nujepara.or.id – Gelombang protes terhadap aktivitas penambangan galian C marak di Jepara. Hal itu didasari karena dampak buruknya terhadap lingkungan, infrastruktur, dan sosial, daripada perbaikan ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Salah satu peristiwa tragis yang menegaskan betapa tidak terkontrolnya eksploitasi alam adalah meninggalnya seorang anak perempuan di area penambangan Desa Gemiring Lor, Kecamatan Nalumsari pada 8 Februari 2025. Kejadian ini mencerminkan minimnya pengawasan dan pengelolaan kawasan tambang, yang seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah daerah. Sayangnya, praktik penambangan yang disinyalir ilegal itu oleh sebagian masyarakat diwarnai adanya kebal hukum bagi kelompok tertentu.
Tidak hanya menelan korban jiwa, aktivitas tambang ilegal juga merusak infrastruktur desa, seperti yang dikeluhkan warga di Desa Tunggul Pandean, Kecamatan Nalumsari. Alat berat dan truk pengangkut material dengan tonase berlebih merusak jalanan desa yang seharusnya menjadi akses utama masyarakat. Kerusakan ini bahkan sampai viral di media sosial, memicu gelombang protes agar suara warga didengar oleh anggota dewan dan pemerintah daerah. Sayangnya, hingga kini serasa belum ada tindakan tegas yang bisa menghentikan praktik tersebut, memperlihatkan adanya potensi pembiaran atau bahkan permainan kepentingan tertentu.
Di Desa Pancur, kemarahan warga terjadi ketika mengetahui pagar jembatan dihilangkan demi kelancaran mobilitas alat berat dan truk-truk tambang. Tindakan ini jelas mengorbankan fasilitas umum demi kepentingan segelintir pelaku usaha tambang.
Kejadian serupa juga terjadi di Desa Tanjung Dukuh Watu Pelak, Pakis Aji, di mana warga terpaksa melakukan penutupan paksa terhadap galian C ilegal dengan pengawalan Babinsa dan kepolisian. Fakta bahwa masyarakat sendiri yang harus turun tangan menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan dari pemerintah daerah.
Di Desa Sumberejo, Donorojo, situasinya tidak kalah memprihatinkan. Warga dari Dukuh Toplek dan Dukuh Pendem bahkan menggeruduk kantor balai desa karena aktivitas tambang berada tepat di atas permukiman mereka. Hal ini tidak hanya berisiko merusak lingkungan sekitar, tetapi juga berpotensi menyebabkan longsor atau bencana ekologis lainnya.
Ketakutan warga sangat beralasan, karena dampak kerusakan lingkungan akibat galian C ilegal bisa berlangsung dalam jangka panjang, menurunkan daya dukung lingkungan dan memperburuk kualitas hidup masyarakat sekitar.
Secara regulasi, Peraturan Bupati Jepara Nomor 31 Tahun 2011 tentang Pajak Galian C seharusnya menjadi dasar bagi pemerintah daerah dalam menertibkan aktivitas ini. Selain kehilangan potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) karena kegiatan ilegal ini tidak membayar pajak, pemerintah juga gagal melindungi lingkungan dari eksploitasi yang tidak bertanggung jawab. Jika dibiarkan, Jepara bukan hanya mengalami degradasi lingkungan, tetapi juga kehilangan sumber daya yang seharusnya bisa dikelola secara berkelanjutan.
Dampak yang ditimbulkan galian C ilegal tidak hanya sebatas ekologi dan ekonomi, tetapi juga sosial. Konflik antara warga dan pelaku usaha tambang terus meningkat, memicu ketegangan yang dapat berujung pada gesekan sosial yang lebih luas. Jika tidak segera ditertibkan, bukan tidak mungkin terjadi benturan yang lebih serius antara masyarakat dengan oknum pemilik usaha tambang yang merasa memiliki “perlindungan” dari pihak tertentu. Hal ini akan memperparah kondisi sosial masyarakat, yang seharusnya mendapat perlindungan dari pemerintah daerah.
Persepsi adanya kebal hukum yang seolah dinikmati oleh para pelaku tambang ilegal semakin memperparah keadaan. Padahal, jika aturan ditegakkan dengan baik, maka tidak ada satu pun pihak yang bisa beroperasi tanpa izin resmi dan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungannya. Pemerintah harus membuktikan bahwa regulasi yang sudah ada bukan sekadar dokumen mati, tetapi menjadi alat nyata dalam menegakkan keadilan dan menjaga kelestarian lingkungan di Jepara.
Solusi terhadap permasalahan ini harus dilakukan melalui pendekatan komprehensif. Pertama, pemerintah harus melakukan penertiban dengan menggandeng aparat penegak hukum untuk menindak tegas pelaku tambang ilegal. Kedua, perlu ada regulasi tambahan yang memperketat pengawasan terhadap aktivitas tambang yang sudah berizin, agar tidak menyalahgunakan izin mereka untuk eksploitasi berlebihan. Ketiga, partisipasi masyarakat dalam pengawasan perlu diperkuat, dengan mekanisme pelaporan yang cepat dan responsif terhadap keluhan warga.
Jika pemerintah daerah dan aparat penegak hukum tidak segera bertindak tegas, maka dampak kerusakan lingkungan akibat galian C ilegal ini akan terus meluas. Alam yang sudah rusak sulit dipulihkan, dan konflik sosial yang muncul akan semakin sulit dikendalikan. Oleh karena itu, penegakan aturan dan pengawasan ketat terhadap aktivitas tambang harus menjadi prioritas utama agar Jepara tidak jatuh ke dalam krisis lingkungan yang lebih dalam.
Keseriusan dalam menertibkan tambang ilegal bukan hanya soal menegakkan aturan, tetapi juga menjaga masa depan Jepara sebagai daerah yang lestari dan sejahtera. Jika eksploitasi ini terus dibiarkan, generasi mendatang hanya akan mewarisi tanah yang rusak dan konflik sosial yang berkepanjangan. Pemerintah harus menunjukkan keberpihakan pada lingkungan dan masyarakat, bukan pada kepentingan segelintir orang yang meraup keuntungan dari eksploitasi ilegal ini. Atau, banggakah stigma Jepara sebagai kota tambang galian C ilegal itu diberikan?
*Dr. Muh Khamdan, Analis Kebijakan Publik