NU JEPARA-Syaikh Abdul Hamid Kudus bin Muhammad Ali bin Abdul Qadir, seorang Imam dan pengajar di Masjidil Haram yang menulis kitab populer Kanzun Najah was Surur, Beliau adalah sosok ulama yang ke-Kudus Jawa Tengah-annya sering dipertentangkan para ulama. Banyak ulama, termasuk kiai-kiai di Nusantara tidak percaya beliau berasal dari Kudus. Yang diyakini banyak dari dulu adalah Syaikh Abdul Hamid ulama Makkah yang memiliki leluhur berasal dari Yaman.
Setelah meneliti banyak sumber yang menjelaskan tentang Syaikh Abdul Hamid Kudus, kami menyimpulkan bahwa orang pertama yang menisbatkan leluhur Syaikh Abdul Hamid ke Yaman adalah Ust Abdul Malik al-Wasshabi. Pendapat ini kemudian dinukil di Majalah al-Madinah al-Munawwarah oleh cicit Syaikh Abdul Hamid Kudus yang bernama Ust Muhammad Ali. Sumber inilah yang kemudian diikuti orang-orang yang menulis biografi Syaikh Abdul Hamid Kudus dari generasi berikutnya.
Ust Abdul Malik al-Wasshabi berpendapat demikian dengan dalih di belakang nama kakek Syaikh Abdul Hamid Kudus, yaitu Syaikh Abdul Qadir, terdapat kalimat al-Khathib. Sedangkan al-Khathib adalah marga keluarga di daerah Qadas al-Hujriyyah di Yaman Utara. Begitu kata Ust. Abdul Malik al-Wasshabi.
Apakah benar al-Khathib di belakang nama kakek Syaikh Abdul Hamid Kudus adalah marga yang terkenal di daerah Qadas al-Hujriyyah?
Syaikh Abdul Hamid Kudus sendiri yang akan menjawabnya. Mari simak dengan seksama.
Syaikh Abdul Hamid dalam kitab Irsyadul Muhtadi (halaman 143) menjelaskan kalimat al-Khathib yang disematkan di belakang nama kakeknya:
(الخطيب) بجامع بلد قدس
Al-Khathib (orang yang bertugas khuthbah) di Masjid Daerah Kudus.
Kudus yang dimaksud dalam dawuh Syaikh Abdul Hamid di atas adalah Kudus Jawa Tengah Indonesia.
Apa buktinya?
Sebelumnya, dalam kitab yang sama Syaikh Abdul Hamid menjelaskan bahwa al-Qudsiy di belakang nama ayahnya adalah nisbat ke Kudus -dengan dua dhommah-, sebuah kota di daerah Jawa. Dinamakan Kudus karena ada seorang syarif yang konon berasal dari Quds Baitul Maqdis yang kemudian dakwah di kota itu. Akhirnya masyarakat menyebutnya dengan kota Kudus. (Lihat Irsyadul Muhtadi halaman 12).
Lalu, masjid daerah Kudus manakah yang dimaksud Syaikh Abdul Hamid?
Jawabannya adalah Masjid al-Aqsha atau yang terkenal dengan Masjid Menara Kudus, sebuah masjid yang dibangun Sayyid Ja’far Shadiq Sunan Kudus pada tahun 956 H/1549M, yang terletak di sebelah timur dekat Makam Sunan Kudus.
Kesimpulan ini berdasarkan banyak qarinah. Antara lain karena:
1. Masjid di daerah Kudus yang masyhur pada zaman kakek Syaikh Abdul Hamid adalah Masjid al-Aqsha Menara Kudus.
2. Keluarga besar Syaikh Abdul Hamid Kudus termasuk keluarga yang aktif berkhidmah di Makam Sunan Kudus. Seperti:
* Paman beliau, Kiai Utsman bin Abdul Qadir.
Dalam catatan silsilah keluarga, Kiai Utsman disebut sebagai “Khadimul Maqam” alias pelayan atau juru kunci makam Sunan Kudus.
* Kiai Imam Jayadi, suami dari bibi Syaikh Abdul Hamid yang bernama Nyai Aisyah binti Abdul Qadir.
Kiai Imam Jayadi dalam catatan silsilah keluarga disebut sebagai “Katib Asmail Husna Fil Maqam” yang artinya: penulis asmaul husna di makam Sunan Kudus.
Maksudnya adalah Asmaul Husna yang terukir rapi di pintu makam Sunan Kudus dengan tahun pembuatan 1296 H/1809 Tahun Jawa atau jika kita konversikan ke tahun Masehi ketemunya 1879-an masehi. Sampai sekarang ukiran ini masih terlihat mewah dan bisa kita saksikan langsung dari luar cungkup. kita masih dapat menyaksikannya Jika kita ziarah makam Sunan Kudus
3. Keluarga Syaikh Abdul Hamid termasuk penduduk sekitar Menara Kudus. Seperti:
* Keluarga KH. Arwani Amin Kudus.
KH. Arwani Amin pernahnya adalah keponakan samping Syaikh Abdul Hamid Kudus. Karena Kiai Arwani adalah putra Kiai Amin Said. Kiai Amin Said adalah putra Kiai Imam Haramain. Kiai Imam Haramain putra dari sepasang suami istri Nyai Rahmah dan Kiai Minhaj Pengulu Pati. Sedangkan Nyai Rahmah adalah saudari dari Nyai Kamisih. Nyai Kamisih menikah dengan Kiai Abdul Qadir yang memiliki anak bernama Syaikh Muhammad Ali. Syaikh Muhammad Ali memiliki anak bernama Syaikh Abdul Hamid Kudus.
* Keluarga canggah alfaqir, KH. Ma’shum Damaran Kudus.
KH. Ma’shum Damaran pernahnya adalah saudara dua pupu Syaikh Abdul Hamid Kudus. Karena nenek Syaikh Abdul Hamid Kudus yang bernama Nyai Kamisih memiliki saudari bernama Nyai Rahmah. Nyai Rahmah menikah dengan Kiai Minhaj Pengulu Pati dan memiliki beberapa anak. Antara lain selain Kiai Imam Haramain adalah Nyai Maryam Diryani yang dinikah KH. Sholeh bin KH. Asnawi Sepuh Damaran. Dari pernikahan itu lahir KH. Ma’shum Damaran.
Mudahnya, pertemuan tiga nasab ini sebagai berikut:
1. Syaikh Abdul Hamid Kudus bin Muhammad Ali bin Nyai Kamisih.
2. KH. Arwani Kudus bin Muhammad Amin bin Imam Haramain bin Nyai Rahmah.
3. KH. Ma’shum Kudus bin Nyai Maryam Diryani binti Nyai Rahmah.
Nyai Kamisih dan Nyai Rahmah adalah kakak beradik. Siapa orang tua beliau berdua? Wallahu A’lam. Data silsilah yg kami dapat tidak menyebutkan siapa nama orang tua beliau berdua.
*
Jika kita telisik lagi, ternyata dari leluhur Syaikh Abdul Hamid yang beliau sebut sebagai al-Khathib tidak hanya kakek beliau, Abdul Qadir saja. Melainkan juga buyut beliau yang bernama Abdullah.
Berikut silsilah nasab cer laki-laki yang biasa Syaikh Abdul Hamid Kudus sebut dalam kitab-kitabnya:
Abdul Hamid bin Muhammad Ali bin Abdul Qadir Zahid al-Khathib bin Abdullah al-Khathib bin Mujirah.
Leluhur Syaikh Abdul Hamid yang beliau sebut sebagai al-Khathib hanya dua orang: Abdul Qadir dan Abdullah.
Gelar al-Khathib di belakang nama Abdul Qadir dijelaskan oleh Syaikh Abdul Hamid sebagai Khatib di Masjid Daerah Kudus. Sedangkan di belakang nama Abdullah, tidak beliau jelaskan maksudnya.
Kesimpulan kami, Kiai Abdullah, buyut Syaikh Abdul Hamid juga khathib di Masjid Menara dg dalil diqiyaskan dengan al-Khathib di belakang nama Syaikh Abdul Qadir. Selain itu, sudah lumrah seorang ayah menjadi khathib, kelak tugas mulia ini akan diteruskan oleh anaknya.
Oh ya. Jika kita menyimak silsilah nasab Syaikh Abdul Hamid Kudus di atas, leluhur beliau yang selain Abdul Qadir dan Abdullah tak beliau sebut sebagai al-Khatib. Ini menjadi salah satu bukti kuat bahwa al-Khathib yang dimaksud di sini adalah gelar bagi pengkhutbah. Bukan marga sebagaimana yang disangka oleh Ust. Abdul Malik al-Wassabi. Andai saja al-Khathib sebagai marga, maka cukup disebutkan satu kali dan ditaruh pada nama paling akhir dalam silsilah.
Penulis: Nanal Ainal Fauz