi diragukan. Ada kisah menarik di saat Kiai Ihsan menyowankan kitab Siraj Al-Tholibin tersebut kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Kisah ini kami dapat dari Kiai Said Ridwan di saat belajar Ibnu Aqil di Aliyah Tebuireng.
Suatu hari, KH Ihsan Jampes memohon kepada Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari untuk mengoreksi kitab yang baru ditulisnya. Kiai Ihsan melepaskan sandalnya di pintu gerbang pesantren Tebuireng sebagai tata krama kepada Hadratussyaikh.
Ketika Hadratussyaikh menemuinya, Kiai Ihsan menyampaikan permohonannya untuk mengoreksi dan meminta sambutan atas kitab tersebut. Kitabnya yang masih tertulis tangan dan berupa lembaran diajukan kepada Hadratussyaikh.
Dengan sengaja, Hadratussyaikh mengambil beberapa lembar di tengah tanpa sepengetahuan Kiai Ihsan, dengan tujuan untuk menguji. Di hadapan Kiai Ihsan, Hadratussyaikh membuka lembar demi selembar. Akhirnya, Hadratussyaikh menunjukkan halaman yang hilang itu. Seketika itu, Hadratussyaikh meminta Kiai Ihsan untuk menuliskan kembali beberapa halaman yang hilang itu di hadapan Hadratussyaikh.
Kiai Ihsan pun menulisnya dengan lancar, seolah-olah hapal diluar kepala kitab yang ditulisnya. Setelah selesai, Hadratussyaikh pun mengeluarkan lembaran yang disembunyikan dan mengoreksi hasil tulisan Kiai Ihsan.
Subhanallah, ternyata kedua tulisan ini sama persis. Akhirnya, Hadratussyaikh mendoakan keberkahan untuk kitab Sirajut Al-Thalibin. Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari pun takjub atas kecerdasan Kiai Ihsan. Hingga beliau menjuluki Kiai Ihsan dalam pengantarnya dengan: العالم العلامة، الحبر البحر الفهامة، الأديب الألمعي، واللبيب اللوذعي الشيخ (red)
(Artikel ini dikutip dari akun FB Bachrudin Ahmad)