Menu

Mode Gelap
Langkah Pencegahan Perundungan dan Kekerasan di Sekolah, Dosen PGSD UNISNU Jepara Gelar Workshop UNISNU Gelar ECoBESC 2024, Rektor : “Transformasi Ekonomi Digital menawarkan Peluang Besar bagi Generasi Muda” Rawon Ansor Tahunan Serius Perkuat Kaderisasi dan Penguatan Kemandirian Ekonomi Kader Hari Santri Nasional 2024, Ini Pesan dan Harapan Rais Syuriah PCNU Hingga Pj Bupati Jepara  Baznas Jepara Salurkan 400 Paket Sembako untuk Cegah Stunting

Opini · 18 Okt 2019 00:33 WIB ·

Hari Santri, Antara Jihad atau Euforia Sesaat


 Hari Santri, Antara Jihad atau Euforia Sesaat Perbesar

Oleh : Miqdad Sya’roni, Santri Pondok Pesantren Ibrohimiyyah Brumbung Mranggen Demak (2001-2010), Wakil Ketua PC IPNU Jepara (2014-2018), dan Wakil Sekretaris PC ISHARI NU Jepara (2015-2020)

Sejak ditetapkan menjadi Hari Santri Nasional tahun 2015, kaum santri yang sering disebut sebagai kaum “sarungan” ini menjadi sangat bersemangat dan di mana-mana berantusias untuk memperingati Hari Santri Nasional tersebut. Santri menjadi bagian penting dalam proses bernegara, diakui dan diterima secara resmi menjadi bagian dari ikhtiar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mengutip dari buku “Fatwa & Resolusi Jihad”, kaum santri (pesantren) memasuki paruh kedua dasawarsa 1930-an yang diposisikan sebagai kaum yang kolot, jumud, fanatik, dan terbelakang anti intelektual, anti kemajuan dan anti perubahan (Agus Sunyoto,2017:48).

Kalau kita lihat dengan era milenial antara 2015 sampai 2019, santri milenial yang sudah canggih dan modern, bahkan kaum santri yang mendapatkan pengakuan dan diberikan Hari Santri Nasional sebagai hadiah sejak terpilihnya Presiden RI ke 7 Ir. H. Joko Widodo pada tahun 2014, ini sangat berbeda dengan era 1930-an.

Sebelum sampai pada 22 Oktober 1945, kita melihat dulu perkembangan dan kemajuan Kaum Santri (pesantren.red) era tahun 1940-an, ketika saat 1930-an masih terbilang kolot dan terbelakang, maka merupakan suatu lompatan pemikiran yang sangat cepat, karena era 1940-an para santri banyak yang menjadi perwira setelah terbentuknya Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA).

Para santri jika sudah ikut terjun ke dunia militer (tentara) tercatat ada 17 perwira dengan pangkat Daidancho (Mayor) dari kaum santri (pesantren) yang menjadi perwira berpangkat mayor. Maka atas inisiatif KH. Wahid Hasyim (Ayah Gus Dur, Presiden RI ke 4) mengusulkan agar kalangan muda santri untuk di didik dan di latih kemiliteran sukarela untuk tujuan mempertahankan dalam negeri/ tanah air.

Dengan adanya para Perwira berpangkat mayor dari kaum santri maka lahirlah Laskar Hizbullah pada 14 Oktober 1945, walaupun dibentuk di Jakarta namun penyebarannya sudah sampai ke seluruh pesantren se-Jawa dan Madura. Mayoritas pendaftar adalah para santri yang sedang belajar di pesantren. Tidak kurang 500 santri mengikuti latihan perdana Laskar Hizbullah di Cibarusa Bogor Jawa Barat.

Era 1930-1940-an merupakan masa perjuangan dalam rangka menuju Kemerdekaan Indonesia, sehingga ketika Indonesia sudah merdeka pun kaum santri masih berjuang untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Tepat 21 Oktober 1945 PBNU mengundang konsul-konsul NU di seluruh Jawa dan Madura di kantor PB ANO (Pengoeroes Besar Ansor Nahdlatoel Oelama) di Jl. Boeboetan VI/2 Soerabaja. Rois Akbar PBNU Hadrotussyeh KH. Hasjim Asj’ari berpidato singkat tentang kewajiban umat Islam dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsa itu mencakup tiga hal:

  1. Hukum memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhu’ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin, meski pun bagi orang kafir.
  2. Hukum orang yang meninggal dalam peperangan melawan musuh (NICA) serta komplotan-komplotannya adalah mati syahid
  3. Hukum untuk orang yang memecah persatuan kita sekarang ini, wajib dibunuh.

Berdasarkan amanat Rois Akbar PBNU, Hadrotussyeh KH. Hasjim Asj’ari, pagi hari tanggal 22 Oktober 1945 dalam rapat pleno yang di pimpin Ketua Besar KH. Abdoel Wahab Chasboellah, disimpulkan menjadi keputusan tentang “jihad fii sabilillah” dalam membela tanah air dan bangsa. Yang diserukan kepada umat Islam dan dalam bentuk “Resolusi Jihad Fii Sabilillah” yang disampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Sejak Tahun 2015, setiap tanggal 22 Oktober sudah di tetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai Hari Santri Nasional. Merupakan euforia dan bersyukur atas pengakuan kaum santri dari Pemerintah Republik Indonesia, dalam beberapa bulan yang lalu telah di sahkan di DPR RI bahwa Undang-Undang Pesantren, merupakan angin segar bagi kaum santri yang sedang belajar di pesantren sehingga mempunyai hak yang sama dalam menyelenggarakan pendidikan.

Apakah kita akan terlena dengan euforia sesaat karena kita sedang dalam puncak kejayaan, atau kaum santri akan tetap menjadi pejuang Laskar Hizbullah yang selalu tanpa pamrih, ikhlas dan tetap beradat khas Nusantara ? Ya, semoga kita semua bisa meneladani guru-guru kita, untuk meneruskan perjuangan yang semangat kuat dalam berjihad untuk mengangkat dan menghidupkan Islam ala Ahlussunah wal-Jamaah Annahdliyah. (*)

Artikel ini telah dibaca 6 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

The Root of The Peak dalam Konsep Keilmuan

7 Juni 2024 - 11:08 WIB

Akselerasi Khidmah NU dan Keberjamaahan

17 Februari 2023 - 05:47 WIB

Hari Santri Nasional Dan Pembangunan Peradaban

24 Oktober 2022 - 04:21 WIB

Shiddiqiyah : Thoriqoh Yang Mu’tabar (otoritatif) ataukah yang “nrecel” (Keluar Jalur) ?

15 Juli 2022 - 07:58 WIB

Jepara, Investasi Agrobisnis dan Jihad Pertanian NU

30 Mei 2022 - 02:50 WIB

Santri dan Filologi Islam Nusantara

25 April 2022 - 03:21 WIB

Trending di Hujjah Aswaja