Menu

Mode Gelap
Ngaji Burdah Syarah Mbah Sholeh Darat (25) NU Peduli Bersama Kemenag Jepara Salurkan Bantuan Bagi Warga Dorang Belajar Dari Geomorfologi “Banjir” Eks Selat Muria, Mau Diapakan? Mbah Dimyathi: Jadi Wali Itu Mudah, Ngaji Lebih Sulit!! Ngaji Burdah syarah Mbah Sholeh Darat  ( 2 )

Headline · 17 Apr 2023 01:20 WIB ·

Ramadhan Terakhir Bertemu Mbah Maimoen: “Terjebak Di Tengah Para Haba’ib & Petinggi Politik!”


 KH Maimun Zubair Perbesar

KH Maimun Zubair

Oleh : Murtadho Hadi*

nujepara.or.id-Sebenarnya saya tidak ada kapasitas untuk menuliskan ini, rasanya seperti “sok tahu” (karena saya tercatat ikut ngaji di Sarang hanya selama  3 hari di Ramadhan Terakhir sebelum Mbah Maimoen Zubair “kapundut” : wafat!) Tapi setidaknya tulisan ini hendak merekam : 1) Aktifitas Keilmuan di pesantren Sarang. Dan, 2) Sikap dan Pandangan Politik Mbah Maimoen Zubair (hal ini rasanya lebih penting direnungkan terutama: untuk konteks saat ini dimana pergerakan dan gesekan “arus-politik” dan hangatnya suasana bangsa Indonesia menjelang suksesi politik di tahun 2024 sudah benar-benar terasa sekarang ini.

Deru “Tanda Tanya” Di Dalam Bus Pantura

Sebelumnya “Deru Tanda Tanya” selalu menyeruak dalam hati, manakala Bus yang saya tumpangi,  entah yang keberapa puluh kali melewati Sarang : lalu-lalang Santri, bau lelet kopi, bau parfum, bau kurasan-kurasan kitab, bau aroma laut yang menyengat,  semuanya yang saya rekam tentang Sarang: selalu berujung pada sebuah tanda tanya: Di manakah Kediaman Mbah Maimoen Zubair sang ulama Jawa itu? Dan saya masih menoleh ke belakang meskipun Bus sudah jauh berlalu tanpa sebuah jawaban!

Dan itu berlangsung dan terjadi entah yang ke berapa puluh kalinya selama saya melewati Jalan Pantura (sambil membayangkan Dendles yang sedang menghisap cerutu dan para Priboemi yang kelaparan mengusung dan memecah batu-batu, yang entah menelan berapa ribu jiwa dalam kerja-paksa pembangunan Jl.Pantura ketika itu!) Sekali lagi:  Di manakah rumah (“Dalem”) Mbah Maimoen sang ulama Jawa itu..?

Nama-nama Kyai Pantura “Enak Di Dengar”

Manis Laksana Madu

Terlebih, sudah sejak kecil dan remaja, ingatan dan memori saya sudah mendengar nama-nama kyai Pantura yang manis “laksana madu”: sekedar menyebut : Mbah Mawardi, Mbah Abdul Majid,  Mbah Ma’mun, Mbah Fauzan,  Mbah Abdullah Hadziq, Mbah Asnawi, Mbah Turoichan, Mbah Arwani, Mbah Hasan Mangli, Mbah Ma’mun, Mbah Sya’roni, Mbah Yasin & Mbah Basyir, Mbah Bisyri, (Mbah Kholil Bisyri),  Mbah Kholil Harun, Mbah Mishbah, Mbah Syahid  Kemadu,  Mbah Zubair, Mabah Baedhowi (Mbah Hamid Baedhowi) Mbah Ma’shum (Mbah Ali), Mbah Hamid-Pasuruan,  Mbah Fadhol, Mbah Saridho, ; .Mbah Abdullah Faqih-Langitan, Mbah Madun Pondoan, Mbah Abdullah Salam,  Mbah Sahal dan Mbah Maimoen Zubair..dan masih banyak lagi. (Allohummantsur nafahatir-Ridhwani ‘alaihim!)

Tak Terbendung

Memang berawal dari sebuah “kerinduan” (atau semacam keharusan), tiba-tiba saja di Ramadhan tahun (sebelum Mbah Maimoen wafat) hati rasanya tidak terbendung ingin “sowan Mbah Moen” dan itu adalah sowan saya yang pertamakali dan terakhir kalinya bertemu Mbah Moen, walau sebelumnya di Jepara pernah beberapa kali bertemu  di sela-sela jadwal Tausiyah beliau, terutama yang begitu saya ingat di kediaman santri-santri beliau ( H. Rifa’i-Menganti dan KH. Dimas Djolang Agus Salim) yang kebetulan keduanya juga sudah wafat : Semoga Allah SWT melimpahkan wanginya Rahmat di kubur mereka!

Ngaji Di Ujung Gang

Tepat di malam 1 Ramadhan, saya tiba di Sarang. Area ke jalan gang yang menuju majlis dan rumah Mbah Maimoen sudah dipenuhi para santri yang duduk bersila. Kepada salah seorang santri saya berttanya, “Mbah Moen mbalah kitab, apa kang?”

Sejurus santri itu memperlihatkan sampul kitab : yang ternyata berjudul “Tanbihul Mughtarrin” : Sebuah risalah sufi yang berkisah tentang “ahwal” dan “akhlaqnya” ulama-ulama salaf yang sekurun dengan Muallif. Mengingatkan saya pada: kompedium “Tadzkirotul-Auliya’nya Attar, atau Futuhatul-Makkiyah  dan “Ruhul qudsi fi Munashohatin-nafsi”nya Syaikh Ibnu Arobi Al-Andalusy. Atau, pada Risalah Qusyairi An-Nishobury yang lebih teoritis dan detail berbicara Ahwal dan maqomatnya para Sufi.

Tanbihul Mughtarrin adalah hujjah-hujjahnya para sufi, yang dibahasakan  Muallif : sepadan dengan kitab Minhajnya Syaikh Imam An-Nawawi di dalam bab Fiqih di dalam merekam pandangan-pandangan para  ulama”

Dan dalam hati saya langsung bergumam : “Ma syaaAllah! Demi wali Qutub sang muallif (Penulis Kitab): Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya’rony, saya ikut mengaji” maka jadilah di malam 1 Ramadhan itu saya membeli kitab, ngaji di ujung gang beralaskan kedua sandal yang saya pakai. Bukankah tamu (santri) “kal-mayyiti fi yadayil-ghosil” (terkena hukum ” seperti mayat di tangan orang yang memandikannya?”). Pasrah. Wallahu a’lam : tidak tahu apa yang terjadi nanti. (Wong datang ke Kyai kok di awal Ramadhan), maka jadilah hari berikutnya dan hari berikutnya saya masih mengaji: bedanya agak merangsek hingga di di dalam majlis Mbah Maimoen sampai tepat di malam ketiga Mbah Maimoen membuka pintu rumah. Lalu saya pun sowan (bakda Maghrib) dan terjebak duduk di bangku bersama rombongan para kyai dan Haba’ib yang dibarengi para politisi, DPR, dan beberapa pejabat. Saya ga tahu ini berkah ataukah musibah..?

(BERSAMBUNG!)

(Penulis adalah Sastrawan dan Budayawan; Pengurus PC LTN-NU Jepara)

Artikel ini telah dibaca 403 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Kritis, Kelahiran Anak Muslim Indonesia Melambat

5 April 2024 - 16:10 WIB

Memaknai Mudik: Sebagai Tradisi dan Ajaran Silaturahmi

5 April 2024 - 12:54 WIB

Tidak Pandang Suku, Agama dan Ras, NUPB Jepara Siap Bantu Korban Bencana

31 Maret 2024 - 21:57 WIB

Cinta Tanah Air Perspektif Maqashid Syariah

31 Maret 2024 - 11:11 WIB

Akulturasi Budaya Islam-Jawa Lewat Pujian Ba’da Tarawih

30 Maret 2024 - 01:51 WIB

Menyingkap Makna Perintah Membaca dalam Al-Qur’an

24 Maret 2024 - 11:48 WIB

Trending di Esai