Oleh : Dwi Zuniati*)
Indonesia adalah negara yang kaya akan suku, adat, agama, dan budaya. Ternyata keberagaman memicu munculnya konflik antar daerah. Keberagaman itu seharusnya menjadi alasan yang kuat untuk tetap bersatu seperti semboyan bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetap satu jua. Penulis sangat ngilu setiap mendengar berita konflik bahkan terkadang merasa geram. Bukankah setiap warga negara Indonesia sepatutnya mempunyai rasa nasionalisme terhadap negaranya sendiri?
Nasionalisme merupakan sikap cinta tanah air dan menjaga persatuan dengan selalu menjaga perdamaian yang adil di dunia (Ahmad: 2021). Jika setiap warga sadar nasionalisme, maka akan timbul rasa ingin menjaga persatuan dan kedamaian. Lebih dari itu, jika seluruh negara menerapkan nasionalisme dengan benar maka peramaian dunia akan mudah diwujudkan. Di dalam pembukaan UUD 1945 juga ditekankan bahwa Indonesia ikut menjaga perdamaian dunia.
Penerapan semangat nasionalsme akan menjadi PR besar bukan hanya untuk pemerintah saja, melainkan juga kita semua sebagai warga negara Indonesia. PR ini tidak mudah dan tidak selesai sekali kerja tetapi akan menjadi PR selama hayat dikandung badan. Penulis akan mulai mengurai PR tersebut dari generasi yang ada di depan mata, yaitu genarasi milenial.
Menurut Taylor dan Keeter (dalam Turner 2013) generasi milenial merupakan generasi pertama yang memiliki kontak rutin dengan seluruh informasi yang diakses melalui internet. Generasi ini menjadikan globalisasi menjadi referensi utama dalam menjawab isu kekinian; mengetahui fakta kekinian; mengetahui perkembangan video, lagu-lagu, film dan berita dalam waktu bersamaan.
Belakangan ini, generasi millenial mendominasi topik pembicaraan di kalangan masyarakat. Khususnya di lingkungan sekitar penulis, yaitu di lingkungan sekolah. Tidak hanya dari segi pendidikan dan teknologi, tetapi juga perilaku millenial berbeda dengan generasi sebelumnya. Millenial sering disebut generasi Y. Generasi Z adalah generasi yang sedang berkembang saat ini. Mereka lahir pada kisaran 1980 hingga 2000-an. Generasi ini sangat erat dengan teknologi.
Berbicara tentang teknologi pasti sepaket dengan moderenisasi, karena teknologi adalah pemeran utama dari proses perubahan sosial. Menurut Harper (dalam Nanang Martono 2012:5) Perubahan sosial didefinisikan sebagai pergantian (perubahan) yang signifikan mengenai struktur sosial dalam kurun waktu tertentu. Berbicara struktur menjadi kajian yang lebih luas, pembahasan yang lebih spesifik ialah struktur pendidikan yang melakukan perubahan dalam setiap perkembangan zaman.
Pada intinya, memberikan pendidikan anak milenial tentang nasionalisme sudah tidak bisa dilakukan dengan cara konvensional. Pendidikan dengan cara itu hanya menjadi hal yang membosankan bagi mereka. Mungkin mereka sudah terbiasa mendapat pendidikan yang sifatnya klasikal di lingkungan sekolah. Sehingga materi pendidikan yang mereka dapat akan melintas begitu saja. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Generasi milenial telah menyatu dengan teknologi, misalnya gadget (dalam bahasa Indonesia disebut gawai). Di era moderenisasi, mereka mudah sekali mendapat dan merespon segala macam informasi dari gedget. Perkembagan teknologi dan informasi yang sangat pesat berpengaruh besar terhadap perkembangan global saat ini. Hal ini juga berpengaruh terhadap perkembangan ideologi generasi milenial. Oleh sebab itu mereka perlu filter untuk menghadapi teknologi informasi yang memberikan feedback positif dan negatif terhadap aspek kehidupan.
Perkembangan teknologi dan informasi yang sangat populer di lingkungan masyarakat saat ini adalah media sosial. Di zaman sekarang, media sosial sudah menjadi kebutuan primer bagi semua orang. Media sosial yang digunakan masyarakat banyak jenisnya yaitu, facebook, twitter, telegram, instagram, whatsapp, tiktok, dan lain-lain.
Berbagai macam informasi dapat diakses dari media sosial. Informasi yang berbentuk tulisan, foto, video, lagu, berita, dan sebagainya mudah diakses oleh generasi mileial. Mereka tentu lebih menyukai cara ini dibanding menyimak berita secara konvensioanl lewat televisi. Apalagi mendengarkan ceramah dari narasumber (guru) yang dirasa membosankan bagi mereka.
Pengalaman penulis ketika mengajar di kelas, anak tidak begitu tertarik mendengarkan informasi atau materi yang disapaikan narasumber.
Gaya perkembangan generasi milenial memunculkan anggapan bahwa kehidupan mereka lebih mengarah pada pola pikir yang terbuka. Hal ini yang membuat penulis khawatir bahwa generasi milenial tak memiliki rasa nasionalisme yang cukup tinggi. Terlebih tentang ideologi generasi milenial yang cenderung lebiih militan sehingga harus dibimbing.
Saat inilah waktunya meramu nasionalisme untuk generasi milenial melalui media sosial. Media sosial yang berkembang begitu cepat dapat dijadikan “bahan” untuk meramu nasionalisme agar mudah dikonsumsi oleh generasi milenial. Di beberapa jenis media sosial mereka sering menemukan konten video atau foto yang menyampaikan sesuatu. Entah itu informasi yang mendidik, hiburan atau sekadar mencari sensasi. Nah, di “zona“ inilah nasionalisme diolah menjadi konten yang mendidik dan menarik.
Hal utama yang harus diperhatikan adalah kemenarikan sebuah konten yang akan dikonsumsi generasi milenial. Jika konten tersebut terlihat membosankan dan dinilai berat tentu mereka akan men-skipe. Lalu mereka mencari konten lain yang lebih ringan dan mungkin kurang mendidik. Konten yang menarik tidak hanya membuat generasi milenial ingin menonton saja tetapi juga harus memupuk nilai nasionalisme. Konten yang dapat kita sajikan bisa dibuat dari hal-hal sederhana yang kiranya dekat dengan lingkungan generasi milenial. Misalnya sikap nasionalisme di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini bisa membuat mereka mudah untuk menerima dan mewujudkan sikap nasionalisme.
Pengalaman penulis, pernah memberikan tugas proyek kepada anak untuk membuat video pendek yang menunjukkan sikap nasionalisme. Awalnya mereka terkejut dan banyak alasan agar tugas ditiadakan. Mereka anggap itu sangat sulit dan menyita waktu mereka main-main gadget. Setelah penulis memberi arahan bahwa tugas video pendek dibuat dengan aplikasi tiktok, mereka langsung tertawa bahagia dan bersorak “asyik”.
Tiktok adalah jejaring media sosial dalam bentuk video. Aplikasi yang berasal dari China ini memberikan efek unik dan menarik. Penggunanya dapat membuat video pendek berdurasi 15 detik dengan dukungan musik sebagai backsound sehingga mendorong kreativitas menjadi conten creator. Video pendek tersebut dapat diperlihatkan kepada pengguna tiktok lainnya untuk mendapatkan like dan comment. Selain itu, kita bisa membagikan video tersebut ke aplikasi yang lain seperti, twitter, Instagram, facebook, dan sebagainya.
Jadi mereka akan membuat video pendek yang mencerminkan sikap nasionalisme melalui aplikasi tiktok dengan backsound lagu-lagu kebangsaan. Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam membuat video pendek. Pertama, video tersebut harus sopan dan tidak mempertentangkan SARA. Kedua, sebelum video di-uploud mereka mendiskusikan dengan penulis apakah sudah layak di-uploud atau belum. Jika belum layak mereka harus mengeditnya atau mengulangi membuat video.
Dengan ramuan ala penulis, semoga sikap nasionalisme melekat di jiwa dan raga para generasi milenial. Ideologi militan yang dimiliki mereka diharapkan menjadi pondasi yang kuat untuk membangun sikap nasionalisme. Mereka akan menjadi generasi yang tangguh, kuat dan sadar nasionalisme. Di masa mendatang merekalah yang menjadi pemain di bumi pertiwi ini. (*)
Dwi Zuniati, lahir di Kota Kudus 6 Desember 1987. Penulis alumnus Universitas Negeri Semarang (UNNES) jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis menyukai sastra terlebih puisi. Beberapa puisi pernah penulis kirim ke Kompasiana. Kegiatan penulis saat ini mengajar di Madrasah Aliyah (MA) Roudlotul Mubtadiin Balekambang Jepara. Sebagai pengajar penulis berkeinginan agar generasi milenial memiliki jiwa kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi. Apa lagi setiap hari aktivitas penulis dekat dengan anak-anak generasi milenial. Hal ini mendorong penulis untuk menuangkan ide dalam tulisan esai. Esai ini merupakan tulisan pertama yang penulis kirim sebagai kompetisi. Sebelumnya penulis hanya menulis di blog pribadinya.
Daftar Pustaka
Ahmad. 2021. Pengertian Nasionalisme. Diakses melalui https://www.yuksinau.id/nasionalisme-pengertian-ciri-bentuk-tujuan-contoh/pada Senin, 1 Februari 2021
Kusumawardani, Anggraeni dan Faturochman. 2004. “Nasionalisme”. Buletin Psikologi,12(2), hlm. 61-72
Martono, Nanang. 2012. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
Nurmuhlisna, Aen. 2019. “Modernisasi dan Teknologi: Penggunaan Teknologi untuk Media Pembelajaran di Generasi Millenial dalam Pendidikan”. Jurnal Pendidikan, 2(1), hlm. 567-576. Diakses melalui https://jurnal.untirta.ac.id/inde.php/psnp/article/view/5773/ pada Minggu, 31 Januari 2021.
Turner, Anthony Robert. 2013. Generation Z: Technology’s Potential Impact in Social Interest of Contemporary Youth. The Faculty og the Adler Graduate School.