Menu

Mode Gelap
NU Peduli Bersama Kemenag Jepara Salurkan Bantuan Bagi Warga Dorang Belajar Dari Geomorfologi “Banjir” Eks Selat Muria, Mau Diapakan? Mbah Dimyathi: Jadi Wali Itu Mudah, Ngaji Lebih Sulit!! Ngaji Burdah syarah Mbah Sholeh Darat  ( 2 ) Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat ( 2 )

Kyaiku · 21 Feb 2023 08:21 WIB ·

Kyai Ahmad Sanwasi dan Jejaring Pasukan Diponegoro di Nalumsari


 <strong>Kyai Ahmad Sanwasi dan Jejaring Pasukan Diponegoro di Nalumsari</strong> Perbesar

Oleh : Dr. Muh Khamdan
Doktor Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Kader Muda NU Nalumsari.

nujepara.or.id – Peperangan Jawa yang dipimpin Diponegoro melawan Belanda sejak 1825, berakhir dengan penangkapan sang Pangeran. Penangkapan terjadi di Magelang, melalui siasat Halal bi Halal sehari setelah lebaran atau bertepatan pada 9 Pebruari 1830. Peristiwa tragis itu membuat sejumlah panglima laskar santri dalam jejaring tarekat kocar kacir.

Perlawanan santri dan ulama tidak lagi terpusat di wilayah Jawa bagian Selatan, sebagaimana dipimpin Diponegoro langsung. Jejaring laskar itu menyebar menjadi kumpulan-kumpulan kecil dan bermetamorfosa sebagai komunitas muslim atau pesantren. Sebagian panglima pasukan Diponegoro yang kemudian menyebar ke arah Jawa bagian Utara, dipimpin oleh Kyai Umar dan sahabatnya, Kyai Ahmad Sanwasi.

Kyai Umar semula lebih dikenal berpusat di kawasan Semarang, sehingga mendapat panggilan Umar Assamarani. Meski terkenal dari Semarang, sesungguhnya terlahir dari wilayah Kedung Jumbleng di Ngroto, Mayong. Sebaliknya, Kyai Ahmad Sanwasi adalah kerabat dari Kasunanan Surakarta yang kemudian turut menyingkir ke kampung halaman sahabatnya itu.

Kyai Umar dan Kyai Sanwasi beserta basis pasukannya, membangun sisa-sisa kekuatan di pelosok perbukitan Mayong. Ada identitas khusus yang umum dibuat oleh para pasukan Diponegoro sebagai simbol atau tanda pengenal, yaitu adanya tanaman sawo kecik, kemuning, dan kepel.

Para pengikut Diponegoro yang membangun komunitas baru di utara Mayong, pun melakukan hal yang sama. Pertama, di depan rumah ditanam secara berjajar tujuh atau bilangan genap tertentu buah Sawo kecik. Ini merupakan sandi “sarwo becik” yang kemudian digunakan untuk komunikasi dan menyampaikan pesan tertentu dalam gerakan perlawanan.

Setiap ada pesan konsolidasi pasukan maupun perkembangan perjuangan, penyampaian itu disampaikan di sekelililing pohon Sawo. Oleh karena itu, penanaman pohon Sawo dibuat sejara berjajar dan merapat untuk mengingatkan bahwa semangat juang tetap harus siap merapatkan barisan kapanpun dan di manapun.

Kedua, di sisi kanan dan kiri rumah ditanam pohon Kemuning. Pohon dengan bunga putih yang semerbak wangi itu dijadikan simbol perjuangan suci harus dilanjutkan anak cucu dan generasi berikutnya. Pada situasi tersebut, sering terjadi perjodohan dari keturunan sisa pasukan Diponegoro dengan melihat keberadaan bunga Kemuning di sisi kanan dan kiri rumah seseorang.

Perjodohan pun terjadi pada diri Kyai Ahmad Sanwasi dengan putri Kyai Umar Assamarani, bernama Nyai Darijah. Perjodohan ini tentu semakin menguatkan barisan dakwah dan perjuangan anti-kolonialisme pasca 1830.

Salah satu anak Kyai Umar yang lain adalah Kyai Sholeh Darat yang dimakamkan di pemakaman Bergota Semarang,  dan merupakan salah satu guru dari KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan juga RA. Kartini.

Sisa-sisa basis pasukan Diponegoro yang hijrah ke Mayong, merupakan jejaring intel santri. Tanda intelijen ketiga selain sawo kecik dan kemuning adalah tanaman kepel. Tanaman ini sering ditempatkan di belakang rumah, dan memiliki khasiat menghilangkan bau badan dan menetralisir aroma air kencing.

Bentuk buah yang menempel serta bergerombol di sekujur batang pohon sangat berbeda dengan jenis buah lainnya. Simbol ini dijadikan tanda bahwa perjuangan harus adaptif dan dalam kesatuan atau keberjamaahan.

Banyaknya pohon kepel tersebut, setidaknya menjadi sebab wilayah Utara dari tempat tinggal Kyai Sanwasi disebut dengan dukuh Kepel. Kini, wilayah itu masuk bagian dari Desa Buaran, Mayong. Perjuangan dakwah Kyai Sanwasi dilakukan melalui keberadaan masjid di dukuh Penggung, yang kini masuk wilayah Desa Gemiring Lor, Kecamatan Nalumsari.

Penggung seringkali dikaitkan pada dua hal. Pertama, wilayah yang dikuasai seorang Tumenggung sebagai kepala adat atau kepala komunitas militer dalam sistem kerajaan. Kedua, istilah yang dikaitkan dengan posisi wilayah yang tinggi atau milik orang dalam strata tinggi, sehingga seolah menjadi panggung untuk mengontrol daerah-daerah lain yang lebih rendah.

Termasuk juga dianggap sebagai wilayah yang dulunya penuh dengan tanaman penggung, sejenis sayuran yang dapat untuk lalapan atau bumbu dapur.

Di depan masjid yang berada di tepi sungai di atas bebukitan di Penggung itulah, Kyai Sanwasi tinggal bersama keluarga. Pernikahan dengan Nyai Darijah menurunkan pewaris tiga keturunan, yaitu Kyai Abdur Rosul, Nyai Murthosiyah, dan Nyai Mun’imah.

Selain dengan Nyai Darijah, Kyai Sanwasi menikah dengan putri dari Bangsri dan Surodadi. Proses pernikahan ini mempengaruhi akar genealogis keturunan menyebar dari ujung Utara sampai ujung Selatan Jepara.

Kyai Sanwasi juga mempererat hubungan kekeluargaan dengan keturunan Syeikh Muhammad Arif Sendangsari yang tinggal di Banjaran, Bangsri. Syeikh Arif atau dikenal dengan Mbah Arif merupakan ulama semasa Diponegoro yang berasal dari Hadramaut Yaman dengan marga farm al-Adany.

Putra Kyai Sanwasi yang bernama Abdur Rosul dinikahkan dengan Nyai Thohiroh binti Kyai Harun, cucu dari Mbah Arif. Dari garis keturunan inilah yang kemudian memunculkan generasi pelanjut perjuangan. KH. Ahmad Fauzan sebagai cucu yang lahir pada 1905 misalnya, kemudian menjadi pendiri serta ketua NU pertama di Jepara.

Nama Ahmad Fauzan pun diabadikan sebagai nama sebuah jalan di samping Timur gedung DPRD Jepara sampai arah Pengkol. Dari keturunan cucu ini, berlanjut pada cicit seperti KH. Chumaidur Rohman yang pernah menjadi ketua umum Dewan Pimpinan Harian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jepara sampai periode 2014, dan Noor Rohman Fauzan sebagai Mustasyar PCNU Jepara periode 2021-2026 sekarang ini.

Sisa-sisa intelijen santri pasukan Diponegoro yang berada di wilayah Nalumsari dan Mayong, setidaknya menyadarkan pentingnya simbol dan identitas perjuangan. Selain meninggalkan jejak sawo kecik, bunga kemuning, dan pohon kepel, peninggalan yang tidak dapat dilupakan adalah keberadaan masjid dan madrasah. Kyai Ahmad Sanwasi dimakamkan di belakang Masjid di Penggung, sekomplek dengan KH. Hasbullah dan KH. Abdullah Hadziq yang menjadi pengasuh Pesantren Balekambang.

Kyai Sanwasi telah memberikan teladan terbaik tentang perjuangan. Baik perjuangan melawan kolonialisme melalui aksi militer, pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan, dan tentunya pelestarian lingkungan dengan cinta menanam pohon di sekitar tempat tinggal. Perjuangan itu mesti dapat dilanjutkan oleh keturunannya maupun masyarakat muslim keseluruhan, guna menjaga dakwah Islam annahdliyah tetap berjalan sampai kapanpun.

Artikel ini telah dibaca 901 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Mbah Dimyathi: Jadi Wali Itu Mudah, Ngaji Lebih Sulit!!

16 Maret 2024 - 23:52 WIB

Mulai dari Kyai, TNI dan Polri Hadiri Haul Gus Dur di “Majelis Kopi“ Gus Nasrul

24 Januari 2024 - 15:14 WIB

Haul Sultan Hadlirin Mantingan ke-490, KH. Marzuki Mustamar Ingatkan Berkah Jaga NKRI

2 Desember 2023 - 00:42 WIB

FATAL! Sekaliber Gus Muwaffiq Kok Mem”Ba’alawi”kan Sanad Keilmuan Mbah KH. Hasyim Asyari (?)

10 November 2023 - 09:14 WIB

Politik Kebudayaan Santri ala KH. Ahmad Fauzan

23 Oktober 2023 - 04:15 WIB

Kisah Aktivis NU yang Ditemui Mbah Hasyim Asy’ari

27 Juli 2023 - 08:32 WIB

Trending di Headline