Oleh : Sukarno
Ketua PAC GP Ansor Nalumsari, Jepara
nujepara.or.id – Spektakuler, begitulah kiranya perayaan seabad NU yang terpusat di Stadion Gelora Delta Sidoarjo pekan kemarin. Sebegitu mewah dan meriah, sampai banyak yang kemudian menyoroti sosok ketua panitia (SC) bernama Erik Thohir.
Sosok yang kebetulan adalah menteri BUMN itu, secara resmi adalah kader Banser. Erik ikut pengkaderan berupa pendidikan dan pelatihan dasar (diklatsar) Banser pada November 2021. Serangkaian ujian tak luput dari kewajiban diikuti, baik merayap, jongkok, mencari baret, sampai meneriakkan yel-yel khas Banser.
Oleh karenanya tak heran jika dalam laporan kepada Presiden sewaktu upacara peringatan seabad NU, Erik berdiri paling depan dari formasi Banser di tengah lapangan.
Kita tentu tahu bahwa Erik adalah gambaran anak muda yang kaya raya. Pengusaha dan filantropis Indonesia yang mendirikan Mahaka Group dalam bidang media dan entertainment. Suatu kondisi yang terlalu sulit ditemukan di kalangan anak muda NU.
Sebagai sebuah jam’iyah yang memiliki basis jamaah, NU sudah telanjur identik dengan warga miskin desa atau kelompok sarungan yang jauh dari watak parlente seperti Erik.
Keberadaan Erik yang secara sadar menjadi warga Nahdliyin melalui sistem pengkaderan, patut menjadi contoh. Secara kasat mata, warga Nahdliyin sudah telanjur disuguhkan fenomena pengurus “cangkokan” yang diambil tanpa melewati jenjang pengkaderan.
Betapa sedih ketika Bendahara Umum PBNU, Mardani Maming, menjadi tersangka dugaan korupsi. Politisi PDIP yang pernah jadi bupati Tanah Bumbu di Kalimantan Selatan ini, menimbulkan citra negatif terhadap NU. Satu hal yang menjadi persoalan utama adalah mendudukkan seseorang dalam kepengurusan NU, tanpa mempertimbangkan sistem pengkaderan.
Sebagai amanat melanjutkan estafet kepemimpinan NU di awal abad kedua, rasanya penting bagi kita semua untuk meneguhkan posisi kader dan kaderisasi. NU sebagai jam’iyah mesti dikelola dengan hati-hati. Prinsip kehati-hatian itu terletak pada keseriusan kita menempatkan kader NU sesuai dengan jenjang dan proses kaderisasi.
Sudah maklum bahwa NU memiliki banyak lembaga dan badan otonom. Masing-masing pun sudah memiliki mekanisme pengkaderan dan pembentukan calon pemimpin. Sebutlah IPNU dan IPPNU, dimulai dari Masa Kesetiaan Anggota (Makesta), Latihan Kader Muda (Lakmud), Latihan Kader Madya (Lakmad), sampai Latihan Kader Utama (Lakut). Proses berjenjang inipun telah menjadi seleksi alam munculnya para pemimpin di setiap masanya.
Penataan pengaderan sesungguhnya denyut nadi sebuah organisasi. Itu pulalah, salah satu putusan penting dari Konferensi Besar (Konbes) NU kepengurusan 2022-2027 pada pertengahan tahun kemarin. Pengaderan tingkat pertama di NU, ditata melalui Pendidikan Dasar Pendidikan Kader Penggerak NU (PD-PKPNU). Fase ini dilanjutkan dengan Pendidikan Kader Menengah NU (PKMNU), dan berpuncak pada Akademi Kepemimpinan Nasional NU (AKN-NU).
Pengecualian-pengecualian memang diakui tanpa melewati proses pengaderan dasar, akan tetapi memperhatikan dua hal. Pertama, pengakuan terhadap proses pengaderan di lingkup badan otonom NU seperti GP Ansor dan IPNU-IPPNU. Kedua, proses menempuh pendidikan seseorang sebagai santri di beberapa pesantren induk NU sebagaimana Lirboyo, Ploso, Tebuireng, Tambakberas, Denanyar, Sidogiri, dan Sarang.
Kendali mutu regenerasi kepemimpinan NU menjadi sangat penting karena selain membutuhkan kemampuan pada aspek keagamaan, kepemimpinan NU harus diiringi dengan kemampuan manajerial keorganisasi. Di sinilah titik utama pentingnya gerakan mengaji organisasi.
Ironis, jika jenjang kaderisasi yang dilewati sejak anak-anak sampai remaja dalam karier organisasi, tersingkirkan oleh sosok “cangkokan” di kepengurusan. Semakin prihatin jika “cangkokan” masih melalui mekanisme “karbitan”.
Seabad NU harus menjadi momentum untuk memberikan martabat lebih terhadap kader produk kaderisasi. Mengurusi NU tidak bisa hanya sekadarnya, sebisanya, dan seikhlasnya. Mengurus NU adalah kesiapan untuk melayani jam’iyah dan jamaah, kesiapan bekerja dengan kesiapan dipuja dan dihina, serta kesiapan berkontribusi dengan sebaik-baiknya dalam posisi apapun.
Hal yang sangat mungkin terjadi dengan fenomena pengurus “cangkokan”, adalah realita keseleo lidah karena terlalu rumit mengucapkan salam akhir pada tradisi NU, sekaligus dapat menempatkan NU sebagai jam’iyah yang justru jauh dari jamaahnya.
Wallahul Muwafiq Ila Aqwamitthoriq.