Oleh Wildatul Muyasiroh, alumnus Pesantren Balekambang dari Kalimantan Tengah
Tidak ada orang tua yang tidak suka memiliki anak yang berpendidikan tinggi. Begitu pun orang tua saya. Kedua orang tua saya sangat bertekad membuat semua anak-anaknya mengenyam pendidikan setinggi mungkin.
Namun bagi orang tua saya, berpendidikan setinggi apapun tidaklah cukup berarti jika tidak dilandasi atau selaras dengan agama. Oleh karena itu, orang tua saya mencari info lembaga pendidikan yang menyediakan pendidikan formal serta non formal bagi santri-santrinya. Akhirnya, orang tua saya mendapatkan info tentang lembaga pendidikan yang beliau idam-idamkan. Ya, pendidikan tersebut adalah pendidikan Pondok Pesantren.
Saat itu orang tua saya mendapatkan info tentang pendidikan pesantren yang ada di Jepara, tepatnya di dukuh Balekambang. Abah saya (Moh. Nasir) pertama kali mengetahui Balekambang pada tahun 1985 yaitu saat kepemimpinan pengasuh berganti dari semula KH. Abdulloh Hadziq Al-Maghfurlah (Pengasuh ke-2, Putra dari Pendiri Ponpes Balekambang KH. Hasbulloh) ke putra beliau KH. M. Ma’mun Abdulloh ZA.
Pada tahun tersebut abah saya sowan ke pondok sekaligus memondokkan kakak dari ibu saya (kakak ipar abah). Semenjak sowan pertama kali dan bertemu secara langsung dengan Mbah Ma’mun (Panggilan KH. M.Ma’mun Abdulloh ZA), abah saya sudah merasa nyaman dan yakin pada pondok pesantren yang berdiri pada masa penjajahan ini (tahun 1884) sebagai wadah yang tepat bagi anak-anaknya dalam menuntut ilmu.
Berhubung pada saat itu abah berfikir bahwa anak-anaknya belum cukup umur untuk mondok, maka abah saya memasukkan kerabat, keponakan, tetangga dll ke Balekambang. Kemudian di tahun 2002, abah saya mulai memasukkan kakak perempuan saya (anak pertama) untuk menghafal Al-quran (tahfidz) di sana.
Kemudian berjalannya waktu, pada tahun 2012, saya dan saudara kembar saya akhirnya juga masuk kesana. Kepercayaan Abah saya ke pondok Balekambang membuat abah saya tambah semangat dalam memondokkan anak-anaknya, bahkan merekomendasikan ke orang lain, baik di Jawa dan juga Kalimantan. “Perasaan aku adalah percaya pada kiai, pikiranku adalah agar anak-anak menjadi anak yang sholeh, dan yang aku harapkan adalah anak-anak bisa mendapat doa (berkah) dari kiai”. Begitulah ujar abahku.
Saya lulus pada tahun 2018, selama 6 tahun saya berada di Balekambang. Banyak cerita dan pelajaran yang saya dapatkan, bukan hanya sarana belajar untuk mengejar prestasi bagi saya. Namun sekaligus tempat mendekatkan diri pada sang khaliq untuk memudahkannya. Dengan semua pihak yang dimilikinya, saya diajarkan bahwa seluruh prestasi yang kita harapkan harus dilalui dengan menyeimbangkan ikhtiar dhohir dan bathin. Setelah itu baru tawakkal dengan memasrahkan apapun yang terjadi pada Allah.
Tidak hanya Itu, selama 6 tahun, saya dibimbing mulai dari menanam biji buah kesuksesan dengan optimisme, hingga akhirnya saya memetiknya dengan rasa syukur yang tiada tara dan membuktikan bahwa harapan yang awalnya hanya akan terwujud dalam mimpi menjadi kenyataan.
Abah juga berharap nantinya ketika abah sudah tua, ada anak-anak yang merawatnya, mendoakan disetiap sujudnya, Itulah salah satu alasan abah memondokkan saya.
Setelah melihat anak-anaknya sukses lulus dari Ponpes Balekambang, abah saya sangat merasa berterima kasih kepada Abah Ma’mun beseta keluarga dan para asatidz yang telah membimbing putra-putrinya sehingga mampu menghantarkan anaknya sebagai Juara 1 dalam menjuarai Ajang bergengsi Lomba Baca Kitab kuning tingkat Nasional (Kitab Fiqh Marhalah Wustho), Juara 1 Olimpiade Kebangsaan dalam Kemah Ma’arif tingkat Nasional dan Juara 1 Debat Bahasa Arab Porsema Jawa Tengah. Beliau pun sangat senang karena sebagian besar harapan abah untuk anak-anaknya terwujud di Balekambang. (*)