Oleh Muhammad Nasrullah Huda*
Setiap tahun menjelang Idul Fitri umat Islam diwajibkan membayar zakat fitrah. Fitrah artinya khilqah atau sifat pembawaan dari lahir. Zakat ini disandarkan pada kata fitri karena kewajibannya berkaitan dengan Idul Fitri. Zakat fitrah diwajibkan pertama kali sejak tahun ke-2 hijriyah sebagaimana diwajibkannya puasa Ramadan. Perumpamaan zakat fitrah terhadap puasa Ramadan laksana sujud sahwi di dalam shalat, ia berfungsi menambal cacat di dalam puasa sebagaimana sujud sahwi menambal cacat di dalam shalat. Zakat fitrah merupakan simbol pembersihan dari segala sesuatu yang mengotori diri seorang muslim. Dari Ibnu Abbas Radliyallahu Anhu berkata : “ Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji juga untuk memberi makan orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu dianggap sebagai sedekah “ (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Apa hikmah berzakat fitrah? Di antara hikmahnya adalah sebagai media pembersihan diri seorang muslim dari perkataan sia-sia dan kotor serta cacat selama berpuasa. Selain itu itu juga sebagai bentuk kepedulian seorang muslim terhadap saudara muslim yang tidak berkecukupan, dengan begitu akan muncul kepedulian sosial antar sesama muslim. Zakat fitrah juga bisa sebagai bentuk penyerahan diri seorang muslim dalam melakukan ketaatan atas perintah Allah Swt.
Siapa yang diwajibkan berzakat fitrah? Setiap muslim yang merdeka, bukan hamba sahaya/budak wajib mebayarkan zakat fitrah. Setiap muslim yang merdeka juga berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah atas dirinya dan atas orang-orang yang menjadi tanggungannya seperti, anak yang belum dewasa dan belum berpenghasilan, istri dan orang tua. Selain itu adalah seorang muslim yang memiliki kelebihan harta untuk mencukupi kebutuhan pokok pada hari raya dan malamnya.
Kapan zakat fitrah ditunaikan?
Waktu wajib, yaitu sejak terbenamnya matahari pada hari terakhir Bulan Ramadan hingga terbenamnya matahari pada Idul Fitri, dengan kata lain menemui sebagian waktu pada Bulan Ramadan dan sebagian waktu pada bulan syawal.
Beberapa ketentuan lain soal waktu zakat fitrah adalah, pertama, anak yang lahir setelah terbenamnya matahari pada hari terakhir Bulan Ramadan tidak wajib dibayarkan zakat fitrah. Kedua, pernikahan yang terjadi setelah terbenamnya matahari di Bulan Syawal zakat fitrahnya istri tidak menjadi tanggungan suami tetapi menjadi kewajiban istri sendiri. Ketiga, masuk Islam setelah matahari terbenam di akhir Bulan Ramadan juga tidak mewajibkan zakat fitrah. Keempat, kematian setelah terbenamnya matahari di akhir Bulan Ramadan tetap berkewajiban membayar zakat fitrah.
Soal waktu itu sendiri, ketentuannya adalah: waktu diperbolehkan, yaitu sejak permulaan Bulan Ramadan (takjil zakat fitrah). Ada juga waktu makruh, yaitu berzakat fitrah setelah melaksanakan shalat Idul Fitri hingga sebelum matahari tenggelam pada hari raya.
Selain itu ada waktu haram berzakat fitrah, yaitu setelah matahari tenggelam pada Idul Fitri. Zakat fitrah yang dikeluarkan pada waktu ini menjadi qadla.
Kadar zakat fitrah
Adapun bentuk dan kadar zakat fitrah adalah, pertama, berupa quut, yaitu makanan pokok daerah di mana ia tinggal. Makanan pokok yang dikeluarkan harus dalam kondisi baik dan layak konsumsi, sehingga tidak sah apabila cacat atau rusak. Tidak sah mengeluarkan zakat fitrah berupa uang meskipun senilai kadar yang wajib dikeluarkan. Bagi panitia pengumpul zakat fitrah apabila para pembayar zakat menunaikan menggunakan uang, solusinya adalah panitia menyediakan makanan pokok diluar hasil zakat yang sudah terkumpul, lalu panitia menjualnya kepada pembayar zakat.
Kedua, kadar yang dikeluarkan adalah 1 sha’. Terdapat beberapa pendapat ulama tentang ukuran 1 sha’, yang lazim dipakai di negara kita adalah 2,5 kg beras.
Penerima zakat fitrah
Ada Ashnaf Tsamaniyyah (kelompok delapan) yaitu yang tegas disebut sebagai orang yang berhak menerima zakat fitrah. Pertama, fakir, yakni orang yang sama sekali tidak memiliki harta atau penghasilan dari suatu pekerjaan yang bisa mencukupi kebutuhan pokoknya dan kebutuhan pokok orang-orang yang ia tanggung.Kedua, miskin, yakni orang yang mempunyai harta atau penghasilan dari suatu pekerjaan halal dan pantas baginya tetapi tidak mencukupi kebutuhan pokoknya dan kebutuhan pokok orang-orang yang ia tanggung, seperti orang yang berpenghasilan 7-8 ribu/hari sementara kebutuhan pokoknya 10 ribu/hari. Ketiga, muallaf, yakni orang yang baru masuk Islam. Keempat, amil, yakni orang yang diangkat pemerintah untuk mengurusi harta zakat. Kelima, riqab, yakni para budak mukatab. Keenam, gharim, yakni orang yang mempunyai hutang baik untuk kemaslahatan umum maupun untuk diri sendiri. Ketujuh sabilillah, yakni orang yang berperang secara fisik membela agama Allah secara sukarela tanpa ada gaji tetap dari negara. Dan kedelapan, ibnu sabil, yakni orang yang bepergian tanpa bekal yang cukup untuk kembali ke daerahnya.
Menurut madzhab Syafiiyyah diwajibkan mengeluarkan zakat kepada ashnaf tsamaniyyah dimana pembayar zakat tinggal. Apabila dikeluarkan di daerah lain maka sudah mencukupi menurut Madzhab Malikiyyah. Cukup mengeluarkan zakat fitrah kepada salah satu dari ashnaf tsamaniyyah yang ada di daerahnya.
Niat mengeluarkan zakat fitrah
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زكَاَةَ الْفِطْرِ – عَنْ نَفْسِي / عَنْ زَوْجَتِي … / عَنْ إِبْنِي… / عَنْ بِنْتِي… / عَنْ أَبِي / عَنْ أُمِّي – فَرْضًا لله تَعَالَى
“ Nawaitu an ukhrija zakatal fitri – an nafsi / an zaujati… / an ibni …/ an binti …/ an abi / ab ummi – fardhon lillahi taala “
Aku berniat mengeluarkan zakat fitrah – atasku / atas istriku … / atas anak lelakiku … / atas anak perempuanku … / atas bapakku / atas ibuku – fardlu karena Allah Ta’ala
Referensi
1. Fathul Muin
(*Penulis adalah Ketua Lembaga Bahtsul Masail NU Jepara/ms)