Menu

Mode Gelap
PC Muslimat NU Jepara Gelar Diklat Paralegal, Bentuk Pos Pengaduan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Fatayat Jepara Kota Lantik Kepengurusan 11 Ranting Baru Turba ke Ranting, MWCNU Nalumsari Targetkan Kinerja Lazisnu Lima Tahun Terakhir Tidak Produksi, Teater Tuman Bangkit melalui Winara Kisah Syekh Ihsan Al-Jampesi, Pengarang Kitab Sirojut Tholibin yang Menolak Tawaran Raja Mesir untuk Mengajar di Al-Azhar

Islam Nusantara · 10 Agu 2022 06:23 WIB ·

Mbah Majid Menganti : Gerbong Kereta Yang Ditunggu Dalam Pertempuran 10 November Di Surabaya


 Mbah Majid Menganti : Gerbong Kereta Yang Ditunggu Dalam Pertempuran 10 November Di Surabaya Perbesar

Oleh : Murtadho Hadi (Pengurus LTN NU Jepara)

nujepara.or.id – Moment Kemerdekaan adalah momentum mengenang Sosok Historis! Dan kali ini, kita mencoba mengenal lebih jauh Sosok Ulama yang juga pejuang dalam lasykar milisi Pro-Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Beliau adalah KH. Abdul Majid Jepara (apalagi saat ini bertepatan dengan 12 Muharram adalah peringatan Haul beliau).

Tak banyak yang tahu memang, selain beliau adalah “Muassis” (pendiri masjid jami’ di kampung Menganti) tapi beliau adalah sejawat Mbah Hasyim Asy’ari ketika sama-sama nyantri di Makkah (berguru kepada para Masyayikh Jawa, diantaranya: Syaikh Nawawi Bin Umar Al-Jawi, Syaikh Mahfuzh At-Turmusy, Syaikh Abdul Karim Al-Bantani, Syaikh Ahmad Nahrowi Muhtarom Al-Jawi, ..)

Masjid peninggalan Mbah Majid Menganti Jepara

Dan, meski tak tertulis di buku-buku sejarah, peran Mbah KH. Abdul Majid (Menganti-Jepara) layak untuk dikenang di sini. Setidaknya kita pun menjadi tahu juga, bahwa gaung “Resolusi Jihad” (yang difatwakan Hadhrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari) didengar kawan karibnya, sampai ke wilayah pesisir Utara pulau Jawa.

Meski anjuran wajib berperang dalam resolusi jihad itu semula adalah radius 94 km (masafah diperbolehkannya qoshor/menjama’ sholat) yaitu kawasan dan wilayah di seputar Surabaya: meliputi Jombang-Nganjuk-Kediri-Tulung Agung-Trenggalek-Blitar-Malang-Pasuruan-Gresik-Lamongan, .. dan wilayah dalam jalur lingkar Surabaya radius 94 km. Tapi demi mendengar Resolusi Jihad Kyai Majid pun ikut menanggul senjata. Dan nyatanya perang juga pecah di mana-mana termasuk juga di palagan Ambarawa.

Tidak tanggung-tanggung, Mbah Abdul Majid yang ketika itu sudah “syuyukh” (“sepuh” dan Mursyid Thoriqoh) dengan jalan yang ditegapkan berangkat dari Jepara bersama Hasanuddin (putranya) dan bahkan cucunya: Busyro yang masih belia ketika itu diajak ikut berperang di barisan lasykar pro-Kemerdekaan.

Seperti sudah janjian, Laskar Mbah Abdul Majid Jepara ini pun akhirnya bertemu dan berangkat satu gerbong bersama laskar Mbah Abbas (Buntet, Cirebon).

Halnya di Surabaya sendiri, pasca pecah pertempuran 3 hari berturut-turut (yaitu tangal 26-27-28 Oktober), dan ketika memasuki bulan November di seantero kota Surabaya, suasana tambah panas dan mencekam. Perang hampir pecah di awal November. Tapi Mbah Hasyim memberi isyarat supaya menunda pertempuran. Konon, banyak kyai-kyai yang berkisah, perang ditunda karena menunggu Lasykar milisi dari Jepara dan Cirebon: yang hizib-hizibnya terkenal bisa merontokkan pesawat-pesawat tempur Inggris.

Dan sayup-sayup, para sesepuh di kampung Menganti pun masih sering berkisah, Mbah Majid berangkat ke Surabaya berbekal dua karung (yang masing-masing berisi “garam” dan “kacang hijau”) : garam disebar menjadi rawa-rawa dan lautan, sedang kacang hijau disebar menjadi “mesiu” dan bom. Begitulah kisah orang-orang kampung dalam menshifati pertempuran Mbah Majid di Surabaya.

Sosok Kyai yang rumahnya (menurut kesaksian para tetangga) ditunggui dua harimau putih ini, berbulan-bulan membangun distrik pertahanan di Kampung Karah (sekitar 2 km) dari Jembatan Merah (Surabaya). Di sekitar distrik itu akhirnya beliau mendirikan masjid “Hasanuddin” (diberi nama dengan nama putra beliau) yang pada akhirnya menjadi satu-satunya bukti sejarah yang terlacak dari jejak Mbah Majid di Surabaya.

Tak berselang Mbah Majid pun pulang ke Jepara (kembali berdakwah dan mengajar). Tak lebih 10 tahun menikmati Indonesia Merdeka beliau pun wafat, di hari Ahad 12 Muharram, di tahun 1954 M. Dengan meninggalkan 3 istri (Nyai Belik, Nyai Ma’shum, Nyai Ginah, dan ratusan dzurriyah yang tersebar di beberapa kota di Jawa bahkan Sumatra). Allohummantsur nafahatir-ridhwani alaih, wa amiddana bil-asrorillati auda’taha ladaih! Amin

Artikel ini telah dibaca 703 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Kisah Syekh Ihsan Al-Jampesi, Pengarang Kitab Sirojut Tholibin yang Menolak Tawaran Raja Mesir untuk Mengajar di Al-Azhar

23 Mei 2023 - 01:05 WIB

Ketika K.H.R Asnawi Kudus Berwasiat untuk Tidak Membanggakan Nasab

20 Mei 2023 - 01:03 WIB

Harlah 92 dan Haul Masyayih Masalikil Huda, Bakal Hadirkan Rais Aam PBNU

10 Mei 2023 - 06:17 WIB

Kyai Zahid Arafat, Ulama Organisatoris dan Sang Singa Podium

5 Mei 2023 - 02:44 WIB

KHUTBAH IDHUL FITRI 2023

20 April 2023 - 13:05 WIB

Khutbah IdulFitri2023 (freepikcom-sketchepedia)

Ramadhan Terakhir Bertemu Mbah Maimoen: “Terjebak Di Tengah Para Haba’ib & Petinggi Politik!”

17 April 2023 - 01:20 WIB

KH Maimun Zubair
Trending di Headline
%d blogger menyukai ini: