Oleh Zakiyah, S.Pd*
nujepara.or.id – Jepara sebagai sebuah wilayah yang pernah menjadi pusat perdagangan antar negara, menyisakan sejumlah peninggalan tokoh besar dari jalur kerajaan dan kesultanan. Salah satu nama yang sangat dikenal adalah Ratu Kalinyamat, putri dari Pangeran Trenggono.
Ratu Kalinyamat mendapatkan mandat berkuasa di Jepara, setelah ayahnya menitahkan suami Ratu Kalinyamat yang berasal dari Aceh sebagai seorang sultan. Sultan dari jauh itu dikenal dengan nama Sultan Hadirin.
Beragam versi cerita turun temurun sebagai penyebab perebutan tahta kekuasaan. Salah satunya, Pangeran Trenggono masih memiliki adik laki-laki dari ibu lain atau dari istri ketiga Sultan Fatah, yaitu Pangeran Sekar atau Raden Kikin. Pangeran Sekar lebih tua dalam usia dibanding Pangeran Trenggono, namun dianggap lebih muda karena dari istri ketiga atau putri dari Adipati Jipang.
Pangeran Trenggono sendiri adalah anak dari istri pertama Sultan Fatah atau anak dari putri Sunan Ampel. Pangeran Trenggono naik tahta pada 1521 yang dilantik Sunan Gunung Djati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Prahara perebutan kekuasaan Kesultanan Demak setidaknya muncul karena sebelum dilantiknya Sultan Trenggono, terjadi pembunuhan terhadap Pangeran Sekar di pinggir sebuah sungai.
Peristiwa ini menjadikan nama saudara Sultan Trenggono itu dikenal sebagai Pangeran Sekar Sedo ing Lepen. Kematian Pangeran Sekar sering dikaitkan adanya peran dari Sunan Prawoto, anak dari Sultan Trenggono. Hal itu berkaitan sebagai langkah memuluskan menduduki tahta raja.
Dendam keluarga pun tak terhindarkan. Arya Penangsang sebagai putra dari Pangeran Sekar, dan salah satu murid kinasih dari Sunan Kudus, menuntut balas kematian ayahnya.Terjadilah upaya pembunuhan kepada keturunan Pangeran Trenggono, yaitu Sunan Prawoto yang menjadi raja Demak keempat. Sunan Prawoto menjadi penerus ayahnya setelah Sultan Trenggono meninggal dalam ekspedisi militer ke Jawa Timur pada 1546.
Keturunan lain yang ditinggalkan oleh Sultan Trenggono yaitu Ratu Kalinyamat, Ratu Mas Cempaka yang diperistri Joko Tingkir, dan Pangeran Timur atau Pangeran Rangga Jumena yang menjadi bupati Purabaya pada 1568. Parubaya adalah istilah penyebutan wilayah Pasuruan, Surabaya, Ngawi, Tuban, Nganjuk, dan Ponorogo.
Muncul perdebatan sosok yang berhak menjadi pewaris kekuasaan. Arya Penangsang sebagai keturunan Pangeran Sekar merasa berhak sebagai pewaris karena hak ayahnya telah dirampas. Demikian bagi keturunan Sultan Trenggono, merasa berhak karena langsung sebagai putra Sultan yang sah. Konflik keluarga membuat Sunan Prawoto terbunuh, dengan barang bukti Keris Kyai Setan Kober milik Arya Penangsang.
Ratu Kalinyamat sebagai saudara kandung Sunan Prawoto, langsung mengambil alih pengasuhan anak kakaknya itu. Beberapa keponakan yang diasuh adalah Arya Pangiri, Raden Ayu Mas Semangkin, dan Raden Ayu Mas Prihatin. Pengasuhan yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat tersebut menjadikan keponakan-keponakannya tersebut memiliki keahlian agama sekaligus ilmu bela diri. Raden Ayu Mas Semangkin misalnya, dinobatkan sebagai senopati putri atau pemimpin pasukan perempuan dari kesultanan Jepara.
Kearifan Lokal Nama Daerah
Sayembara penuntutan balas dilakukan oleh Ratu Kalinyamat dengan melakukan masa iddah di tengah hutan Sonder, lereng Gunung Muria. Peristiwa yang dikenal dengan “Tapa Wuda Sinjang Rambut” itu berkaitan dengan pembunuhan terhadap Sultan Hadirin setelah menghadiri musyawarah keluarga di Kudus. Sultan Hadirin sebagai perwakilan keluarga Sultan Trenggono, beserta Arya penangsang sebagai perwakilan keluarga Pangeran Sekar dimediasi oleh Sunan Kudus.
Kedua keluarga itu diharapkan dapat berdamai dan melanjutkan suksesi kesultanan secara baik-baik. Forum mediasi gagal, sehingga terjadi tragedi berdarah sekitar 1549. Tempat di mana Sultan Hadirin dikepung oleh pengikut Arya Penangsang menjadi becek dengan kucuran darah. Dalam bahasa jawa, beceknya darah itu disebut dengan jember, yang kemudian menjadi nama daerah tersebut.
Saat kondisi badan Sultan Hadirin dibawa menuju pulang ke Mantingan, kucuran darah yang mengalir di arus sungai membuat warna menjadi merah keungu-unguan. Daerah aliran sungai itu kemudian dikenal dengan nama Kaliwungu. Sejumlah pengawal dengan secepatnya ingin memberikan pesan tentang tragedi berdarah yang dituliskan melalui sebilah kayu bambu. Tempat di mana pesan terbunuhnya Sultan Hadirin itu ditulis, kemudian dikenal dengan nama Pringtulis. Kata yang diambil dari istilah Pring atau bambu dan tulis.
Sayembara penuntutan balas yang dideklarasikan oleh Ratu Kalinyamat berupa pemberian sejumlah kekuasaan, dengan dua penekanan. Jika seorang laki-laki, maka akan dinikahkan dengan keponakan atau salah satu putri dari Sunan Prawoto. Namun jika perempuan, maka akan dijadikan anak angkat oleh Ratu Kalinyamat.
Hal serupa dilakukan oleh Raden Hadiwijaya atau Joko Tingkir, sebagai menantu dari Sultan Trenggono yang memperistri Ratu Mas Cempaka. Tanah kekuasaan di Pati (Jawa bagian Utara) dan Alas Mentaok (Jawa bagian Selatan) akan diberikan sebagai hadiah.Sayembara diikuti oleh para cucu Ki Ageng Selo, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi.
Pengatur siasat penaklukan Arya Penangsang dilakukan oleh Ki Panjawi, sedangkan eksekutor di lapangan diperankan oleh Ki Ageng Pemanahan beserta anaknya, Danang Sutowijoyo.
Pertempuran terjadi antara pasukan pimpinan Sutowijoyo dengan pasukan pimpinan Arya Penangsang. Pada akhirnya, Arya Penangsang sebagai Adipati Jipang terbunuh oleh tombak Kyai Plered.
Kemenangan para cucu Ki Ageng Selo diganjar sebagaimana sayembara yang dideklarasikan. Wilayah Pati diberikan pada Ki Panjawi, sedangkan tanah Mentaok diberikan pada Ki Ageng Pemanahan. Kesultanan Demak dianggap sudah bubar, setelah Joko Tingkir memindahkan kekuasaan baru menjadi Kesultanan Pajang pada 1546.
Atas keberhasilannya, Danang Sutowijoyo sendiri diakui sebagai anak angkat Joko Tingkir, yang dikemudian hari dinikahkah dengan putri Sunan Prawoto yang bernama Raden Ayu Mas Semangkin. Pernikahan tersebut sebagai pemenuhan sumpah sayembara yang dideklarasikan oleh Ratu Kalinyamat.
Konflik keluarga kembali muncul. Danang Sutowijo berupaya untuk memisahkan diri dari kekuasaan ayah angkatnya di Kesultanan Pajang. Sutowijoyo tidak pernah sowan pada Sultan Hadiwijaya, dan justru menobatkan diri sebagai Sultan Mataram yang merdeka pada. Gelar yang oleh masyarakat dikenal sebagai Senopati ing Ngalogo, kemudian berubah menjadi Panembahan Senapati saat memimpin Mataram.
Secara resmi, Kesultanan Mataram berdiri pada 1586 setelah kematian Sultan Pajang, Joko Tingkir.Pemberontakan-pemberontakan muncul di awal berdirinya Kesultanan Mataram, termasuk konflik keluarga. Sebagai upaya konsolidasi kekuasaan secara damai, maka Waskita Jawi atau Kanjeng Ratu Mas yang merupakan putri Ki Ageng Panjawi yang berkuasa atas Pati, dijadikan sebagai permaisuri.
Sedangkan Raden Ayu Mas Semangkin yang menjadi istri Panembahan Senopati atas hasil sayembara pembunuhan Arya Penangsang, melahirkan dua anak laki-laki. Kedua anak itu dinamai Pangerang Danang Syarif dan Pangeran Danang Siroqol.
Jiwa Raden Ayu Mas Semangkin sebagai salah satu senopati atau panglima perang perempuan, tentu tak bisa berdiam diri di kerajaan. Konflik keluarga dan gangguan keamanan terhadap Kesultanan Mataram dari arah Utara, memengaruhi alasannya untuk tetap berada di Jepara. Hal itu terutama untuk menyelesaikan pemberontakan Adipati Joyokusumo atau Adipati Pragola dari Pati. Pemberontakan pun dapat diakhiri, dan R.A. Mas Semangkin beserta keluarga menetap di Mayong.
Ketentraman kawasan lereng Muria kemudian menjadi medan dakwah sekaligus pemberdayaan masyarakat oleh R.A. Mas Semangkin dan para pengikutnya. Pangeran Danang Syarif Hadiwoso kemudian memilih daerah timur dari kediaman ibunda, yang kini dikenal dengan Desa Pringtulis. Sedangkan putra lainnya, Pangeran Danang Siroqol memilih daerah timur menyeberangi sungai, yang kini dikenal dengan Desa Papringan.
Meski berstatus putra raja, namun Pangeran Danang Syarif lebih memilih jalur dakwah daripada politik kekuasaan. Falsafah kedamaian atau The Spirit of Harmony turun temurun diajarkan dan diwarisi oleh masyarakat Desa Pringtulis dan sekitarnya
Daerah peninggalan sang putra raja itu kini disebut dengan Bondowoso, yang diambil dari kata bondo atau harta peninggalan milik Pangeran Hadiwoso. Sedangkan tanah makam yang terdiri sekitar 63 nisan di mana Pangeran disemayamkan, secara getok tular disebut Sentono. Sebuah istilah yang umum digunakan untuk menyebut tempat tinggal keluarga raja.
*Pengurus Ranting Fatayat Desa Pringtulis, dan Pengurus PAC Fatayat NU Nalumsari