Oleh M Zainal Abidin*
R.A. Kartini lahir 21 April 1879 atau 28 Robiulakhir 1808 dari keluarga R.M. Sosroningrat, kepala Distrik Mayong. Ketika usianya dua tahun, ayahnya diangkat jadi bupati Jepara. Seluruh keluarga termasuk R.A. Kartini ikut pindah ke Pendapa Jepara.
Ayahnya, R.M. Sosroningrat sangat peduli terhadap pendidikan agama dan umum. Sejak kecil R.A. Kartini sudah mendapatkan pendidikan agama Yaitu diajari membaca Alquran. Selain pendidikan agama, kecil R.A. Kartini sudah mendapatkan pendidikan umum baik. Dia sudah masuk ke Eropese Leger School, yang sebagian besar anak didiknya didominasi Belanda-Indo.
Untuk masuk sekolah itu tak mudah, karena selain anak dari seorang bupati. Syarat lain adalah sudah bisa bahasa Belanda. Masa pingitan dimanfaatkan R.A. Kartini belajar dengan teman-teman Belanda dan bertukar surat.
Buku-buku itulah yang mempengaruhi pemikiran R.A. Kartini. Beberapa buku bacaan R.A. Kartini, karya-karya Maltatuli (Eduard Dowes Dekker), Hilda Van Suylembrug karya Ny. Goekoop-de Jong Van Beeken Donk, buku Tujuan Pergerakan Wanita karangan Dr. Aletta Jacobs. Buku Maatschappelijik Werk In Indie. Buku Fielding mengenai agama Buddha. Kemudian buku-buku karya Coupers. Buku Moderne Maagden karya Marcel Provost. Dan masih banyak lagi.
Buku-buku itu menceritakan tentang perjuangan perempuan dalam mendapatkan hak dan perbaikan nasib. Juga usaha pemberontakan kaum perempuan agar kaum perempuan juga punya nilai kemajuan. Dari buku De Wapens Neergelegd (Sarungkan Senjata) R.A. Kartini mendapatkan pandangan baik perlunya kepentingan Pribumi dengan kepentingan Belanda, sehingga ia menganjurkan persahabatan antara kedua bangsa (Belanda dan Bumiputra) sebagai ganti penghisapan dan penjajahan. Dari karya Maltatuli, R.A. Kartini tertarik dengan ungkapan Tugas Manusia adalah Menjadi Manusia.
R.A. Kartini tak sekadar suka membaca. R.A. Kartini belajar dari kehidupan bersama orang tua dan saudara-saudaranya. R.A. Kartini belajar toleransi dan keteguhan jiwa. Walaupun saat kecil mendapatkan pelajaran agama Islam, dia juga mendapat kesempatan menghadiri sebuah kebaktian di 1898. Bukan hadir untuk beribadah tetapi hadir menghormati teman-teman Nasrani. Saat itu orang tuanya mendapatkan undangan dari gereja di sekitar Bondo. R.A. Kartini pernah juga ke Klenteng Welahan.
Pengakuan R.A. Kartini yang menyebut dirinya sebagai anak Buddha bermula saat R.A. Kartini kecil sakit keras. Badannya menggigil. Dokter yang didatangkan ayahnya, Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, tak sanggup mengobati anak tujuh tahun itu. Lalu datanglah seorang Cina yang sedang dihukum pemerintah Hindia Belanda bertamu ke rumahnya.
Laki-laki Cina itu sudah dikenal oleh tiga anak Sosroningrat. Dia menawarkan bantuan dengan meminta R.A. Kartini meminum air yang dicampur abu lidi shio dari sebuah kelenteng di Welahan, kecamatan di Jepara, Jawa Tengah, tempat terdapat banyak rumah ibadah umat Konghucu. Ajaib. Demam Raden Ajeng turun dan ia sembuh.
Cerita itu kemudian ia tulis dalam surat untuk Nyonya Rosa Abendanon-Mandri, istri Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda. Dalam surat bertarikh 27 Oktober 1902, R.A. Kartini berapi-api menceritakan pengalaman itu. “Apa yang tak berhasil dengan obat-obatan kaum terpelajar ternyata berhasil dengan obat tukang jamu,” katanya.
Perjalanan berikutnya yang memengaruhi pemikiran R.A. Kartini pertemuan yaitu dengan Kyai Sholeh darat. Yaitu sekitar Agustus 1902 R.A. Kisahnya ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh yang tidak lain adalah cucu Kyai Sholeh Darat .R.A. Kartini tidak menceritakan pertemuannya dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang (lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat) kepada R.M. Abendanon. Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir al-Fatihah di sebuah pengajian di Demak.
R.A. Kartini cukup terkesan. Hal ini bisa dimaklumi, karena selama ini R.A.Kartini hanya bisa membaca Al-Quran (termasuk Al-Fatihah) tanpa pernah tahu maknanya (Munir, 2008: 49). Usai pengajian R.A. Kartini meminta kepada kakenya Tjondronegoro IV bertemu Kyai Sholeh Darat. Setelah pertemuan itu, Kyai Sholeh menerjemahkan ayat demi ayat, juz demi juz ke dalam bahasa Jawa. Sebanyak 13 juz terjemahan diberi nama Kyai Sholeh Darat dengan kitab Faidhur Rohman diberikan sebagai hadiah perkawinan R.A. Kartini (Munir, 2008: 61).
R.A. Kartini menyebutnya sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia. Surat yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. R.A. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Sayangnya, R.A. Kartini tidak pernah mendapat terjemahan ayat-ayat berikutnya, karena Kyai Sholeh meninggal dunia (Priyanto, 2008: 267).
Banyaknya buku, majalah, atau koran yang dibaca R.A. Kartini serta pengalaman hidup bertemu jemaat nasrani, umat Thionghoa dan Buddha serta pertemuannya dengan Kyai Sholeh Darat ini sangat berpengaruh terhadap keteguhan perjuangan dan keyakinan R.A. Kartini. Yaitu meperjuangan kaum perempuan dan Menjadikan Manusia seutuhnya.
R.A. Kartini meneguhkan keIslaman dan menolak agama sebagai alat politik. Itu tertulis dalam suratnya“Bukan agama yang tiada kasih sayang, melainkan manusia jugalah yang membuat buruk segala sesuatu yang semula bagus dan suci itu.
Sepanjang hemat kami, Agama yang paling Indah dan paling suci adalah kasih sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak harus menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang penyembah berhala pun dapat juga hidup kasih sayang yang murni. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seseorang mutlak menjadi seorang Kristen atau agama lainnya?
Karena itu R.A. Kartini menolak sistem Zending yang digulirkan Belanda ke Bumiputera. Di mana sekolah kebidanan atau lainnya harus memaksa memeluk agama lain (Kristen). Agama dipeluk untuk keberkahan.
“Agama dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk membentuk tali persaudaraan di antara semua makhluk Allah, berkulit putih atau coklat. Tidak pandang pangkat, perempuan atau lelaki, kepercayaan semuanya kita ini anak Bapa yang Satu itu, Tuhan yang maha Esa.” (R.A. Kartini).
Pemikiran R.A. Kartini selaras dengan santri lainnya Mbah Soleh darat. Yaitu KH Hasyim Asyari pendiri NU dan KH Ahmad Dahlah pendiri Muhammadiyah. Prinsip NU adalah Tawasuth dan I’tidal yaitu moderat dan berlaku adil. Pemikiran R.A. Kartini juga telah masuk dalam Pancasila. Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menjadi catatan, memahami pemikiran R.A. Kartini tak bisa meloncat-loncat. Perlu pemahaman yang komprehensif dari awal R.A. Kartini lahir sampai wafat. Karena memotong pemikiran R.A. Kartini di tengah perjalanan akan membuat berbeda apa yang diinginkan beliau.
Pemahaman seperti mengapa surat itu terbit perlu. Seperti Alquran ada asbabun nujul. Dalam Hadist ada asbabul wurud.
*Warga Jepara, Pemred Radar Kudus, Dosen Komunikasi Dkv Unisnu Saintek Unisnu Jepara (2015-2021)