nujepara.or.id – Di Indonesia ditemukan tiga istilah paling populer untuk menyebut lembaga pendidikan keagamaan tertua di nusantara yakni surau, langgar dan pondok.
Term Surau adalah institusi pendidikan pertama di Minangkabau Sumatera Barat (1356 M), di pulau Jawa masyarakat mengenalnya dengan istilah Langgar, yaitu lembaga yang menjadi pusat pelaksanaan ibadah sholat berjama’ah, kemudian dilanjutkan dengan pembelajaran membaca Al Qur’an, dan pondok lebih akrab bagi masyarakat yang tinggal di pulau Kalimantan, ketiga lembaga tersebut dalam praktiknya mirip dengan Kuttab di era Islam awal.
Sementara itu secara nasional term mushala menjadi penyebutan formal lembaga tersebut, bersamaan dengan kebijakan pemerintah dalam pembangunan di sektor publik.
Posisi strategis musholla di tengah-tengah masyarakat adalah menjadi sarana penyedia kebutuhan dasar, yaitu basic spiritual needs, basic intelektual needs dan basic social needs. Tiga aspek penting dalam menjaga keselarasan dan keseimbangan kehidupan masyarakat dalam beragama, berbangsa dan bernegara. Hal itu diungkapkan K. Saiful Huda, Ketua Rabitah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU Ranting Desa Sowan Lor Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara dalam forum musyawarah dan persiapan pelaksanaan Majlis Silaturrahim Musholla Masjid Se-Desa Sowan Lor, Ahad (24/02/2020).
Kiai yang juga Nadzir mushalla Tamrinul Huda tersebut menjelaskan, di samping musholla menjadi sarana peningkatan keimanan melalui pelaksanaan ibadah wajib dan sunnah, dzikir atau istighosah, tadarrus Al Qur’an serta bentuk aktivitas spiritual lainnya. Musholla juga menjadi media transformasi keilmuan, mulai dari tingkat dasar berupa pengenalan huruf hija’iyah dan baca tulis Al Qur’an untuk usia dini.
Pada jenjang usia lanjutan diadakan kajian ilmu keislaman melalui Majlis Ta’lim berupa keilmuan gramatikal bahasa arab, yurespundensi hukum Islam atau ushul fiqh, hingga ilmu tasawuf dan lain sebagainya dengan mengkaji literasi karya para ulama terdahulu.
Peran penting mushalla semakin nampak nyata manakala terjadi permasalahan dan konflik di tengah masyarakat, karena mushalla adalah sarana berinteraksi sesama anggota masyarakat sehingga batas-batas strata sosial seketika hilang saat berada di dalam aktifitas keagamaan.
“Shalat jama’ah adalah gambaran konkrit ketiadaan latar belakang sosial, semua jamaah sama dalam shaf atau barisan sholat, melakukan gerakan yang sama pula dan tidak ada penentuan deretan barisan sesuai kelas sosial, ekonomi atau lainnya,” tambahnya.
Ketua Tanfidziyah NU Ranting Sowan Lor, K. Saiful Amri menekankan pentingnya kegiatan Majlis Silaturrahim Masjid Musholla. “Ada 3 Masjid dan 40 lebih mushalla yang seharusnya tidak hanya besar secara jumlah, namun disertai juga besar peranan dan fungsionalnya,” imbuh kiai muda ini.
Salah satu pekerjaan rumah pengurus NU adalah bagaimana menjadikan potensi besar musholla sebagai kekuatan peredam bahkan penangkal maraknya penyakit masyarakat (pekat) di Desa Sowan Lor, yang dalam pandangannya sudah mulai meresahkan dan menghawatirkan.
“Pelaku pekat mulai secara terang-terangan dalam menjalankan bisnis dan kegiatannya, tentu hal ini menjadi keprihatinan kita semua akan dampak negatif terhadap lingkungan masyarakat, terutama generasi muda,” kata Nadzhir musholla Az Zahra, K. Amri yang kemudian memberi contoh adanya aktivitas pembuatan dan perdagangan minuman keras di Sowan Lor. Ironisnya, di sana juga ada penyelenggara bisnis toto gelap atau togel yang seakan melengkapi kegiatan maksiat tersebut.
Hal itu menjadi perhatian khusus ulama dan kiai yang hadir di acara musyawarah dan persiapan pengajian rutinan Jum’at Legi, sebuah kegiatan yang dijadikan sebagai sarana pertemuan para pemimpin musholla dan masjid yang insyaallah akan laksanakan pada hari Kamis malam Jum’at tanggal 4 Maret 2020 yang akan datang. (mu)